Alex Maramis di Negeri Belanda, Mengadu Peruntungan, Mendapatkan Kebangsaan

2 Oktober 2022
OLEH: Historia
Alex Maramis di Negeri Belanda, Mengadu Peruntungan, Mendapatkan Kebangsaan
 

Jalan nasib membawanya ke negeri Belanda. Di sana dia berkenalan dengan gagasan kebangsaan Indonesia yang kemudian hari mengubah jalan hidupnya.

Gerhana matahari total membayangi langit pada Kamis, 29 Mei 1919. Berdurasi enam menit 50,75 detik, ini adalah gerhana terlama sejak 27 Mei 1416. Gerhana itu membayangi Kapal SS Wilis yang perlahan meninggalkan Pelabuhan Tandjoeng Priok, Batavia menuju Rotterdam, Belanda.

SS Wilis merayapi ombak lautan melewati Samudera Hindia dan Samudera Atlantik selama sebulan lebih. Kapal baru sampai ke Pelabuhan Rotterdam pada 3 Juli.

Dari ratusan orang yang menumpangi SS Wilis, salah satunya adalah Alexander Andries Maramis. Pemuda asal Minahasa ini karib disapa Alex Maramis. Namanya tercantum dalam manifes penumpang yang dirilis harian Sumatra-Bode edisi 27 Mei 1919 dan De Maasbode edisi 8 Juli 1919.

Alex lulusan Hoogere Burgerschool (HBS) Koning Willem III School, Batavia. Sang ayah, Andries Alexander Maramis memang memanas-manasi Alex untuk sekolah ke Batavia.

Andries sendiri adalah seorang pokrol bambu, advokat hukum amatir untuk masyarakat jelata. Andries ingin Alex mengikuti jejaknya sebagai pokrol bambu untuk membela saudara-saudaranya se-Minahasa di hadapan hukum. Alex disekolahkannya setinggi mungkin. Hingga dia lulus HBS. Koran Belanda, Het Vaderland edisi 12 Juli 1916, menyebutkan namanya sebagai salah satu peserta yang lulus ujian akhir pada awal Juli.

Alih-alih pulang kampung untuk menjadi pokrol bambu, Alex ingin menuntut ilmu hukum untuk menjadi advokat yang sesungguhnya. Dia tidak puas hanya bermodal ijazah HBS. Leiden, Belanda menjadi tempat pilihannya menimba ilmu hukum.

Andries mendukung penuh niat Alex. Meskipun hanya berprofesi pokrol bambu, Andries merasa mampu membiayai hidup dan kuliah Alex di Leiden. Jadilah Alex menumpang kapal ke Belanda, untuk singgah di Rotterdam, hingga menjejakkan kakinya di Leiden.

Untuk bisa masuk perguruan tinggi di Leiden, Alex harus menempuh ujian demi mendapatkan sertifikat kompetensi. Ujian tersebut adalah syarat wajib menurut pasal 12 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Pemerintah Belanda ketika itu. Alex baru mengikuti ujian itu setahun setelah kedatangannya. Ujian berlangsung di Utrecht dari 12 Juli hingga 27 Agustus 1920.

Kapal Belanda yang mengangkut ribuan penumpan dari Pelabuhan Tanjung Priok (NationaalArchief) (Foto:Historia)

Alex lulus. Nederlandsche Staatscourant edisi 20 Oktober 1920 mencantumkan namanya sebagai salah seorang yang mendapatkan sertifikat kompetensi. Namun koran tersebut menyebut Alex mendapatkan sertifikat untuk kuliah di fakultas kedokteran, matematika, dan fisika.

Bagaimanapun, Alex lantas menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Leiden untuk beberapa tahun kedepannya. Alex termasuk beruntung. Selain sertifikat kompetensi, ijazah HBS yang Alex kantongi juga menolongnya duduk di bangku Universitas Leiden.

Berbeda dengan pemuda Minahasa lainnya, GSSR Ratulangi (Sam Ratulangi) batal kuliah di Leiden karena tidak mengantongi ijazah HBS atau AMS. Ijazah Middlebare Acte en Paedagogiek, walau diperolehnya di negeri Belanda pada 1913, tidak bisa digunakan untuk masuk ke Universitas Leiden.

Ratulangi mengambil kesempatan lain. Dia memilih mendalami ilmu alam di Universitas Zurich, Swiss sampai menggondol gelar doktor.

Keberuntungan Alex tidak hanya di situ. Dia juga tidak perlu memusingkan soal beasiswa di Leiden. Semua biaya kuliah dan hidupnya di sana murni dari sang ayah di Manado. Keluarga Maramis termasuk keluarga kelas atas di Manado. Keluarga ini memiliki perkebunan kelapa yang luas.

FEW Parengkuan dalam A.A. Maramis, S.H., menyebutkan bahwa keluarga Alex adalah salah satu dari sedikit keluarga di Manado yang memiliki kendaraan bermotor pada 1920. 

“Hal ini dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa memang soal biaya tidaklah amat memberatkan bagi keluarga Maramis untuk kelanjutan studi anak mereka ke luar negeri sebentar,” lanjut Parengkuan.

Nasib Alex memang berbeda dengan mahasiswa Hindia Belanda lainnya seperti Hatta, yang harus berburu beasiswa dan mengirit biaya hidup.

Semasa mahasiswa, hidup keseharian Alex terkesan seperti kebanyakan mahasiswa di Belanda. Selain studi, dia senang mengikuti acara dansa dan musik. Di bidang yang terakhir ini, Alex berbakat dalam bermain biola meskipun tidak menonjol. Dia sudah akrab dengan biola sejak di HBS.

Hobinya itu terbawa sampai Leiden. Di waktu senggang, Alex dan Arnold Mononutu, kawan Minahasa sesama mahasiswa hukum, kerap bermain biola. Selain Arnold, teman bermain biola lainnya adalah Achmad Subardjo.

“Alex Maramis ini bersama Ahmad Subardjo sama-sama senang main biola di mana Alex suara kedua dan Subardjo suara pertama,” urai Parengkuan.

Semasa berkuliah di Leiden, beberapa sumber mencantumkan nama A.A. Maramis sebagai redaksi koran lokal Manado, Tjahaja Siang. Koran ini berbahasa Melayu (Indonesia) dan membahas isu di seputar Manado.

Nama A.A. Maramis dalam redaksi Tjahaja Siang berturut-turut tercatat dalam majalah Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, edisi no. 12 tahun 1922; edisi no. 5, 18, 30, dan 42 tahun 1923; serta edisi no. 16, 28, dan 43 tahun 1924.

Namun, masih belum jelas apakah A.A. Maramis yang dimaksud adalah Alex, atau orang lain. Jika memang Alex, tidak disebutkan pula keterangan bagaimana dia mengasuh koran di Manado, sedangkan dia sedang berkuliah di Leiden.

Foto bangunan Universitas Leiden tempo dulu. Di gedung inilah dulu Maramis sempat menimba ilmu selama di Belanda (Foto:Historia)

Berkenalan dengan pemikiran kebangsaan Indonesia

Alex memang tipe pendiam. Orang tidak banyak tahu tentang isi di dalam kepalanya. Termasuk pula Arnold. Dia mengira Alex seperti halnya mahasiswa kebanyakan, senang musik dan jalan-jalan.

Sampai suatu ketika pada tahun 1923 pandangan Arnold tentang Alex berubah total. Ceritanya, saat itu Alex mengajak Arnold untuk mengunjungi sebuah hotel. Kabarnya ada acara di hotel tersebut.

Biasanya tiap hari Sabtu, Maramis dan Arnold makan di warung Jawa. Selesai makan, Arnold bertanya ke Maramis, mau pergi menonton di bioskop mana. Tapi dia menjawab bahwa tak menonton hari ini.

”Saya mau pergi ke Hotel De Twee Steden. Di sana ada rapat dari Indonesische Vereeniging, yang akan ganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Ayo Arnold, mari ikut saya”, kata Maramis seperti dikutip Parengkuan.

Di balik sikap kalemnya, Alex mengikuti arus perjuangan kebangsaan para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. Dia menjadi anggota Indonesische Vereeneging.

Indonesische Vereeniging awalnya bernama Indische Vereeniging. Organisasi ini adalah perkumpulan mahasiswa Hindia Belanda di negeri Belanda. Berdiri pada tahun 1908, Indische Vereeneging berkutat pada kegiatan sosial, seni, juga plesiran.

Wajah Indische Vereeniging kemudian berubah ketika Suwardi Suryaningrat, karib dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, masuk ke dalamnya. Diskusi-diskusi politik tentang keadaan tanah air, kolonialisme, dan hak-hak Bumiputera mulai marak.

”Perkumpulan tersebut mulai dipolitisasi sekitar tahun 1916 yang diwujudkan dalam terbitnya sebuah jurnal bulanan Hindia Poetra. Karakter politiknya menjadi lebih jelas setelah berakhirnya Perang Dunia I, ketika doktrin penentuan nasib sendiri bagi masyarakat kolonial menyebar luas di kalangan mahasiswa Asia,” terang Leo Suryadinata, dalam “Indonesian Nationalism and the Pre-war Youth Movement: A Reexamination”, yang termuat pada Journal of Southeast Asian Studies, 9, (1978).

Sikap politik nasionalis Indische Vereeniging semakin menjadi ketika diisi oleh angkatan muda seperti Hatta, Ali Sastroamidjojo, Soekiman, Sitalana, Dr. Mochtar, termasuk Alex Maramis.

“Merekalah yang meneruskan proses ‘nasionalisasi’ terhadap Indische Vereeniging, yang sudah dimulai sejak datangnya Driemanschap I.P (Indische Partij) di tahun 1913,” tulis Ki Hajar Dewantara sendiri dalam Kenang-Kenangan Ki Hajar Dewantara: Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan, terbit 1952.

Senada dengan Ki Hajar, George McTurnan Kahin juga menyebutkan bahwa generasi Alex dan kawan-kawanlah yang mengkristalkan gagasan kebangsaan Indonesia. “Mahasiswa-mahasiswa ini lebih terpolitisir daripada generasi sebelumnya dan melanjutkan pekerjaan politik mereka di Belanda,” tulisnya dalam Nationalism and Revolution in Indonesia, terbit tahun 1952.

Alex sempat menjadi sekretaris dalam kepengurusan Indische Vereeniging yang keempat, di bawah pimpinan Nazir Pamontjak. Nazir menggantikan Iwa Koesoemasoemantri sebagai ketua. Mohammad Hatta mencatat dalam Memoir bahwa Alex mulai menjabat dari 9 Februari 1924, berdasarkan keputusan rapat.

Selain Nazir dan Alex, pengurus lainnya adalah R. Soewarno sebagai bendahara, M. Soekiman (komisaris), dan Mohammad Nazif (archivaris).

Tahun 1924 adalah momen penting bagi sejarah Indische Vereeniging, juga bangsa Indonesia. Pada tahun itu, Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Nama ‘Indonesia’ mulai berkumandang di antero Eropa.

Di dalam Indonesische Vereeniging, Alex kerap menuangkan gagasan-gagasannya, baik dalam diskusi maupun lewat tulisan. Salah satunya adalah tulisan ”Terugblik” (Meninjau Kembali) yang termuat di dalam Gedenkboek Indonesische Vereeneging edisi April 1924.

Isinya tentang keharusan menyatukan perjuangan kebangsaan Indonesia dengan arus kebangkitan Asia. Alex ingin Indonesische Vereeniging menjadi bagian dari perjuangan bangsa-bangsa Asia. Dengan demikian, pergerakan Indonesische Vereeniging akan mendapatkan banyak dukungan dari para mahasiswa dan pelajar Asia lainnya.

“Akhir-akhir ini, penting bagi orang Indonesia di negara ini untuk mengupayakan orientasi internasional, lebih tepatnya, orientasi intra-Asia […]. Sekitar sembilan tahun yang lalu, Dr. Ratulangi di Zurich mendirikan 'Société Asiatique des tudiants', yang, bagaimanapun, mungkin tidak memenuhi harapan karena kurangnya sentuhan pribadi. Semoga pertemuan yang cukup sering belakangan ini memberikan landasan yang lebih kuat bagi kemungkinan Asosiasi Pelajar Asia yang baru,” terang Alex seperti dikutip dalam Behind the Banner of Unity Nationalism and Anticolonialism among Indonesian Students in Europe, 1917-1931, tesis doktoral karya Klaas Stutje.

Gedenkboek Indonesische Vereeniging tersebut memantik kritikan dari kalangan pers Belanda. ”Ada yang mengatakan bahwa ’de inlandsche studenten’ sudah dihinggapi oleh semangat revolusioner yang susah mengikisnya kembali,” ungkap Hatta.

Kiprah lanjut Alex di Indonesische Vereeniging kurang terdengar lagi setelahnya sebab pada tahun yang sama, Alex menempuh ujian akhir.

Alex pun lulus. Kelulusannya diberitakan oleh berbagai media massa Belanda. Salah satunya adalah Arnhemsche Courant edisi 20 Juni 1924 yang menyebutkan bahwa Alex Maramis (A.A. Maramis) lulus Doctoraal examen rechten de heer, dari Universitas Leiden.

Harian De Telegraaf edisi 20 Juni 1924 menyebut Alex lulus ujian pada 19 Juni. Alex sah menjadi master ilmu hukum. Dia berhak menyandang gelar Meester in de rechten di depan namanya.

Sebulan setelah kelulusannya, Alex kembali ke tanah air dengan menumpang kapal ke Batavia. Alex singgah sebentar di Batavia. ”Ia untuk sementara tinggal di Jalan Pintu Kecil No. 46, Jakarta Barat,” tulis Parengkuan.

Tak lama setelahnya, Alex kembali ke Manado. Tapi hanya sebentar. Alih-alih menjadi pokrol bambu di Manado seperti harapan ayahnya, Alex malah lebih memilih membaktikan dirinya sebagai advokat di tanah Jawa.


Historia