Melihat Seni Budaya dari Kaca Mata Pemuda

21 Maret 2021
OLEH: Dimach Putra
Melihat Seni Budaya dari Kaca Mata Pemuda
 

Sebuah video viral di media sosial. Muda-mudi bermasker nampak berlalu lalang dengan latar belakang gerbong kereta dan area stasiun Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta. Para pemuda ini memadukan street style khas anak muda dengan wastra atau kain tradisional Nusantara membalut bagian bawah tubuh mereka. Video tersebut mengawali demam mode baru jutaan netizen Indonesia dengan tagar #BerkainBersama. Tren ini diinisasi oleh gerakan bernama "Swara Gembira". Bukan nama yang spesifik berkaitan dengan hal berbau fashion. Lalu, apa nafas dari gerakan ini? Berikut petikan wawancara kami dengan Rifan Rahman, salah satu penggagas Swara Gembira.

Apa itu Swara Gembira dan bagaimana terbentuknya?

Secara singkat, Swara Gembira dibentuk oleh dua orang. Aku dan mitraku, Oi. Idenya digagas oleh Oi di 2017. Swara Gembira berangkat dan lahir dari hobi dan kesukaan kami terhadap seni budaya Indonesia. Sekaligus keresahan kami melihatnya semakin tergerus, kalah dengan budaya populer mancanegara. Dari situ kami sadar harus melakukan sesuatu. Swara Gembira hadir untuk mengevolusi dan merevolusi seni budaya Indonesia agar digemari anak-anak muda. Cara untuk bisa membuatnya menarik adalah dengan terus mengembangkannya hingga berada di level yang bisa keep up dengan perkembangan zaman.

Kami berprinsip untuk tidak menjadi gerakan nirlaba yang bergerak dari sumbangan semata. Akhirnya pada tahun ketiga, kami menjadi sebuah badan usaha dengan dukungan 8 orang dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Untuk kebutuhan acara yang melibatkan banyak sukarelawan, kami didukung oleh "Paguyuban Swara Gembira". Sekitar 230 anak muda yang memiliki semangat dan gelora perjuangan yang sama tentang seni budaya Indonesia tergabung di dalamnya. Sebelum pandemi ini kami juga sering mengadakan pertemuan dan ajang sharing. Itu yang biasanya kita pakai untuk membuat perjuangan ini berkelanjutan.

caption 1

 

 

Adakah filosofi di balik penamaan "Swara Gembira"?

Kami banyak terinspirasi oleh Guruh Soekarno Putra dengan "Suara Mahardika"-nya. Meski tidak terafiliasi, kami rasa ini legacy yang mau kami lanjutkan. Mahardika sendiri bermakna merdeka, jauh dari kondisi seni budaya Indonesia saat ini. Narasi awal yang terkesan kuno, mistis, membosankan, seram, harus diubah menjadi relevan dan populer. Kata yang paling merepresentasikan itu adalah gembira. Itu yang mendasari kami menamakan Swara Gembira.

Pergelaran kami yang pertama namanya "Pesta Dansa Untukmu Indonesiaku". Sebuah bentuk apresiasi kami terhadap karya cipta Guruh Soekarno Putra. Kami hanya bermodal nekat, tanpa pengalaman. Bahkan kami baru berkesempatan mengenal Mas Guruh dua hari sebelum poster acara dirilis. Dengan segala upaya dan bantuan teman-teman, kami berkesempatan bertamu ke rumah beliau untuk meminta izin sekaligus menjelaskan konsep Swara Gembira.

Bagaimana perkembangan gerakan yang diusung oleh Swara Gembira?

Bisa dibilang dalam dua tahun pertama kami  banyak berbicara dan bernarasi tentang musik. Sehingga, beberapa orang mungkin merasa bahwa saat itu Swara Gembira adalah perjuangan seni musik Indonesia. Sebenarnya enggak, karena kami juga telah membawa beragam unsur seni budaya. Nah, setelah merasa berhasil nge-hook dan berhasil mendapatkan atensi dari masyarakat, barulah kami mengekspansi ke jenis kesenian lain. Cara kami adalah dengan mengadakan pergelaran bukan di gedung kesenian atau pertunjukan, melainkan di tempat nongkrong anak muda, seperti di kawasan SCBD, Senopati dan Kemang.

Sampai pergelaran kami yang ke-4 atau ke-5 itu hampir semuanya mandiri. Kami dibantu oleh dua stakeholders utama yaitu musisi dan anak-anak muda. Sementara itu, para pemuda berperan sebagai konsumen. Mereka membeli tiket, mendukung pergelaran dan pergerakan kita, mau mempromosikan acara kita secara sukarela. Hingga akhirnya kini kegiatan kami bisa didukung beberapa sponsor.

Bagaimana pandemi COVID-19 ini berdampak pada kegiatan Swara Gembira?

Meski sedang pandemi global, Swara Gembira harus tetap berjuang. Kebetulan owned media kami belum sempat terksekusi karena sibuk membuat event yang lalu. Kami sadar bahwa media punya coverage luas. Banyak hal yang bisa kami sampaikan di berbagai platform media digital kami. Salah satu cerita yang memang paling enak untuk dibahas adalah perjuangan seni busana.

Mengapa kok hanya fokus ke seni busana? Karena kami merasa itu yang paling mudah ditularkan dalam keseharian. Efek dominonya sangat mudah mempengaruhi anak-anak muda. Mereka dapat terlibat dalam mempromosikan seni busana seperti yang kami lakukan di MRT dan menjadi viral beberapa waktu lalu. Dari tagar #berkaingembira dan #berkainbersama di TikTok, total views-nya, sejak kami buat kampanyenya 2 bulan yang lalu, sudah hampir mencapai 23 juta views.

Apa rencana Swara Gembira ke depan dalam kondisi pandemi yang tidak menentu ini?

Sejauh ini kami berencana merilis label busana dalam format kain. Motif dan desainnya dibuat sendiri oleh tim kami. Rencananya akan kami rilis di bulan Maret 2021. Di pertengahan tahun, kami juga berencana merilis mini album pertama. Sebenarnya, di beberapa pergelaran yang lalu kami sudah mulai menggunakan musik dan lagu hasil ciptaan dan aransemen sendiri. Dan jika semesta menghendaki dan Indonesia sudah bisa mengadakan acara offline lagi di akhir tahun, Swara Gembira akan mengadakan sebuah pergelaran akbar dengan tema seputar perjuangan kita dalam menghadapi pandemi.

 


Dimach Putra