Umar Syaroni Tunadaksa Master Komunikasi Peraih Beasiswa LPDP

Generasi Emas
15 September 2022
OLEH: Irfan Bayu
Umar Syaroni Tunadaksa Master Komunikasi Peraih Beasiswa LPDP

 

Penyandang disabilitas terkadang masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Namun, mungkin Anda harus berpikir ribuan kali untuk melakukannya pada pria satu ini. Namanya Umar Syahroni, penyandang tunadaksa di bagian kedua tangannya yang merupakan Awardee Beasiswa Afirmasi Penyandang Disabilitas LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) dan telah berhasil menyelesaikan pendidikan masternya di Universitas Airlangga, Surabaya.

Umar, panggilan akrabnya, sejak lahir memang memiliki kondisi yang istimewa. Dia lahir dengan kelainan pada kedua tangannya. Kedua tangannya dari lengan hingga jarinya memiliki ukuran yang kecil tak seperti orang pada umumnya. (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Bullying di negeri asing

Umar, panggilan akrabnya, sejak lahir memang memiliki kondisi yang istimewa. Dia lahir dengan kelainan pada kedua tangannya. Kedua tangannya dari lengan hingga jarinya memiliki ukuran yang kecil tak seperti orang pada umumnya. Tak ada jari yang lengkap, namun dia masih bisa menggunakannya untuk memegang sesuatu dan bahkan untuk menulis.

Bukan hal mudah bagi kedua orang tuanya menerima keadaan tersebut. Banyak cibiran yang datang silih berganti masuk ke telinga orang tuanya. Bahkan saat Umar masih bayi ada yang menyarankan orang tuanya untuk menenggelamkan Umar. Namun, mama dan baba, panggilan Umar pada orang tuanya, memilih untuk tetap membesarkannya dengan rasa sayang dan ketulusan hati.

Kedua orang tuanya yang merupakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Jeddah, Arab Saudi, mengharuskan Umar menghabiskan seluruh waktunya di tanah Arab. Barulah saat dia berumur 19 tahun, Umar kembali menginjakkan kakinya di Indonesia dengan tujuan utamanya untuk melanjutkan studi. Umar kecil sedari SD hingga SMA bersekolah di Sekolah Indonesia-Jeddah yang menggunakan kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan di bawah naungan Konsulat Jenderal RI di Jeddah. “Tidak banyak yang berbeda dengan sekolah di Indonesia, (perbedaanya) untuk muatan lokal kami tidak mendapat bahasa daerah namun Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Bekal bahasa (itu) yang saya syukuri”, jelas pria kelahiran Jeddah ini.

Hidup di negeri orang memang tidak mudah, apalagi dengan kondisinya yang berbeda dengan orang lain. Bully menjadi dinding tebal yang selalu menghimpitnya. “Sejak kecil saya mengalami bully baik oleh teman-teman maupun orang tak dikenal,” terangnya. Orang lain kerap memandang rendah Umar. Ia mengaku sering diremehkan dan dianggap tidak bisa melakukan apa-apa. Beruntungnya, Umar dikaruniai orang tua yang sabar dan selalu menyayanginya. Ketika dia ditolak sekolah, ibunya dengan sabar mengajarinya untuk menulis hingga Umar bisa menggunakan tangan mungilnya untuk menulis sendiri layaknya anak-anak lain seusianya.

“Sejujurnya saya akan biasa saja menghadapi bully sendirian, (namun) saya akan sangat sedih jika orang tua saya sampai menangis ketika melihat saya di-bully,“ jelas Umar yang saat ini tinggal di Surabaya. Kepercayaan dan kerja keras orang tuanya tersebut dibayar tuntas oleh Umar dengan gelar magisternya di bidang media dan komunikasi yang baru ia selesaikan pertengahan tahun kemarin.

 

Sejak 2015 dia bergabung dalam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Seni Tari, dan pada tahun 2017 dia dipercaya sebagai koreografer tari tradisional. (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Tari penawar rindu pada negeri

Hidup jauh dari kampung halaman membuat Umar mencari sesuatu yang bisa mendekatkannya dengan Indonesia. Seni tari menjadi pilihan untuk mengekspresikan sekaligus obat rindu bagi Umar yang hidup di Jeddah. Ketertarikannya dengan dunia tari sudah tumbuh sejak ia kecil. Dia selalu bersemangat ketika melihat pentas tari di sekolah ataupun di kantor konsulat. Sajian budaya yang dilihatnya tak jarang membuatnya takjub.

Akhirnya pada tahun 2010 bersama temannya, Umar memulai kegiatan menari. “Sejak kelas 2 SMP, saya dan sahabat, Abdullah, membuat sanggar di sekolah. Kami melatih beberapa adik kelas. Mereka tampil di pentas sekolah maupun pentas kebudayaan di Konjen RI Jeddah. Kami juga sering membuat tari kreasi,” jelas pria yang tahun ini akan genap berumur 26 tahun. Puncaknya ketika perpisahan angkatan, Umar bersama teman-temannya menampilkan Sendratari Sangkuriang dengan total 27 penari. Hingga saat ini Umar masih aktif dalam kegiatan menari seperti halnya saat dia berkuliah di Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya.

Sejak 2015 dia bergabung dalam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Seni Tari, dan pada tahun 2017 dia dipercaya sebagai koreografer tari tradisional. Umar mendampingi anggota UKM Tari yang akan tampil dalam kegiatan di dalam dan luar kampus. Jiwa tari sepertinya mengalir deras dalam tubuh Umar, yang bahkan mempengaruhi mimpinya. “Saya berharap, suatu saat jika saya berkesempatan kuliah S3 di luar negeri, saya ingin menampilkan tari tradisional untuk mengenalkan Indonesia pada dunia,” ungkap Umar.

Walaupun kuliah dilakukan secara full daring karena pandemi Covid-19 sejak awal hingga lulus perkuliahan, Umar tetap aktif dalam berbagai event, baik sebagai MC, moderator dan lain sebagainya. (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Tak bisa berpaling dari komunikasi

Umar memang suka berbicara di depan umum. Bukan sembarang bicara, saat di bangku sekolah dia sering menjuarai berbagai kompetisi pidato 3 bahasa (Indonesia, Inggris dan Arab). Berangkat dari hal tersebut, Umar menyadari bahwa dia mempunyai passion di bidang ilmu komunikasi. Tujuan utamanya kembali ke Indonesia memang untuk berkuliah, pada 2015 dia membulatkan tekad untuk berkuliah di Universitas 17 Agustus (Untag), Surabaya. Dia mengambil jurusan Ilmu Komunikasi yang didambakannya. “Ilmu Komunikasi punya cakupan yang luas, cocok dengan saya yang suka belajar banyak hal,” terangnya. Tak tanggung-tanggung, Umar berhasil menyelesaikan studinya dengan gelar sebagai lulusan terbaik.

Setelah lulus sarjana, Umar mengabdikan diri menjadi praktisi humas dan protokoler di almamaternya itu. Setelah bekerja, Umar menyadari bahwa masih banyak kompetensi lain yang harus dia pelajari. Namun, biaya kembali menjadi penghalang. Hidup di keluarga yang sederhana membuat skala  prioritas untuk melanjutkan studi mungkin berada di nomor sekian. Bahkan, Umar sempat ingin mengubur mimpi untuk meraih pendidikan S2-nya.

Tak patah arang, Umar mencoba mencari beasiswa yang bisa menjembataninya menggapai mimpi. Umar akhirnya menemukan LPDP. Melalui beasiswa afirmasi yang menyasar penyandang disabilitas, dia menemukan runway yang akan membawanya terbang. “Kehadiran skema beasiswa ini membawa asa dan menjadi jawaban atas inklusivitas yang diharapkan penyandang disabilitas. Hal ini menandakan bahwa Indonesia memberikan kesempatan akan akses pendidikan yang setara,” ungkap anak tengah dari tiga bersaudara ini.

 Umar semakin mantap melanjutkan pendidikan dan pilihannya pada Universitas Airlangga, kampus impiannya sejak SMA. Walaupun kuliah dilakukan secara full daring karena pandemi Covid-19 sejak awal hingga lulus perkuliahan, Umar tetap aktif dalam berbagai event, baik sebagai MC, moderator dan lain sebagainya. “Terhitung ada 30 lebih webinar yang mempercayai saya untuk menjadi pembicara. Topiknya sesuai kompetensi saya yaitu public speaking, komunikasi organisasi dan isu disabilitas,” terang pria yang bercita-cita menjadi dosen ini. Pada tahun 2020 Umar juga berhasil menjadi salah satu pemenang ICON PR (Public Relations) Indonesia 2020.

Selain itu, Umar juga berkesempatan mengikuti kelas internasional AMERTA untuk mata kuliah intercultural business communication dan tergabung dalam proyek penelitian dosen. Dengan fokus inklusivitas penyandang disabilitas, Umar berhasil menyisihkan 6.553 peserta dan lolos seleksi mewakili Indonesia bersama 500 peserta lainnya dari 120 negara dalam program United People Global (UPG) Sustainability Leadership 2022. Program tersebut diinisiasi oleh United People Global, sebuah NGO berbasis di Geneva, Swiss yang berfokus pada SDGs. “Saya menjalani kelas daring pada Maret-Juni dan setelah serangkaian kegiatan, saya dinyatakan lulus sebagai Certified Sustainability Leader”, imbuhnya. Dengan banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh Umar, tujuan utama untuk menyelesaikan kuliah juga tak diabaikannya. Umar berhasil menjadi lulusan tercepat untuk program Magister Media dan Komunikasi di Universitas Airlangga.

Umar merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Orang tua Umar memang sedari muda sudah tinggal di Jeddah, keduanya bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) disana. (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Semangat besar si tangan mungil

Umar merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Orang tua Umar memang sedari muda sudah tinggal di Jeddah, keduanya bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) disana. Caci maki, bully dan hal-hal tidak mengenakan lainnya merupakan makanan sehari-hari bagi mereka. Apalagi gelar TKI yang disandang sudah membuat orang melihat dengan sebelah mata, ditambah tunadaksa yang diderita Umar semakin memperparah keadaan yang ada. Tapi mungkin hanya tangan umar yang kecil, bukan semangat berjuangnya yang memiliki skala sangat besar.

Dengan kegigihannya dia berhasil membungkam semua mulut yang dahulu mengeluarkan kata tak enak nan pedas bagi dirinya maupun keluarganya itu. Namun bukan hal mudah bagi dirinya ataupun baba dan mamanya. Kesabaran orang tuanya, doa tulus yang terucap, dibarengi dengan perjuangan tak kenal lelah dari Umar kini berbuah manis. Siapa sangka anak yang dulu bahkan sempat ingin ditenggelamkan, sekarang dia bisa terbang menggapai mimpi-mimpinya satu persatu.

“Kedua orang tua saya adalah pahlawan bagi saya hingga saya bisa menjadi Umar seperti sekarang. Tanpa penerimaan mereka sejak saya bayi, mustahil saya bisa berada di titik ini. Begitu pula keluarga lainnya dan sahabat yang terus mendukung setiap langkah yang saya buat. Mereka yang selalu ada, termasuk di titik terendah saya. Tanpa dukungan mereka semua, tidak ada pencapaian positif yang saya raih,” ucap Umar yang kini bekerja menjadi staf di Kantor Humas & Protokoler Untag Surabaya.

Umar berpesan kepada rekan-rekan penyandang disabilitas, bahwa dengan keadaan fisik dan mental yang boleh berbeda, tapi hak dan kewajiban setiap orang itu sama.  (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Pesan Umar untuk Indonesia inklusif

Dewasa ini masih banyak masyarakat yang melihat para disabilitas dengan tatapan berbeda, “Indonesia inklusif merupakan harapan bagi lebih dari 30 juta penyandang disabilitas di negeri kita tercinta,” kata Umar, ”sebagai generasi terpelajar, mari melihat dunia sebagai taman bunga yang penuh warna. Penyandang disabilitas merupakan bagian integral dari keberagaman Indonesia. Mari bersama kita rangkul mereka”, sambung Umar yang saat ini merupakan Ketua Departemen Pendidikan Rumah Disabilitas Pusat.

Umar berpesan kepada rekan-rekan penyandang disabilitas, bahwa dengan keadaan fisik dan mental yang boleh berbeda, tapi hak dan kewajiban setiap orang itu sama. Dia mengajak para difabel untuk keluar dari zona nyaman dan mengaktualisasi diri untuk dapat membuktikan bahwa para penyandang disabilitas itu setara. Dia juga mengajak untuk menggunakan kesempatan studi melalui Beasiswa Afirmasi LPDP dan dapat turut serta berkontribusi bagi pembangunan bangsa.