Bukan Hanya Pandemi, Ini Ancaman Baru Pemulihan Ekonomi

1 April 2022
OLEH: CS. Purwowidhu
Bukan Hanya Pandemi, Ini Ancaman Baru Pemulihan Ekonomi
 

Memasuki akhir kuartal 1-2022, pemulihan ekonomi nasional berlanjut menguat sejalan dengan terkendalinya pandemi Covid-19.  Berbagai indikator menunjukkan pertumbuhan, antara lain Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang berada di atas level optimis sebesar 113,1. Indeks Penjualan Ritel (IPR) Februari diprediksi meningkat 14,5 persen (yoy). Pertumbuhan konsumsi listrik industri dan bisnis masing-masing mencapai 14,1 dan 9,3. Serta kondisi pasar keuangan domestik yang terjaga relatif stabil dan resilient. 

Fondasi ekonomi yang kuat dan konsisten melaju pada lajur pemulihan mendorong terwujudnya kondisi tersebut. Kinerja APBN di bulan Februari masih mencatatkan surplus dan penerimaan negara masih tumbuh kuat. 

Namun, tren dinamika global yang tengah berlangsung memunculkan ancaman baru, yang  bukan hanya berpotensi melemahkan pemulihan ekonomi dunia tapi juga domestik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN KiTa 28 Maret 2022 menerangkan efek rambatan dari tensi geopolitik maupun respons kebijakan moneter oleh negara-negara maju dalam bentuk pengetatan akibat tingginya inflasi, serta gejolak di sektor keuangan menciptakan kompleksitas dalam pemulihan ekonomi dunia termasuk Indonesia.

“Ancaman terhadap momentum pemulihan ekonomi itu jadi sangat-sangat nyata dengan dilema kebijakan yang sekarang dihadapi oleh semua negara. Yaitu menstabilkan harga di satu sisi yang sangat-sangat menantang. Namun, di sisi lain menjaga momentum pemulihan ekonomi (agar) tidak mengalami perlemahan yang terlalu cepat,” papar Sri Mulyani Indrawati.

Pergeseran risiko

Bila di tahun 2020 dan 2021 pemerintah fokus kepada ancaman pandemi Covid, maka di tahun 2022 ini bukan hanya perkembangan Covid yang masih tetap harus diwaspadai.  Plt. Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Abdurohman atau kerap disapa Rahman menyampaikan pemerintah juga selalu waspada terhadap peningkatan risiko global.

Eskalasi risiko global dipicu khususnya oleh percepatan normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat serta konflik geopolitik Rusia dan Ukraina. Perpaduan faktor tersebut mencetuskan kenaikan harga komoditas global khususnya sektor pangan dan energi, serta kenaikan inflasi di beberapa negara maju di Eropa dan Amerika.

Tingginya tingkat inflasi tersebut meningkatkan volatilitas arus modal, nilai tukar, dan sektor keuangan, serta mendorong percepatan normalisasi kebijakan moneter.

Di Amerika Serikat (AS) misalnya, inflasi tercatat sudah berada di atas tujuh persen, tertinggi dalam kurun 40 tahun sejarah perekonomian AS. Untuk mengendalikan inflasi yang tinggi tersebut Bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis point (bps) menjadi 0,25 persen pada 16 Maret 2022.  

Beberapa negara berkembang lainnya seperti Brasil dan Meksiko pun sudah mulai cukup signifikan menaikkan suku bunga acuan mereka.

“Secara global memang pasar keuangan global akan lebih ketat. Dan efek rambatan inflasinya juga ada potensi untuk berpengaruh ke kita karena tadi energi juga masih tinggi,” ujar Rahman.

Merespons pengetatan kebijakan moneter di berbagai negara maju dan berkembang Rahman menilai kondisi moneter Indonesia masih stabil. Tahun 2021 inflasi Indonesia masih berada di bawah dua persen. Nilai tukar rupiah juga tetap terjaga.

Sementara dari kondisi perbankan, Rahman berpendapat likuiditas kita masih terbilang longgar, dengan loan deposit ratio masih di bawah 80 persen. Sejalan membaiknya perekonomian domestik, Bank Indonesia (BI) pun mulai melakukan penyesuaian dari sisi likuiditas melalui rencana kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM).

“Namun, dari suku bunganya belum ada rencana untuk menaikkan suku bunga. Sehingga ini akan tetap menjadi environment untuk perbankan mendorong kreditnya,” ujar Rahman.

Dampak perang Rusia-Ukraina

Hampir 40 hari sejak dimulainya invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari silam, yang berdampak cukup besar terhadap laju pemulihan ekonomi dunia.

Rahman menjelaskan dampak invasi tersebut bisa dilihat melalui tiga jalur transmisi yakni pasar keuangan, perdagangan, dan harga komoditas.

Dari sisi pasar keuangan, sentimen akan perang menimbulkan ketidakpastian yang biasanya berdampak bagi negara-negara berkembang. Indonesia cukup beruntung karena pasar keuangan Indonesia relatif stabil begitu pula dengan nilai tukar rupiah. Pertumbuhan indeks harga saham gabungan (IHSG) juga terus menunjukkan tren positif. Per 31 Maret 2022 IHSG ditutup ke level 7.071,4.

Dari sisi perdagangan, invasi Rusia-Ukraina secara langsung berdampak kecil kepada Indonesia karena transaksi dagang Indonesia dengan Rusia maupun Ukraina relatif kecil. Pangsa perdagangan Indonesia dengan Rusia hanya sekitar 1 persen, sedangkan dengan Ukraina jauh lebih kecil lagi sekitar 0,1 persen.

Kementerian Perdagangan mencatat secara bilateral ekspor Indonesia ke Ukraina dan Rusia periode Februari 2022 masih menunjukkan pertumbuhan. Nilai ekspor Indonesia ke Ukraina tercatat USD19,71 juta atau tumbuh 114,32 persen (yoy), sementara ke Rusia tercatat USD160,48 juta atau tumbuh 173,38 persen (yoy).

Yang memang perlu diwaspadai dampaknya Rahman mengingatkan yakni dari sisi jalur komoditas. Rusia merupakan eksportir besar energi atau bahan bakar minyak dan pupuk. Sedangkan Ukraina termasuk eksportir besar untuk gandum dan sunflower oil.

Berkurangnya pasokan beberapa komoditas tersebut akibat perang menyebabkan harga komoditas dunia melonjak. Termasuk harga minyak goreng dan produk turunan gandum.

Secara year to date, data per 25 Maret 2022 menunjukkan harga natural gas melonjak 58,9 persen, batu bara 92,9 persen, minyak Brent 54,6 persen, CPO 27,0 persen, gandum 42,4 persen, dan jagung 26,7 persen.

Sementara beberapa harga minyak nabati mengalami kenaikan signifikan seperti sunflower oil meningkat 31,02 persen, rapeseed oil 24,56 persen, canola oil 12,26 persen, soybean oil 3,84 persen, dan CPO Rotterdam 1,4 persen.

“Kenaikan harga inilah yang sekarang berpotensi menekan inflasi kita,” ujar Rahman.

Senada, Kepala Badan Pengkajian dan pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan Kasan mengatakan Perang di Ukraina dan sanksi terhadap Rusia dapat menyebabkan gangguan rantai pasokan terutama untuk komoditas pertanian, logam, dan energi.

“Nilai impor produk pangan, seperti gandum akan mengalami peningkatan karena tingginya harga gandum internasional,” ucap Kasan.

Di pasar domestik, Kasan menambahkan setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari silam, harga CPO Dumai dan CPO Malaysia sempat mengalami kenaikan. Namun per 25 Maret 2022 CPO Dumai menurun sebesar 6,09 persen. Penurunan diperkirakan sebagai dampak kebijakan Pemerintah Indonesia terkait HET Minyak Goreng dan ekspor CPO.

 “Kita terus memantau perkembangannya, dan mengantisipasi skenario yang mungkin berkembang ke depannya,” ujar Kasan.

Peluang di tengah tantangan

Di sisi lain, Rahman menambahkan kenaikan harga energi sebenarnya juga membawa efek positif bagi neraca perdagangan Indonesia karena bisa mengerek beberapa komoditas utama kita, seperti batu bara, nikel, dan tembaga.

 “Sebenernya harga komoditas sudah mulai meningkat di 2021 lalu. Kemudian diamplifikasi oleh konflik Rusia-Ukraina. Ini yang sangat tergantung dari skenario seberapa panjang konflik akan terjadi. Jadi kalau konfliknya berlangsung lama, itu pengaruhnya juga akan panjang ke komoditas kita,” ungkap Rahman.

Neraca perdagangan Indonesia konsisten mencatatkan surplus 22 bulan beruntun, mencapai USD3,83 miliar pada Februari 2022. Peningkatan ekspor mendorong terjadinya surplus tersebut.

Ekspor di bulan Februari 2022 tercatat tumbuh 34,14 persen (yoy), didukung oleh kenaikan ekspor nonmigas unggulan serta sektor manufaktur yang masih tumbuh kuat. Sedangkan impor tumbuh 25,43 persen (yoy), didominasi oleh jenis barang input (bahan baku dan barang modal) yang mencerminkan berlanjutnya penguatan aktivitas produksi. 

Sementara Kasan berpendapat sama, menurut dia fenomena commodity supercycle yang terjadi tahun lalu belum akan mereda dan harga-harga komoditas global diprediksi masih tetap akan tinggi.

 Kenaikan harga energi membawa efek positif bagi neraca perdagangan Indonesia karena bisa mengerek beberapa komoditas utama kita, seperti batu bara, nikel, dan tembaga. Sumber foto : Resha A.P.

“Nilai ekspor Indonesia untuk produk CPO dan turunannya serta produk-produk pertambangan (batu bara, timah, nikel, dan tembaga) diproyeksikan akan mengalami peningkatan pada kuartal II-2022,” ungkap Kasan.

Kasan menilai terdapat peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspornya dengan adanya sanksi ekonomi negara-negara barat kepada Rusia. Sebagai contoh, AS telah menjatuhkan sanksi berupa larangan impor untuk komoditi migas dan batu bara dari Rusia. Larangan impor tersebut diperluas lagi ke beberapa sektor lainnya seperti sektor perikanan, minuman beralkohol dan perhiasan.

Hal tersebut menurut Kasan tentu menjadi peluang bagi Indonesia untuk dapat mengisi pasar AS khususnya untuk produk-produk perikanan (HS 03) yang nilai impormya dari Rusia di tahun 2021 mencapai USD1,2 miliar. Sementara untuk data impor AS dari Indonesia untuk produk perikanan di tahun lalu mencapai USD1,4 miliar.

“Di tengah berkurangnya pasokan di pasar AS akibat sanksi ekonomi tersebut, Indonesia tentu memiliki peluang untuk mengisi kebutuhan dan meningkatkan pangsa pasar di AS,” tutur Kasan.

APBN sebagai shock absorber

Tak dapat dipungkiri, melonjaknya harga-harga komoditas global pada akhirnya berimbas hingga level konsumen. Kenaikan harga bahan pangan tak terhindarkan. Seperti minyak goreng, kedelai, terigu dan produk turunannya.

“Harga komoditas pangan global yang tinggi akan berdampak pada harga pangan domestik yang masih bergantung pada impor seperti kedelai dan gandum,” ujar Kasan.

Untuk itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus berkoordinasi dengan para pelaku usaha dalam mengamankan stok gandum dengan melakukan diversifikasi negara pemasok gandum. Beberapa negara yang dinilai berpotensi menggantikan posisi Ukraina sebagai pemasok gandum bagi Indonesia adalah Australia, Brasilia, Argentina, Kanada, India, dan Amerika Serikat.

Memasuki periode bulan puasa dan Lebaran di mana lazimnya terjadi kenaikan permintaan masyarakat khususnya untuk bahan makanan, mengharuskan pemerintah semakin antisipatif dalam menjaga stabilitas harga dan pasokan bahan pokok.

Kasan menjelaskan untuk menjaga inflasi kelompok bahan pangan bergejolak (volatile food) menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN), Kemendag bersama Kementerian/Lembaga terkait terus berupaya menjaga ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi bahan pokok.

“Kemendag juga telah menyiapkan pasokan daging dan gula sejak awal tahun dengan penerbitan persetujuan impor (PI) untuk kedua produk tersebut,” ungkap Kasan.

Kasan mengatakan pada 18 Februari 2022 telah dilaksanakan Rakornas Stabilisasi Harga Dan Ketersediaan Pasokan Barang Kebutuhan Pokok Menjelang Puasa Dan Lebaran 2022/1443 H bersama stakeholder terkait. Lalu dilanjutkan dengan koordinasi dengan beberapa daerah untuk memastikan kecukupan pasokan bahan pokok.

 “Intervensi yang dilakukan bertujuan memastikan bahwa kenaikan harga dalam batas yang tidak memberatkan bagi masyarakat konsumen,” kata Kasan.

Sementara dari sisi fiskal, Rahman menerangkan berbagai pos di APBN akan terimbas oleh faktor dinamika global. Terdapat potensi kenaikan penerimaan negara sebagai efek langsung kenaikan harga komoditas. Begitupun dari sisi pengeluaran (belanja) negara akan mengalami kenaikan. Seperti untuk subsidi energi, stabilisasi harga pangan, dan berbagai bentuk perlindungan sosial bagi masyarakat. Di sisi pembiayaan pun sama, akan terjadi peningkatan risiko pembiayaan APBN.

APBN akan terus antisipatif, mengoptimalkan perannya sebagai shock absorber atau penyerap gejolak. Baik itu akibat tekanan harga komoditas maupun naiknya cost of fund dari segi pembiayaan karena normalisasi kebijakan moneter AS

Sama seperti ketika harus menanggulangi tekanan akibat pandemi di 2020 dan 2021, di mana APBN bekerja keras memulihkan ekonomi. Maka APBN kali ini kembali menjadi andalan dalam memitigasi potensi efek rambatan dari dinamika global yang berlangsung.

Rahman menegaskan APBN akan terus hadir untuk menjaga pemulihan ekonomi, melindungi kesehatan dan daya beli masyarakat, serta menjaga kesinambungan fiskal.

“Jadi kalau ada gejolak, ya APBN lah yang punya peran besar untuk memitigasi dampaknya, terutama yang ke masyarakat. Pemerintah kan selalu APBN yang menjadi bantalan kebijakan, terutama melalui berbagai kebijakan perlindungan sosial,” pungkas Rahman


CS. Purwowidhu