Dinamika Ekonomi Global dan Pengaruhnya Bagi Indonesia

Laporan Utama
1 April 2022
OLEH: Dara Haspramudilla
Dinamika Ekonomi Global dan Pengaruhnya Bagi Indonesia

 

Situasi dan kondisi pada kuartal pertama di tahun 2022 cukup menantang bagi kinerja pemulihan ekonomi Indonesia. Dari sisi domestik, masalah kesehatan masih menjadi tantangan terutama ketika Indonesia dihadapkan pada situasi di mana varian Omicron merajalela di awal tahun. Meski demikian, kesiapan Indonesia menghadapi Omicron sudah jauh lebih baik dibandingkan saat menghadapi varian Delta. Sementara itu, dari sisi internasional, tekanan geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang semakin meningkat juga menjadi tantangan bagi kinerja pemulihan ekonomi nasional.

“Gelombang Omicron kemarin dampaknya tidak seberat yang kita perkirakan. Karakteristik gejalanya yang ringan sehingga tidak menimbulkan overcrowding di fasilitas kesehatan kita. Lalu, dampak ke ekonominya juga lebih mild apalagi kita lihat mobilitas penduduk mulai meningkat,” terang Plt. Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Abdurohman atau yang kerap disapa Rahman.

Selain masalah kesehatan di sisi domestik, tekanan geopolitik yang sedang terjadi antara Rusia dan Ukraina juga turut menjadi tantangan di sisi global bagi ekonomi nasional.

“Di kuartal ini, dari sisi domestik kita lihat ada pengetatan dalam berbagai kebijakan yang terkait pandemi seperti kenaikan level PPKM di berbagai daerah terutama yang menjadi pusat perekonomian. Di sisi internasional, kita lihat ada perubahan geopolitik yang cukup pesat dan signifikan dengan adanya perang antara Ukraina dan Rusia. Ini tentu saja akan berdampak pada perekonomian nasional,” tutur Yose Rizal Damuri, ekonom sekaligus Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS).

Hal senada juga dinyatakan oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid. Menurutnya saat ini Indonesia harus mewaspadai dinamika geopolitik global yang terjadi saat ini sehingga mengakibatkan adanya peningkatan harga pangan dan energi global, serta potensi lonjakan inflasi global yang akan menekan industri pangan dan energi dan sektor keuangan.

Tekanan geopolitik Rusia – Ukraina

Eskalasi ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina juga menimbulkan risiko tersendiri bagi Indonesia. Dampaknya tidak hanya berpengaruh di sisi politik, tetapi juga ekonomi.

Menurut Arsjad, untuk Indonesia ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina memberikan pengaruh politik dan ekonomi yang mengharuskan kita untuk mengkalkulasi ulang strategi kebijakan ekonomi dan dunia usaha untuk program pemulihan ekonomi di tahun 2022. Para pelaku usaha pun harus mencermati situasi ini untuk mengantisipasi dampaknya terhadap ekonomi, dunia usaha secara umum, dan bisnis perusahaan, utamanya di sektor energi, pangan dan perdagangan.

“Rusia merupakan salah satu pemasok energi terbesar di dunia dengan pasokan gas alam mencapai 16 persen dan minyak 11 persen. Sementara itu, Ukraina merupakan pemasok gandum terbesar bagi Indonesia. Dalam jangka pendek, kenaikan harga energi dan pangan global ini dapat memicu inflasi,” ujar Arsjad.

Arsjad mengatakan situasi ini juga memberikan implikasi positif di mana kenaikan harga energi dan komoditas pangan global akan berpotensi meningkatkan pendapatan ekspor bagi Indonesia. Namun, dalam jangka menengah dan panjang, inflasi global akan menghambat laju pemulihan ekonomi. Kenaikan inflasi dan harga akan sangat dipengaruhi oleh rentang waktu ketegangan antara Rusia-Ukraina. Jika konflik Rusia dan Ukraina tidak segera selesai akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, yang baru mulai pulih.

Yose juga menyatakan bahwa tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina dapat menguntungkan bagi Indonesia, terutama dari sisi perpajakan. Hal ini disebabkan oleh windfall profit atau keuntungan tiba-tiba dari kenaikan harga-harga komoditas akibat  situasi tersebut.

“Kalau sektor kelihatannya ada yang positif sebab mendapatkan windfall profit. Namun, kebanyakan memang mendapatkan dampak yang tidak terlalu baik. Misal, sektor transportasi di mana harga energi juga tentunya akan meningkat, begitu juga dengan sektor-sektor energinya itu sendiri. Lalu juga mungkin beberapa beberapa di sektor makanan yang disebabkan karena semakin ketatnya supply yang ada,” jelas Yose.

Akan tetapi, Yose berpendapat bahwa dampak yang akan dirasakan Indonesia sifatnya temporer. Penyesuaian di tingkat dunia akan terjadi, contohnya ketika harga minyak meningkat kemudian akan ada alternatif suplai dari Arab Saudi atau Amerika Serikat yang mulai meningkatkan produksinya. Dengan demikian, harga minyak meski masih tinggi, tetapi sudah jauh di bawah dari titik paling tinggi.

Implementasi UU Cipta Kerja dan UU Perpajakan menjadi salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan daya tarik investasi dan penciptaan iklim usaha yang lebih baik dalam meningkatkan daya saing Indonesia. Sumber foto Istock.

Tantangan pemulihan ekonomi 2022

Menurut Yose ada tiga tantangan yang membayangi tren pemulihan ekonomi Indonesia di tahun ini. Pertama, masih rentannya situasi Covid-19.

“Saat ini pandemi sudah mulai memasuki masa endemik, tetapi sifatnya masih riskan dan rentan. Dari sisi nasional, semakin menurunnya antuasiasme penduduk Indonesia mendapatkan vaksin, padahal vaksin merupakan hal utama dalam menangani pandemi. Penurunan ini bisa jadi salah satu sumber untuk tetap rentan dalam situasi pandemi,” terang Yose.

Tantangan kedua adalah beradaptasi dengan krisis saat ini dan menjadikannya sebagai momentum perubahan.

“Dalam dua tahun terakhir, kita melihat transformasi terutama digital (terjadi) sangat pesat dan kita harus beradaptasi dengan itu. Namun, masih banyak necessary condition yang masih belum mumpuni jika ingin melakukan transformasi digital secara optimal seperti infrastruktur, skills dan talents, serta literasi pengguna. Selain itu, penyesuaian kerangka kebijakan juga diperlukan karena kerangka kebijakan ekonomi digital berbeda dengan kerangka kebijakan Indonesia yang masih dalam koridor ekonomi konvensional,” jelas Yose.

Menurut Rahman, tren perubahan yang terjadi secara signifikan saat ini turut diakselerasi oleh adanya pandemi. Begitu pula tren digitalisasi yang meningkat pesat, termasuk di Indonesia. Ia menyatakan bahwa di kawasan ASEAN, transaksi digital Indonesia termasuk yang paling kuat dan masyarakat juga cepat beradaptasi. Ia juga tak memungkiri bahwa pemerintah perlu terus mendorong berbagai infrastruktur untuk mendukung perubahan digital, termasuk investasi di ICT (Information and Communication Technology) yang menjadi prioritas.

Yose menambahkan, tantangan ketiga adalah akselerasi dan perubahan aspirasi terhadap isu lingkungan hidup dan perubahan iklim di tingkat global. Kondisi ini juga mendorong Indonesia untuk bisa ikut beradaptasi.

Senada, Rahman juga menyatakan bahwa kesadaran akan lingkungan hidup juga tengah mendapat sorotan. Untuk itu, pemerintah juga telah memasukkan agenda ini dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF).

“Selain terus mendorong kesadaran masyarakat akan isu lingkungan, pemerintah juga sudah menangkap tren ini. Draft KEM PPKF yang sedang kita susun juga sudah mulai memasukkan isu lingkungan. Komitmen pemerintah juga terlihat dari berbagai kebijakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca,” tutur Rahman.

Strategi kebijakan yang perlu diambil pemerintah

Baik Arsjad maupun Yose memberikan perspektifnya mengenai strategi dan langkah kebijakan apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam meredam dampak dinamika global. Menurut Arsjad, perlu ada transformasi struktur ekonomi dari yang selama ini didominasi konsumsi rumah tangga yang sebesar 56 persen dari total PDB.

“Secara bertahap harus dialihkan pada sektor yang lebih produktif, untuk mendorong investasi dan ekspor. Investasi yang masuk diharapkan dapat membuka banyak lapangan kerja baru yang akan berkontribusi mengurangi pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Implementasi UU Cipta Kerja dan UU Perpajakan menjadi salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan daya tarik investasi dan penciptaan iklim usaha yang lebih baik dalam meningkatkan daya saing Indonesia,” terangnya.

Ia menambahkan kebijakan untuk menjaga stabilitas harga, terutama pangan dan energi serta kesiapan transformasi digital dan inovasi untuk masa depan sangat diperlukan dalam jangka pendek untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

Yose berpendapat bahwa salah satu hal yang harus menjadi perhatian adalah mengenai keterlibatan Indonesia dalam perekonomian global. Menurutnya, Indonesia adalah negara yang cenderung inward looking dan ini terlihat dari indeks terkait partispasi dalam ekonomi global di mana Indonesia cenderung rendah.

“Rasio FDI terhadap PDB Indonesia itu jarang sekali berada di atas 2 persen sementara negara-negara lain di kawasan ini, seperti Thailand misalkan itu biasanya di atas 3,5 persen. Apalagi kalau kita bandingkan dengan Vietnam yang mencapai 6 persen. Ini menunjukkan keterlibatan Indonesia dalam perekonomian global agak rendah. Ini mungkin disebabkan karena kebijakan Indonesia sendiri yang sifatnya kurang terbuka dibandingkan dengan negara-negara lainnya di kawasan”, jelas Yose.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi

Ketika ditanya mengenai perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2022, baik Arsjad maupun Yose menyampaikan kisaran angka yang tidak jauh berbeda. Yose berpendapat dengan asumsi tidak ada lagi gelombang baru pandemi Covid-19, Indonesia bisa mencatatkan pertumbuhan yang cukup tinggi yakni 5 – 5,5 persen di tahun 2022.

“Kita juga bisa melihat bahwa sektor luar negerinya cukup terbantu akibat kenaikan permintaan terhadap berbagai komoditas Indonesia. Tetapi ini sekali lagi sangat tergantung dari bagaimana kita meng-handle berbagai isu tertentu, terutama yang terkait dengan kesehatan,” ujarnya.

Mewakili KADIN Indonesia, Arsjad optimis target pertumbuhan 4,7 – 5,5 persen akan tercapai. Terlebih lagi melihat geliat dunia usaha yang diimbangi oleh konsumsi masyarakat sudah mulai terlihat sejak akhir 2021 hingga Februari 2022.

“Ini ditandai dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang meningkat menjadi 108,24, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang meningkat menjadi 113,1, Indeks Perdagangan Besar berada pada level 108,46, serta Indeks Penjualan Ritel terus tumbuh hingga mencapai 202,8,” terangnya.

Arsjad menambahkan bahwa KADIN Indonesia terus mengapresiasi langkah pemerintah yang melonggarkan APBN melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam upaya meningkatkan supply side dan demand side. Kebijakan tersebut berhasil mengoordinasikan sumber daya kesehatan dan bantuan sosial dengan menggandeng seluruh elemen masyrakat di seluruh negeri dalam menghadapi pandemi. Ia juga optimis Indonesia mampu melewati krisis lebih baik jika dibandingkan dengan ekonomi negara lainnya di dunia.