Kelola Dana Bagi Hasil dengan Lebih Adil

16 Februari 2023
OLEH: Reni Saptati D.I.
Kelola Dana Bagi Hasil dengan Lebih Adil
 

Krisis ekonomi 1998 menjadi salah satu pemicu reformasi keuangan negara di Indonesia. Pada saat yang sama, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal turut menjadi atensi dan mendorong dibahasnya aturan baru tentang keduanya. Tak perlu waktu lama, tahun 1999 terbit Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

UU 22/1999 menyerahkan kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Kehadiran UU tersebut melahirkan desentralisasi yang luas dan bertanggung jawab. Sementara, UU 25/1999 memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola keuangannya secara mandiri sesuai kebutuhan masing-masing daerah.

Beberapa tahun kemudian lahir paket UU reformasi di bidang keuangan negara, yakni  UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan adanya peraturan baru tersebut, pemerintah menyelaraskan aturan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sehingga terbit UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam UU 33/2004 dinyatakan bahwa dapat memberikan pelayanan publik secara lebih efektif dan efisien, pemerintah daerah harus didukung oleh sumber-sumber keuangan yang mencukupi, baik dari  Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana  Perimbangan, pinjaman, maupun bantuan dari pemerintah pusat atau daerah Lainnya. Dana perimbangan yang ditransfer kepada daerah antara lain berupa Dana  Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Pemerataan di seluruh pelosok Indonesia

Tiap jenis transfer memiliki tujuan, mekanisme, dan formula yang berbeda. DBH misalnya, merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan penyaluran DBH ialah untuk memperbaiki keseimbangan vertikal antara pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.

Seiring berjalannya waktu, proses pelaksanaan desentralisasi fiskal menunjukkan kinerja positif. Kesenjangan kemampuan keuangan antardaerah menunjukkan tren kian berkurang, dari 0,332 pada 2016 menjadi 0,230 pada 2020. Pengelolaan administrasi keuangan daerah juga kian baik yang ditandai dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian pada laporan keuangan pemda yang terus bertambah.

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal turut berkontribusi dalam perbaikan berbagai layanan publik dasar. Kesejahteraan masyarakat Indonesia meningkat, pembangunan pun lebih merata di seluruh pelosok negeri.

Namun demikian, tantangan demi tantangan juga terus ditemui. Untuk memperkuat desentralisasi fiskal dan mewujudkan kesejahteraan, penyempurnaan regulasi dilakukan. Kemudian, lahirlah UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Nyawa UU ini yakni mewujudkan desentralisasi fiskal yang adil, transparan, akuntabel, dan berkinerja.

Redesain DBH kurangi ketimpangan

Salah satu pilar UU 1/2022 yaitu mengurangi ketimpangan. Untuk mewujudkannya, pemerintah melakukan redesain pengelolaan transfer ke daerah dan mendorong perbaikan kualitas belanja yang efisien dan efektif. Redesain juga terjadi pada DBH.

DBH terdiri atas DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). DBH Pajak sendiri meliputi Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan dan Cukai Hasil Tembakau. Sementara, DBH SDA meliputi Kehutanan, Mineral dan Batu Bara, Minyak Bumi dan Gas Bumi, Pengusahaan Panas Bumi dan Perikanan. Direktur Dana Transfer Umum Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Adriyanto menerangkan terdapat beberapa perubahan kebijakan DBH yang tertuang dalam UU 1/2022.

“Pengalokasian DBH yang dimulai pada tahun 2023 sudah menggunakan data realisasi T-1 untuk menghitung pengalokasian DBH. Dengan demikian, perhitungan alokasi DBH diharapkan lebih mendekati kondisi real dan dapat mengurangi deviasi alokasi dengan realisasi penerimaan yang dibagihasilkan,” jelas Adriyanto.

Ia menambahkan, pengalokasian tidak hanya berdasarkan pada sumber DBH, tetapi juga kinerja pemda dalam mendorong peningkatan pendapatan negara dan upaya pemulihan lingkungan atas kegiatan ekstraksi sumberdaya alam.

“Pengalokasian DBH diberikan kepada daerah penghasil, daerah pengolah, daerah berbatasan langsung, dan daerah lainnya dalam satu wilayah provinsi. Pengkategorian daerah ini sebagai upaya meminimalisir dampak ekternalitas bagi daerah di sekitar daerah penghasil/pengolah sehingga bisa meningkatkan kualitas lingkungan hidup sebagai akibat dari eksplorasi sumberdaya alam,” terang Adriyanto.

Lebih lanjut, ia menjelaskan mekanisme perhitungan DBH, yakni dilakukan dengan proporsi alokasi formula dengan bobot 90 persen dan alokasi kinerja dengan bobot 10 persen. Dalam alokasi kinerja, kriteria yang digunakan untuk DBH SDA yaitu kinerja pemeliharaan lingkungan hidup atau Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara kriteria yang digunakan untuk DBH Pajak yaitu kinerja optimalisasi penerimaan negara atau skor kepatuhan penyampaian Berita Acara Rekonsiliasi Pajak.

mekanisme perhitungan DBH, yakni dilakukan dengan proporsi alokasi formula dengan bobot 90 persen dan alokasi kinerja dengan bobot 10 persen. Dalam alokasi kinerja, kriteria yang digunakan untuk DBH SDA yaitu kinerja pemeliharaan lingkungan hidup atau Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (Foto : Shutterstock)

Percepat proses verifikasi

Adriyanto menegaskan redesain DBH dilakukan untuk mendukung penguatan penerimaan negara melalui mekanisme pengelolaan yang lebih adil. Tak hanya itu, redesain ini ia yakini akan mengurangi kesenjangan vertikal dan horizontal. Menurutnya, alokasi kinerja yang diperhitungkan dalam pengalokasian DBH SDA mendorong pemda untuk berpartisipasi dalam peningkatan dan perbaikan lingkungan.

“Redesain DBH bertujuan untuk mengurangi kesenjangan vertikal antara pusat dan daerah atau vertical imbalance melalui pembagian dengan porsi tertentu antara pemerintah pusat dan daerah penghasil dan mengurangi kesenjangan horizontal antardaerah melalui pembagian secara merata untuk daerah lain yang berada di dalam provinsi yang sama dengan daerah penghasil,” tutur Adriyanto.

Ia mengakui selama ini jarang menemukan kendala berarti dalam penyaluran DBH non earmarked. Hal tersebut terjadi lantaran proses penyaluran tidak memerlukan syarat sehingga penyaluran dapat dilakukan secara tepat waktu dan sesuai timeline penyaluran.

Hal sebaliknya terjadi pada DBH Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dan DBH Kehutanan Dana Reboisasi (DBH DR) yang terkadang masih menghadapi kendala penyaluran terkait kepatuhan pemda dalam menyampaikan dokumen persyaratan.

“Penyaluran DBH CHT dan DBH DR diperlukan verifikasi atas laporan yang disampaikan oleh pemerintah daerah sehingga keterlambatan penyampaian akan berakibat pada keterlambatan penyaluran,” ujar Adriyanto.

Untuk mengatasi kendala tersebut, pihaknya selalu mengupayakan berbagai sarana sharing informasi. Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan sosialisasi, focus group discussion, diseminasi, maupun sarana informal seperti whatsapp group untuk mengurangi keterlambatan penyampaian dokumen persyaratan penyaluran. Adriyanto menjelaskan pihaknya juga selalu menyampaikan surat resmi ke pemda untuk pemenuhan dokumen syarat penyaluran.

Selain itu, Ditjen Perimbangan Keuangan juga melakukan percepatan proses verifikasi atas laporan DBH earmarked yang telah disampaikan oleh daerah. menurutnya, keterlambatan penyampaian syarat penyaluran seharusnya bisa diantisipasi oleh pemda. Menurut aturan, keterlambatan tersebut memiliki konsekuensi mulai dari penundaan hingga penghentian penyaluran.

“Tentunya ini sangat merugikan daerah dalam memenuhi target pembangunan yang sudah direncanakan, dan secara luas akan terdampak pada delivery service pada masyarakat,” kata Adriyanto.

Adriyanto menilai penyaluran DBH akan meningkatkan efektivitas penerimaan pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah. Menurutnya, kualitas lingkungan hidup juga bisa meningkat sehingga dapat mengurangi dampak eksternalisasi negatif atas kegiatan ekstraksi sumber daya alam. Ia berharap penyaluran DBH diharapkan dapat mendukung kesuksesan program pembangunan pemerintah daerah sesuai prioritas daerah dan program di daerah yang menunjang prioritas nasional.

            


Reni Saptati D.I.