Merangkai Solusi Kerawanan Pangan dan Energi

Laporan Utama
1 Agustus 2022
OLEH: Reni Saptati D.I.
Merangkai Solusi Kerawanan Pangan dan Energi

 

Jumlah penduduk dunia yang menghadapi kerawanan pangan meningkat lebih dari dua kali lipat sejak pandemi Covid-19, dari semula 135 juta orang menjadi 345 juta orang. Pernyataan tersebut dikeluarkan World Food Programme (WFP), sebuah organisasi kemanusiaan terbesar di dunia di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). WFP fokus menangani kelaparan penduduk dunia dan meningkatkan ketahanan pangan.

Dengan adanya konflik geopolitik Rusia-Ukraina dan pembatasan ekspor, pasokan pangan kian terganggu. Gangguan tersebut mendorong harga pangan ke level tertinggi. Harga pangan dunia merangkak naik hampir 13% pada bulan Maret 2022, dan kemungkinan akan terus naik bahkan berpotensi menyentuh 20% pada akhir tahun ini. Jika tak ada upaya mencari solusi, situasi ekonomi dunia pada akhir 2022 bisa jadi akan lebih buruk daripada akhir 2021.

Tak hanya kerawanan pangan, dunia juga tengah menghadapi ancaman krisis energi. Pada 14 Maret 2022, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guiterez membentuk Global Crisis Response Group on Energy and Finance (GCRG) yang memberikan kebijakan khusus pada bidang pangan, energi, dan keuangan.

Forum G20 turut andil dalam mencari solusi untuk mengatasi ancaman krisis pangan dan energi. Isu ketahanan pangan dan energi sempat menjadi sorotan dalam diskusi G20 pada tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun ini saat Indonesia memegang presidensi, pembahasan seputar isu tersebut kian menguat.

Bersama mencari solusi

Pada 15-16 Juli 2022, Indonesia menyelenggarakan pertemuan ketiga G20 Finance Ministers and Central Bank Governor Meeting (FMCBG) di Bali. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Wempi Saputra mengungkapkan, dalam pertemuan tersebut hadir 16 Menteri Keuangan, 10 Gubernur Bank Sentral, dan 6 organisasi internasional. Mereka menyepakati G20 harus memberikan sinyal yang jelas dan aksi nyata dari keberadaan forum G20 untuk mengatasi tantangan global.

“Jadi, krisis akibat pandemi harus diatasi. Juga bagaimana respons global terhadap perang di Ukraina serta tiga krisis baru, yakni krisis pangan, energi, dan keuangan. Semua hal tersebut dibahas,” lanjut Wempi.

Suasana FMCBG ketiga ini terasa berbeda dengan pertemuan pertama pada 17-18 Februari 2022 di Jakarta dan pertemuan kedua pada 20 April 2022 di Washington DC karena situasi ekonomi global yang semakin rumit.

“Jadi, tekanan ekonominya itu semakin terasa dengan adanya perang di Ukraina. Padahal sebelumnya sudah ada Covid-19 yang itu pun masalahnya belum terpecahkan. Lalu, ada perang, sehingga akhirnya membuat suply demand missmatch terhadap pangan, energi, pupuk, juga ada inflasi yang tekanannya semakin menguat,” tutur Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral (PKRB) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Nella Sri Hendriyetty.

Dalam rangkaian pertemuan tersebut, Indonesia mendorong pertemuan bersama antara Menteri Keuangan dan Pertanian negara-negara G20 untuk meningkatkan koordinasi dan mengeksplorasi berbagai tindakan untuk mengatasi kerawanan pangan sekaligus memperkuat ketahanan pangan. Nella menyebutkan pertemuan tersebut mencari alternatif solusi utuk mengatasi kekurangan pasokan pasar, dukungan untuk perdagangan hasil pertanian, serta proposal tentang bagaimana kolaborasi global dapat diperkuat untuk mengatasi masalah kerawanan pangan.

G20 mengajak berbagai forum dan organisasi internasional, termasuk IMF, untuk memperkuat komitmen melalui program-program yang spesifik guna mencegah krisis global yang dipicu oleh harga pangan yang tinggi, serta memastikan tersedianya cukup pasokan makanan bagi yang membutuhkan, memungkinkan semua orang yang rentan untuk mengakses makanan yang mereka butuhkan, dan memungkinkan semua orang untuk mengakses bantuan pangan kemanusiaan,” lanjut Nella.

Wempi juga mengatakan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral meyuarakan agar perang segera dihentikan. Ia melanjutkan, tentu ada political decision yang dibahas dalam konteks pembahasan tingkat tinggi. Wempi berharap konflik geopolitik Rusia-Ukraina ke depan tidak membuat kondisi global semakin memburuk akibat dari berbagai disrupsi, baik lantaran rantai suplai, kenaikan inflasi, maupun kesulitan negara-negara tertentu untuk membayar utangnya.

“Kita harapkan G20 menjadi lebih efektif, tidak hanya mengatasi tantangan global, tetapi sekaligus juga memberikan manfaat yang lebih nyata untuk mengatasi berbagai krisis yang ada,” tegas Wempi.

Selama memegang presidensi G20, Indonesia mendesak adanya tindakan nyata untuk mengatasi kerawanan pangan dan energi yang terus meningkat. Para anggota G20 berkolaborasi dengan organisasi internasional untuk mengatasi ketahanan pangan, terutama untuk membantu negara-negara yang membutuhkan. Kolaborasi ini sangat penting agar krisis pangan dan energi segera berakhir dan tidak merambah ke krisis keuangan.

Untuk ketahanan pangan dalam skala kecil, Indonesia menekankan dukungan terhadap petani skala kecil, yaitu dengan menghapus hambatan perdagangan yang diskriminatif dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional. (Sumber Foto: Irfan Bayu P)

Memperkuat ketahanan pangan dan energi domestik

Pemerintah Indonesia terus berupaya agar dampak pandemi dapat teratasi dan tak terus melebar kemana-mana. Di sisi pangan, pemerintah menerapkan sejumlah kebijakan untuk menjaga ketahanan pangan melalui peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan, memperkuat cadangan penunjang, menyempurnakan sistem logistik, modernisasi sistem pertanian.

Pemerintah juga mengembangkan pertanian skala besar, membangun food estate, serta mengembangkan pertanian pangan jarak dekat yang berkelanjutan dengan sistem pengolahan dan logistik yang terintegrasi guna meningkatkan produktivitas pangan,” terang Nella.

Untuk ketahanan pangan dalam skala kecil, Indonesia menekankan dukungan terhadap petani skala kecil, yaitu dengan menghapus hambatan perdagangan yang diskriminatif dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional.

“Bukan hanya menghilangkan, kita juga menghindari jika sudah terlihat ada langkah-langkah diskriminatif atau yang akan mengarahkan kepada langkah-langkah diskriminatif,” lanjut Nella.

Fokus lain pemerintah Indonesia dalam mengatasi kerawanan pangan dan energi yakni dengan menerapkan reformasi struktural. Upaya reformasi struktural di bidang infrastruktur, produktivitas, kualitas sumber daya manusia, pendidikan, kesehatan, dan lainnya menjadi pembahasan utama dalam penyusunan APBN.

Dalam jangka pendek, program jaringan pengaman sosial bagi masyarakat ekonomi bawah menjadi upaya agar mereka tidak mengalami kekurangan nutrisi. Dalam jangka panjang, program ketahanan pangan nasional memberi dukungan terhadap pasokan rantai makanan.

Terkait krisis energi, Indonesia mengharapkan tetap dijaminnya pasokan energi yang terjangkau serta mendukung pembangunan untuk mengurangi kemiskinan dan pemulihan ekonomi. Langkah ini juga perlu diikuti dengan keberlanjutan dukungan negara maju untuk transisi energi melalui kerja sama dan kemitraan.

“Di dalam rangkaian FMCBG ketiga, Kementerian Keuangan memanfaatkan momentum dengan meluncurkan sebuah country platform untuk mekanisme transmisi energi, yaitu Energy Transition Mechanisme,” sebut Nella. ETM merupakan rencana ambisius yang memungkinkan peningkatan infrastruktur energi di Indonesia dan mempercepat transmisi energi bersih menuju net zero emission dengan cara yang adil dan terjangkau.

Ketahanan pangan dan energi terus menjadi perhatian pemerintah. APBN siap mengantisipasi kenaikan harga berbagai komoditas. Di sisi lain, instrumen APBN akan dioptimalkan untuk menjaga daya beli masyarakat. Pemerintah Indonesia juga terus mendorong adanya solusi bagi krisis pangan dan energi dunia dalam forum G20 sehingga masyarakat Indonesia bisa terhindar dari ancaman krisis pangan dan energi.


Reni Saptati D.I.