Strategi Harmonisasi APBN dan APBD

16 Juni 2023
OLEH: Resha Aditya Pratama
Strategi Harmonisasi APBN dan APBD
 

Di penghujung kuartal satu tahun 2023, belanja pemerintah daerah masih mengalami perlambatan sekitar 5% dibandingkan tahun sebelumnya. Apa yang menjadi kendala pemerintah daerah dalam melakukan belanjanya? Strategi apa saja yang dilakukan pemerintah pusat untuk mensinkronisasi antara APBN dan APBD? Simak petikan wawancara Media Keuangan Plus dengan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, berikut ini.

 

Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perlambatan belanja pemerintah daerah pada kuartal pertama tahun 2023?

Untuk April 2023 agak spesial karena kita ketahui April ada momen Lebaran dan cuti bersama. Jadi, efektif hari kerjanya hanya 12 hari kerja, cuti bersama pun dimajukan. Faktor pertama itu karena adanya keterbatasan lebih sedikitnya hari kerja untuk memproses pengelolaan belanja di daerah. Itu berdampak terhadap adanya sedikit tren penurunan. Dibandingkan dengan April tahun lalu, memang turunnya sekitar 5,5%.

Namun, kami berharap itu akan terkompensasi lagi nanti di bulan Mei. Transaksi yang harusnya terjadi di bulan April khususnya di bagian terakhir itu, akan nanti dilakukan di bulan Mei, akan muncul di bulan Mei. Kalau soal ini, kami tidak khawatir. Tapi memang kalau kita lihat tren secara umum, belanja kita itu belum linier. Jadi selalu menumpuk atau lebih besar di Q4. Ini yang harus kita selalu dorong bagaimana belanja itu, pemerintah daerah khususnya, bisa terus mempercepat belanja mereka.

Kementerian Keuangan menyalurkan transfer ke daerah atau TKD dengan (beberapa) instrumen. Ada DAU, DBH, DAK, dan seterusnya. Kita punya pesan-pesan tertentu, kita transferlah ke daerah. Uang itu masuk sebagai salah satu komponennya APBD di daerah. Itu dari sisi penerimaan. Dari sisi belanjanya, uangnya sudah ada dan ini harus terus didorong. Makanya salah satu isu (adalah) adanya dana pemerintah daerah di perbankan yang masih begitu banyaknya. Itu kan harusnya bisa terus digelontorkan untuk perekonomian masyarakat supaya menjadi multiplier effect. Itu yang coba kita coba dorong.

 

Bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan Kementerian Keuangan terhadap TKD yang sudah disalurkan?

Ketika kita menyalurkan TKD selalu ada persyaratan-persyaratannya. Seperti misalnya DAU yang paling gampang. Karena sistemnya block grant, kita bagi saja seperdua belas karena ada 12 bulan. Tapi kemudian mulai tahun ini di Undang-Undang HKPD, kita punya bagian DAU yang sudah ditentukan penggunaannya atau disebut DAU yang sifatnya spesific grant. Itu sudah ditentukan penggunaannya, tadi misalnya untuk pendidikan, kemiskinan, kelurahan, P3K, atau infrastruktur. Ada syarat salurnya yang harus dipenuhi oleh Pemda tentang penyaluran tersebut. Demikian juga dengan instrumen yang lain, seperti DBH, DAK, ada persyaratan tertentu supaya daerah itu bisa menerima transfer tersebut. Salah satunya misalnya mulai tahun ini, kita melihat kinerja. Kalau kinerja bagus, itu jadi pertimbangan untuk bisa memberikan transfer ke daerah.

Apa saja yang kami lakukan? Pertama ada joint monitoring dengan Kemendagri, sama-sama kita lihat seperti apa. Kami memberi insentif. Jadi kalau nilainya bagus, kita salurkan tidak masalah. Tapi kalau kinerjanya tidak bagus, kita lihat dulu supaya mereka bisa terus meningkatkan kinerjanya. Itu cara-caranya.  Kita juga terus meningkatkan penggunaan teknologi IT. Dulu Dana Otsus, dana yang untuk daerah otonomi khusus itu masih manual, sekarang sudah bisa berdasarkan sistem. Jadi itu bisa mempercepat sekaligus memperbaiki proses pengawasannya.

 

Sejauh ini, TKD sudah berlangsung beberapa tahun. Menurut Bapak, apa saja tantangannya?

Kita melihat bagaimana pengelolaan APBD daerah tersebut. Tentu saja kalau kita ingin ideal ke depannya makin lama makin berkurang ketergantungan daerah terhadap TKD ini. Kita inginnya bagaimana daerah terus menggali potensi pajak daerahnya, memperbesar potensi PAD-nya (pendapatan asli daerahnya). Makanya kemarin itu kan kita baru saja meloloskan UU HKPD. Salah satu pilarnya adalah bagaimana memperkuat local taxing power, kemampuan memungut pajak daerah. Itu satu pilar yang ingin kami capai di UU HKPD.

Untuk pengawasan TKD, tentu saja kita selalu melihat kemampuan fiskal secara keseluruhan. APBN secara keseluruhan. Kita terus meningkat dari tahun ke tahun, tapi bukan soal kuantitasnya, tapi juga kualitasnya. Jadi kita bicara tentang spending better, bagaimana belanja itu digunakan tepat sasaran, termasuk kalau bansos tepat sasaran, subsidi tepat sasaran, infrastruktur kita inginnya memberikan manfaat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi tadi itu juga bagaimana kita ingin memastikan bahwa itu benar-benar memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk masyarakat setempat, untuk masyarakat daerah.

 

Sejauh ini bagaimana implementasi dari UU HKPD tersebut?

UU HKPD disahkan dan disetujui menjadi UU pada awal tahun 2022. Tahun 2023 adalah tahun pertama penerapan UU HKPD. Kita masih punya PR UU HKPD untuk aturan turunannya, baik PP (Peraturan Pemerintah) atau PMK (Peraturan Menteri Keuangan). Kita sudah mengeluarkan satu PP PBJT ATL untuk tenaga listrik. Kita juga sudah memproses PP-PP yang lain, misalnya terkait dengan DBH Sawit, terkait dengan Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PP tentang Transfer ke Daerah. Jadi memang itu insya Allah dalam waktu dekat bisa kita selesaikan, bisa kita terbitkan, sebagai acuan bagi pemda untuk melaksanakan undang-undang tersebut.

Salah satu PR terbesar dari Pemda adalah dengan adanya UU HKPD, mereka harus menyusun dan menerbitkan Perda baru terkait dengan PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Itu harapannya di UU disebutkan terakhir itu adalah sampai dengan 4 Januari 2024. Artinya Pemda punya 7-8 bulan ke depan untuk bisa menyusun dan menyelesaikan dengan pungutan itu. Tapi di luar itu, kami sudah melakukan juga sosialisasi, edukasi, pendampingan kepada Pemda bagaimana untuk bisa menerapkan undang-undang ini. Kami punya hotline center, jadi banyak pertanyaan yang masuk dari Pemda ke kita, kita layani.

Jadi untuk hotline atau call center tadi, kita menerima berbagai pertanyaan, kita mencoba membantu, memberi asistensi pada para pemda tersebut. Kalau belum beres juga, mungkin kita bisa melakukan zoom meeting atau video conference untuk bisa berinteraksi lebih baik lagi. Terakhir kalau memang tidak bisa juga, mereka ingin tatap muka, kita juga menyediakan fasilitas tersebut. Intinya memang kita juga selalu siap untuk bisa membantu Pemda terkait dengan adanya kebijakan baru dalam UU HKPD tersebut.

 

Apa dampak yang diharapkan dari penerapan UU HKPD ini dalam rangka meningkatkan kualitas belanja daerah?

Bagaimana kita melakukan otonomi daerah, itu kan sudah cukup panjang perjalanannya. Sekarang ini sudah masuk generasi keempat dengan terbitnya Undang-Undang HKPD. Jadi dalam perjalanan tersebut, ini suatu perjalanan dengan up and down dan positif-negatifnya.

Ketika kita mendesain, kita punya empat pilar, ada empat objektif utama yang ingin kita capai. Pertama, penguatan local taxing power. Kita ingin memperkuat kemampuan darah untuk memungut pajak daerahnya, termasuk retribusi daerahnya. Di UU HKPD itu, mungkin yang mengatur PDRD itu lebih dari setengahnya pasal terkait dengan peraturan pajak daerah retribusi daerah tersebut.

Kemudian yang kedua, kita ingin memperbaiki ketimpangan, baik ketimpangan vertikal maupun horizontal. Dengan berbagai instrumen transfer ke daerah, kita gunakan DAU, DBH, DAK itu yang coba kita pakai kita optimalkan untuk bisa meng-address, bisa memperbaiki ketimpangan horizontal maupun vertikal.

Lalu yang ketiga kita ingin memperbaiki kualitas belanja daerah. Kita ingin pastikan kualitas belanjanya itu memang tepat sasaran, tepat jumlah, tepat waktu, intinya bagaimana itu bisa memberikan manfaat untuk masyarakat setempat, bisa memberi kemakmuran untuk rakyatnya. Dan terakhir, bagaimana kita melakukan harmonisasi antara belanja pemerintah pusat dan daerah, belanja fiskal pusat dan daerah. Ini tidak bisa nih berjalan sendiri-sendiri, bagaimana kita harus mengharmoniskan dan mensinergikan antara kebijakan belanja pemerintah pusat dan daerah. Kita ingin menghindari adanya duplikasi, adanya overlap. Kita ingin memberikan belanja itu dinikmati oleh rakyat, baik dari pemerintah pusat ke daerah maupun belanja daerah itu sendiri.

 

Langkah apa yang harus dilakukan supaya terwujud sinkronisasi dan harmonisasi belanja APBN dan ABPD?

Harmonisasi itu harus dilakukan di setiap tahapan, mulai dari perencanaan, eksekusinya, sampai pengawasan itu harus dilakukan secara lebih harmonis karena adanya kolaborasi dan adanya kerjasama. Dari sisi perencanaan misalnya. Di awal itu, kita sebutnya KEM-PPKF (Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal). Itu semacam APBN pendahuluan. Secara UU, kita harus mendiskusikan ini dengan DPR. Sekarang kita sedang berjalan pembahasannya dengan DPR. Nanti hasil diskusi dengan DPR kita pakai untuk menyusun nota keuangan dan Undang-Undang APBN itu diserahkan oleh Presiden pada tanggal 16 Agustus ke DPR. Kemudian diharapkan akhir Oktober selambat-lambatnya bisa disahkan menjadi undang-undang APBN. Januari tahun berikutnya dimulailah pelaksanaan APBN nya.

Kemudian APBD, bagaimana mensinkronkan dengan APBN? Maka dari tahap pertama tadi kita punya KEM-PPKF. Itu jadi acuan bagaimana menyusun APBN. Jadi di KEM-PPKF tersebut kita punya chapter khusus yang mengatur tentang KEM-PPKF regional. Sama juga APBD, dia juga akan nyambung dari APBN. Contohnya berapa TKD yang akan disalurkan ke APBD? Mulai dari DAU, DBH, nanti akan masuk ke APBD-nya. Kan ada beberapa yang sudah ditentukan penggunaannya, nanti bisa dipastikan APBD juga konsisten dengan itu. Biar bagaimanapun juga APBD ini, program pembangunan pemerintah daerah ini, kan harus sinkron dengan program pembangunan nasional. Apa saja yang jadi prioritas nasional? Misal kita ingin mengurai kemiskinan, ya kita lakukan bersama-sama, dan seterusnya.

Kedua, ini teknis, kita ingin memastikan bahwa alokasi dari skema APBD itu inline atau mendukung prioritas nasional. Misalnya kita ingin mengurangi kemiskinan, itu kita pastikan juga daerah melakukan hal yang sama dan juga terefleksikan di APBD. Bagaimana kita memastikan APBD itu mengalokasikan anggaran yang cukup untuk tadi bisa mencapai tujuan pembangunan misalnya mengurangi kemiskinan, mencapai pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5%? Salah satunya kita memastikan komponen-komponen APBD itu memang sudah sesuai, baik jumlahnya maupun lokasinya.

Terakhir, daerah ini kan bukan hanya Kemenkeu yang mengurus TKD, tapi Kemendagri sebagai mitra kita juga, mereka bertugas mengawasi dan membina daerah, termasuk APBD itu, ada di Kemendagri. Untuk desa, kita punya Kementerian Desa. Bagaimana program nasional secara keseluruhan, itu Bappenas. Jadi pemerintah pusat pun koordinasi, kita di internal pun jadi penting, tidak bisa kita jalan sendirian. Makanya adanya forum, kita bikin joint monitoring misalnya dengan Kementerian lain yang relevan itu menjadi faktor penting juga.

 

Apa harapan bapak tentang implementasi UU HKPD?

Harapannya tentu saja adalah bagaimana menciptakan kesejahteraan masyarakat yang sifatnya lebih merata dan sifatnya lebih inklusif. Jadi bicara tentang pemerataan, tentang keterlibatan bagaimana penduduk Indonesia itu bisa menikmati hasil pembangunan, itu tujuan akhirnya. Dan itu tercantum juga di mukadimah Undang-Undang Dasar 1945.

Jadi bagaimana kita bisa mencapainya, bagaimana kita bisa mewujudkannya? Salah satu instrumennya adalah melalui kebijakan fiskal, salah satunya adalah melalui APBN. Dalam APBN itu, belanja itu kurang lebih sepertiganya itu adalah transfer ke daerah. Itu jumlah yang sangat besar, sudah lebih dari ratusan triliun yang sekarang didedikasikan untuk transfer daerah. Kita ingin memastikan transfer ke daerah itu benar-benar berdampak atau impactful. Jadi apa yang kita berikan pada daerah tersebut, dengan segala perhitungannya, kita punya formulanya. Tetapi yang paling penting adalah ketika sudah sampai ke daerah, kemudian dibelanjakan untuk membiayai program-program dan sebagainya itu memberikan dampak positif sebesar-besarnya untuk rakyat.

Jadi kami dari Kementerian Keuangan, terutama dari Ditjen Perimbangan Keuangan, kita tidak hanya berhenti bahwa transfer ke daerah selesai, sudah ditransfer, tidak seperti itu. Kita harus bergerak atau bekerja lebih jauh lagi memastikan bahwa yang kita transfer itu tadi memberikan dampak. Kalau kata Bu Menteri Keuangan, Sri Mulyani, harus fall through, memastikan bahwa uang itu yang dikumpulkan dari hasil pemungutan pajak dari rakyat itu juga bisa dinikmati juga oleh rakyat. Itu tugas berat kita di Kemenkeu, termasuk kami di DJPK, sama tugas kita ingin memastikan bahwa apa yang kita lakukan ini benar-benar manfaatnya dirasakan oleh rakyat. Itu salah satu tujuan UU HKPD, memastikan bahwa kemakmuran itu bisa benar-benar tercipta dirasakan oleh rakyat sehingga kemakmuran itu sifatnya inklusif.