APBN Peduli Bumi dan Peduli Ekonomi

16 November 2023
OLEH: Resha Aditya Pratama
Direktur Utama BPDLH, Joko Tri Haryanto mengenai lingkungan hidup. Foto oleh Tubagus P.
Direktur Utama BPDLH, Joko Tri Haryanto mengenai lingkungan hidup. Foto oleh Tubagus P.  

Pemanasan global dan perubahan iklim nyata adanya. Masalah lingkungan hidup sudah menjadi top global issue yang sering dibahas di tiap pertemuan antar negara. Tak kecuali di Indonesia, untuk mempertahankan fungsi lingkungan serta mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan, maka pada tahun 2019 dibentuklah Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). BPDLH didirikan sebagai badan penaung dan penyalur beberapa sumber pendanaan lingkungan hidup agar dapat digunakan melalui berbagai instrumen di berbagai sektor. Seperti apa peran BPDLH dalam menjaga lingkungan? Dan bagaimana bentuk implementasi pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia? Simak petikan wawancara Media Keuangan Plus dengan Direktur Utama BPDLH, Joko Tri Haryanto, berikut ini.

 

Apa saja kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mendukung pelestarian lingkungan hidup?

Kalau kita bicara dalam perspektif kebijakan publik, maka ada empat hal yang harus dijalankan. Yang pertama kita bicara komitmen dan regulasi. Kemudian yang kedua bicara tata kelola. Yang ketiga bicara model bisnisnya. Dan yang keempat bicara mekanisme pendanaannya.

Yang pertama kalau kita lihat terkait dengan komitmen dan regulasi, tentu pemerintah dalam hal ini sudah punya banyak kelengkapan, baik dari sisi komitmen maupun dari sisi regulasinya. Kita punya Undang-Undang, kita punya Peraturan Pemerintah, kita punya Peraturan Menteri, kita punya Peraturan Daerah, dan kita punya Peraturan Teknis. Kemudian dari sisi komitmen, Pemerintah juga sangat luar biasa. Kita lihat dalam perspektif terkait dengan satu isu dalam komponen lingkungan hidup itu sendiri, yaitu isu perubahan iklim, pemerintah punya komitmen mencapai target NDC 2030. Kemudian dalam perspektif yang lebih luas, misalnya kita kaitkan dengan isu Sustainable Development Goal atau SDG, pemerintah juga punya target pencapaian SDG 2030. Tentu ini menjadi sangat baik. Misalnya kita bandingkan dengan negara lain, target komitmen NDG pemerintah 2030 itu setara dengan target penurunan emisinya Amerika Serikat. Ini tentu menjadi hal yang luar biasa.

Yang kedua terkait dengan tata kelola. Dari perspektif regulasi tersebut, pemerintah juga melakukan perbaikan tata kelola, melakukan perbaikan regulasi antar pelaku. Apakah pemerintah dengan korporasi, pemerintah dengan masyarakat, pemerintah dengan internasional, kemudian korporasi dengan korporasi, masyarakat dengan korporasi, termasuk pembentukan BPDLH. Jadi Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup ini menjadi wujud nyata komitmen pemerintah untuk melakukan perbaikan tata kelola.

Yang ketiga model bisnis. Jadi ketika kita bicara kelembagaannya sudah di-setting, tata kelola diperbaiki, aturan mainnya jelas, maka model bisnisnya juga bisa dibangun dengan baik. Bagaimana kolaborasi antara pemerintah dengan pelaku swasta, bagaimana mekanisme hubungan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat, kemudian bagaimana pemerintah juga aktif dalam pergaulan internasional melalui mekanisme yang dijalankan oleh BPDLH. Jadi memang BPDLH menjadi salah satu kunci dalam perbaikan mekanisme hubungan model bisnis tersebut.

Yang terakhir kita bicara perbaikan mekanisme pendanaannya. Jadi kalau dulu dalam perspektif konvensional, kita selalu memandang bahwa reformasi itu hanya didasarkan atas kapasitas pendanaan APBN. Ini yang harus diubah. Bahwa kapasitas pendanaan APBN itu terbatas, kita tidak mungkin membiayai semua target komitmen pemerintah hanya mendasarkan atas APBN. Justru APBN itu menjadi katalisator atau katalitik yang mendorong masuknya dana-dana non pemerintah, baik itu swasta, filantropi, multilateral, MDBs, bilateral, community, kemudian akademia, dan lain-lain.

 

Berapa kapasitas APBN untuk mendanai kegiatan terkait lingkungan?

Terkait lingkungan dalam perspektif misalnya perubahan iklim. Dari Badan Kebijakan Fiskal sejak 2014 itu secara rutin tiap tahun memproduksi apa yang dikenal dengan nama climate budget tagging. Dari hasil pendekatan di level nasional, awalnya untuk mitigasi perubahan iklim, kemudian ada isu adaptasi perubahan iklim, secara overall kapasitas pendanaan APBN untuk mencapai target NDC 2030 itu tidak lebih dari 34% setiap tahun. Padahal untuk kebutuhan NDC 2030 secara total itu sekitar RP4.000 triliun. Sekarang ambil angka yang sederhana misalnya 30% dari Rp4.000 triliun, sekitar Rp1.200 triliun. Maka bisa dibayangkan kapasitas pendanaan APBN itu hanya Rp1.200 triliun dari total kebutuhan Rp4.000 triliun. Artinya masih ada gap yang besar dan gap itu yang harusnya ditutup bukan hanya kemudian kita push dengan dana APBN semata, tapi bagaimana APBN yang 34% itu kemudian menarik masuknya dana-dana yang sifatnya non publik karena justru peran dari pemerintah itu mengakselerasi masuknya dana-dana non government.

BPDLH menjadi bagian penting dalam konstelasi mendorong dana-dana non publik ini. Karena BPDLH sendiri dibentuk tahun 2019 berdasarkan berdasarkan PP terkait instrumen ekonomi lingkungan hidup yang tujuan utamanya sebenarnya bagaimana mengakselerasi masuknya dana-dana global. Jadi BPDLH justru tidak bertarung di domestik. BPDLH ini dibentuk bertarung membawa nama baik Indonesia, membawa nama pemerintah untuk bisa mendapatkan dana-dana global yang sudah dijanjikan di awal. Jadi keberadaan BPDLH ini menjadi satu hal vital untuk mengakselerasi masuknya sumber-sumber pendanaan non publik, khususnya yang sifatnya global, baik itu multilateral, MDBs, bilateral, filantropi, maupun organisasi internasional lainnya.

 

Berapa besar dana yang dikelola oleh BPDLH?

Saat ini sejak berdiri tahun 2019, BPDLH sudah mengelola dana sekitar 1500 juta US Dollar atau setara Rp23 triliun, di mana dibagi menjadi beberapa jendela-jendela pembiayaan. Kalau kita lihat definisi BPDLH sendiri adalah Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Lingkungan hidupnya itu tidak terbatas pada sektor berbasis lahan, khususnya kehutanan, karena lingkungan hidup itu definisinya luas seperti sektor energi, transportasi, industri, sampah, limbah, kemudian pertanian, mangrove, swamp, dan lain-lain. Tapi memang dari total 1500 juta US Dollar atau Rp23 triliun, 70% memang dana kelolaan BPDLH saat ini masih dominan dari sektor berbasis lahan, khususnya kehutanan. Ini juga menjadi tantangan kami bagaimana kemudian kita bisa menyeimbangkan komposisi antar sektor dari dana kelolaan yang ada di BPDLH. Kita lagi masif untuk mengejar dana-dana blue, dana-dana maritim, kemudian dana-dana perikanan, ocean, konservasi, dan lain-lain supaya ada perimbangan dana kelolaan tidak melulu bicara sektor kehutanan, tapi juga mulai masuk ke isu maritim, isu energi, transportasi, pertanian, dan industri.

 

Direktur Utama BPDLH, Joko Tri Haryanto (foto: Tubagus)

Tadi Bapak sebutkan tentang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Itu seperti apa bentuknya?

Jadi kalau kita bicara perubahan iklim itu memang kita kelompokkan menjadi dua sub set yang besar. Kalau kita bicara mitigasi, berarti tujuannya adalah memitigasi atau menurunkan dampak kerusakan yang sudah muncul. Kalau adaptasi berarti kita mengadaptasikan atau beradaptasi dengan kondisi yang sudah baru, yang sudah mungkin terlanjur rusak, bagaimana kita beradaptasi. Kalau mitigasi itu biasanya ukurannya jelas, penurunan emisi gas rumah kaca, kemudian aktivitasnya itu sesuatu yang bisa diukur. Contohnya kita melakukan konversi dari pembangkit listrik berbasis fosil menjadi berbasis renewable energy, atau kita mengubah dari transportasi mobil pribadi menjadi transportasi mobil umum. Itu contoh-contoh aktivitas dalam kerangka mitigasi.

Kalau adaptasi itu sesuatu yang beradaptasi dengan kondisi baru yang mungkin sudah berubah, baik itu lebih baik atau justru lebih buruk, biasanya lebih buruk. Contoh paling gampang saat ini, kita tahu bersama kalau dulu bulan-bulan yang belakangnya -ber itu tanda sudah masuk musim hujan, tapi ternyata hujannya belum terlalu banyak jadi ada pergeseran musim. Padahal kalau kita lihat di sektor pertanian, dulu kan ada tradisional way ketika di musim hujan tentu petani akan menanam padi yang sesuai dengan musim hujan, kalau musim kering padinya juga musim kering. Tapi karena sekarang terjadi perubahan iklim, maka petani yang awalnya perhitungannya padi yang sesuai dengan karakter musim hujan, terpaksa harus membiasakan diri karena bulan-bulan ini justru belum hujan sehingga kalau dia menanam padi yang karakternya musim hujan pasti tidak tumbuh, makanya dia sekarang harus menyesuaikan dengan kondisi perubahan yang sudah terjadi. Jadi adaptasinya di musim -ber itu, petani juga masih harus menanam padi varietas yang cocok ditanam di musim panas.

 

Untuk pendanaan di BPDLH, apakah lebih banyak dialokasikan ke mitigasi?

Jadi secara konstelasi global, alokasi dana internasional untuk mitigasi ini memang lebih banyak dibandingkan untuk adaptasi. Karena mitigasi ini common praktis untuk semua pelaku, sementara adaptasi masih ada challenge. Karena semua pihak itu sudah sangat familiar dengan isu mitigasi, termasuk misalnya korporasi. Kalau kita lihat alokasi dana CSR itu mereka sudah paham melakukan upaya mitigasi. Penanaman pohon dan penghijauan, itu contoh mitigasi. Namun mereka tidak familiar dengan isu adaptasi, meskipun sebenarnya kalau kita lihat karakteristik Indonesia dengan banyak pulau, isu adaptasi itu lebih dominan daripada isu mitigasi. Jadi itu memang menjadi tantangan secara global bagaimana menyejajarkan persentase alokasi dari adaptasi supaya sejajar dengan mitigasi. Ini juga berimbas pada alokasi dana BPDLH yang memang mayoritas masih dominan dana untuk mitigasi dibanding adaptasi, cuma kita memang terus mendorong masuknya dana adaptasi, baik itu dari sisi disaster resilient, baik itu dari sisi livelihood, maupun loss and balance.

 

Siapa saja penerima manfaat dari dana yang dikelola BPDLH?

Pembentukan BPDLH di tahun 2019 itu sebetulnya menjadi terobosan karena BPDLH adalah Badan Layanan Umum (BLU), di mana sebagai BLU pengelola dana tentu punya banyak fleksibilitas, baik dari sisi sifat alokasinya yang bisa multiyears dan beneficial yang bisa multi stakeholder. BPDLH mengalokasikan beneficiary-nya ada di pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, NGO, akademisi, kemudian sampai di level masyarakat, masyarakat di level terkecil, unit bisnis yang paling kecil, itu pun ada karakter masyarakat hukum adat, ada kelompok sadar wisata, Gapoktan, dan lain-lain. Jadi ini memang salah satu keunggulan dari BPDLH yang memiliki fleksibilitas di dalam mendistribusikan manfaatnya.

 

Tantangan apa yang dihadapi BPDLH selama beberapa tahun terakhir ini?

Yang pertama tentu tantangan terkait institusionalisasi dari BPDLH sendiri karena BPDLH ini menjadi operator dari pemerintah. Dalam perspektif kelembagaan memang salah satu isunya adalah isu SDM. Semakin besar dana kelolaannya tentu butuh SDM yang lebih banyak. SDM ini bukan hanya dari sisi kuantitas, tapi juga kualitas. Bagaimana perimbangan antara SDM yang berasal dari ASN, SDM yang tenaga kontrak karena sudah ada undang-undang ASN juga, dan ada jg Project Management Unit yang biasanya diisi profesional. Ini ada tantangan terkait balancing dari masing-masing komponen.

Yang kedua terkait tata kelola institusional atau kelembagaan di BPDLH sendiri. Ketika dibentuk 2019, tentu BPDLH berpijak pada satu mekanisme pola tata hubungan divisi yang di-setting di periode awal. Dengan berjalannya waktu karena BPDLH sudah masuk ke usia tahun keempat dengan semakin kompleksnya permasalahan, dengan semakin besarnya dana kelolaan, tentu kadang harus melihat lagi, apakah bentuk kelembagaan yang ada di BPDLH ini sudah fit atau perlu dibesarkan? Ini juga menjadi tantangan tersendiri. Kemudian yang terakhir tentu bagaimana BPDLH tetap bisa menjaga janji layanan yang sudah dinyatakan kepada seluruh pemangku kepentingan. Ini selalu menjadi PR yang harus kita selesaikan.

 

Apa harapan Bapak dalam upaya pelestarian lingkungan hidup di Indonesia?

Lingkungan itu kita jaga bukan untuk kita, tapi bagaimana kita memikirkan lima generasi ke depan minimal supaya cucu-cucu kita tetap bisa merasakan keberadaan lingkungan yang sehat.  Kalau dilihat dari Undang-Undang Dasar 1945, masyarakat itu wajib menikmati kualitas lingkungan hidup yang baik dan berkelanjutan. Contoh paling gampang misalnya generasi saat ini tidak peduli dengan lingkungan, lima generasi ke depan ketika melihat harimau hanya dari kalender atau youtube karena mereka sudah tidak bisa melihat langsung lagi, harimaunya sudah punah. Itu tentu suatu kondisi yang sangat tragis. Manusia sebagai khalifah ternyata tidak bisa menjaga tanggung jawab itu karena dengan urgensi kita harus tumbuh namun lingkungannya kemudian menjadi rusak. PR-nya memang bagaimana balancing kita tetap tumbuh, tapi juga lingkungannya terjaga.