Cipta Rasa Keadilan

15 Juli 2021
OLEH: Reni Saptati D.I.
Cipta Rasa Keadilan
 

Sejak merdeka, Indonesia menggunakan sistem perpajakan peninggalan kolonial Belanda. Kian lama, sistem itu kian usang. Penyempurnaan sistem perpajakan mulai dirintis ketika Menteri Keuangan Ali Wardhana menjabat pada awal pemerintahan Orde Baru. Gebrakan besar-besaran Ali lakukan pada tahun 1983 sewaktu ia berhasil menyelesaikan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) di bidang perpajakan. Pada saat itulah, masyarakat Indonesia diperkenalkan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Pengaturan PPN di Indonesia terangkum dalam UU Nomor 8 Tahun 1983. Sejak diberlakukan, UU tersebut sudah mengalami beberapa kali perubahan. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengungkapkan, PPN kemudian menjadi sangat kompleks karena dalam perjalanannya muncul banyak pengecualian dan fasilitas.

“Setidaknya saat ini ada 4 kelompok barang yang tidak tergolong kelompok barang kena pajak. Kemudian ada 17 jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. Di samping itu, kita juga punya jenis-jenis fasilitas yang lain lagi: ada PPN dibebaskan, ada PPN yang statusnya tidak dipungut, ada pula PPN dengan pengenaan dengan sistem tertentu. Itu membuat sistem PPN kita itu menjadi sangat kompleks,” jelasnya.

Pengecualian dan fasilitas tersebut memberikan berbagai dampak, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun penerimaan negara. Dari sisi ekonomi, tercipta distorsi ekonomi, misalnya harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor. Pemungutan pajak pun menjadi tidak efisien sebab penataannya lebih kompleks.

Administration cost dan complience cost menjadi besar. Muncul juga berbagai ‘lubang’ karena terlalu banyak pengecualian,” tutur Yon yang menyelesaikan studi S3 Ilmu Ekonomi di Kobe University pada 2007.

Dari sisi sosial, sistem PPN yang berlaku saat ini kurang memberikan rasa keadilan lantaran menguntungkan masyarakat berpenghasilan tinggi. Mereka tidak perlu membayar pajak untuk konsumsi beras, ikan, daging, dan lainnya yang dikecualikan.

Dari sisi penerimaan, potensi penerimaan pajak menjadi berkurang karena tax expenditure cukup tinggi. Yon mengakui PPN yang ada sekarang memiliki berbagai kelemahan. Oleh sebab itu, ia menegaskan dibutuhkan penataan kembali atas sistem PPN yang berlaku di Indonesia secara lebih komprehensif.

APBN adalah dana anggaran yang berasal dari masyarakat melalui pajak, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak, serta akan kembali lagi kepada masyarakat

Demi keadilan

“Itu yang menjadi kata kunci sebenarnya. Kita menciptakan keadilan dan tidak semata-mata hanya penerimaan negara,” tegas Yon lantang.

Pemerintah sejak awal sudah punya tujuan jelas atas rencananya melakukan penataan ulang sistem PPN, baik dengan cara menaikkan tarif PPN, menerapkan multitarif dan tarif final, maupun mengurangi pengecualian dan fasilitas PPN. Tujuan paling utama ialah memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Penerapan tarif akan berbeda untuk barang yang bersifat mewah dan barang yang dibutuhkan masyarakat banyak. Selain itu, penataan PPN akan memberikan kemudahan dan kesederhanaan administratif.

Yon yang pernah menjabat sebagai Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Ditjen Pajak menjelaskan, kebijakan pemerintah tidak berdiri sendiri. Reformasi di bidang penerimaan merupakan satu paket kebijakan dengan reformasi di bidang belanja. Keduanya berjalan paralel.

“Kalau ada tambahan penerimaan yang cukup signifikan dari perubahan regulasi ini, kita bisa gunakan untuk dikembalikan lagi ke rakyat. Uangnya kita kembalikan kepada rakyat yang amat sangat terpukul selama pandemi, terutama desil 4 ke bawah orang miskin,” terang Yon. Ia menggarisbawahi, kebijakan penerimaan harus dilihat sebagai bagian yang utuh dari reformasi fiskal yang berkelanjutan. Seluruh kebijakan bermuara menuju kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Hal senada disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada Konferensi Pers APBN KiTa yang berlangsung 21 Juni 2021. Ia menyampaikan, APBN adalah dana anggaran yang berasal dari masyarakat melalui pajak, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak, serta akan kembali lagi kepada masyarakat.

Menkeu menjelaskan, Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang memuat salah satunya isu PPN akan dibahas dengan DPR sebagai proses legislasi yang proper sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

RUU KUP yang sedang diajukan ke DPR adalah sebuah ikhtiar gotong royong untuk menyelesaikan berbagai masalah di Indonesia. RUU KUP merupakan satu bagian dari reformasi yang sedang dilakukan pemerintah demi Indonesia yang lebih baik.

Selain meningkatkan penerimaan negara sehingga tujuan mengembalikan defisit APBN ke angka 3 persen pada tahun 2023 tercapai, RUU KUP juga berupaya membuat sistem pajak yang lebih adil. Pemerintah dan DPR akan membahasnya terlebih dulu hingga mencapai keputusan terbaik untuk masyarakat.

“Ini adalah fondasi bagi ekonomi Indonesia. Tidak hanya hari ini, tetapi ke depan. Dan asas-asas keadilan, bagaimana tantangan-tantangan kita hari ini ke depan, nanti akan kita bahas secara bersama,” tegas Menteri Keuangan.

Semakin transparan prosesnya, semakin dilihat oleh semua pihak, menurut Menkeu akan semakin baik. Ia berharap proses pembahasan nantinya berlangsung baik. Namun, ia menegaskan bahwa fokus pemerintah saat ini adalah penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi. “Dari semua anggaran yang kita lakukan hari ini, policy-policy adalah untuk memperkuat dan memulihkan ekonomi dan penanganan COVID-19,” tegasnya.

Optimistis tax ratio naik

“Kita optimistis dengan berbagai reformasi menyeluruh ini, mudah-mudahan tax ratio kita meningkat,” ujar Yon.

Optimisme tersebut bukan tanpa dasar. Saat ini, tax ratio Indonesia memang lebih kecil dibandingkan dengan negara lain. Namun, Yon menjelaskan, perlu diperhatikan bahwa definisi tax ratio yang digunakan oleh masing-masing negara belum tentu sama.

Sebagai contoh, Indonesia tidak memperhitungkan komponen pajak daerah sebagai bagian dari tax ratio, padahal total penerimaan pajak daerah Indonesia pada 2020 mencapai Rp250 triliun atau sekitar 1,6 persen dari PDB. Selain itu, negara lain memasukkan Social Security Contribution (SSC) dalam komponen tax ratio-nya, sedangkan Indonesia tidak memiliki komponen tersebut.

“Kalau kita memasukkan komponen pajak daerah, kita masih di bawah, tetapi tidak terlalu jauh,” ungkap Yon. Dengan perbaikan administrasi, perbaikan metodologi pengawasan, pemeriksaan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, dan perbaikan kebijakan secara paralel, Yon yakin tax ratio bisa naik cukup signifikan.

Ia menyampaikan sejumlah upaya akan terus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia.  Selain memperkuat sistem pemungutan PPN, langkah lain yang dilakukan yakni membawa sektor informal ke dalam sistem perpajakan.

“PDB kita 60 persen berasal dari sektor UMKM. Karena basisnya informal, pemajakannya menjadi sulit. Mereka berdagang informal, cash basis, tidak membuat pembukuan, dan tidak menjadi sasaran utama bagi otoritas pajak untuk melakukan pengawasan. Jadi, struktur ekonomi yang seperti itu memang cukup menantang,” Yon berpendapat.

Upaya peningkatan kepatuhan pajak lainnya dilakukan dengan mengenalkan program peningkatan kepatuhan pajak seperti pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela. Pertama, melalui pembayaran Pajak Penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta Pengampunan Pajak. Kedua, melalui pembayaran Pajak Penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi tahun pajak 2019.

“Kita memberi kesempatan volunteer mengungkapkan penghasilan yang selama ini belum disampaikan dan tidak kita kenakan sanksi. Secara paralel, kita lakukan peningkatan pengawasan, tetapi bagi Wajib Pajak yang ingin voluntary, kita siapkan juga jalannya. Kebijakan ini sifatnya temporer, bukan kebijakan yang permanen,” pungkas Yon.

 


Reni Saptati D.I.