Merancang Rangka Tangguh Penanggulangan Bencana

16 Maret 2022
OLEH: CS. Purwowidhu
Merancang Rangka Tangguh Penanggulangan Bencana
 

Potensi bencana alam Indonesia sangat besar. Posisi Indonesia terletak di pertemuan lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Pergeseran lempeng tektonik itu bisa menimbulkan gempa bumi. Bahkan tabrakan antarlempeng bumi akan mengakibatkan gempa bumi sekaligus tsunami, misalnya tsunami Aceh di 2004 silam.

Bencana juga rawan terjadi karena Indonesia termasuk dalam kawasan Cincin Api Pasifik atau Ring of Fire. Sekitar 90 persen gempa bumi terjadi di kawasan Cincin Api Pasifik dengan 81 persen gempa di jalur Cincin Api tersebut merupakan gempa terbesar di dunia. Tak hanya itu, Indonesia juga berada di wilayah Sabuk Alpine (Alpine belt). Sebanyak 17 persen gempa bumi terbesar di dunia terjadi di kawasan Sabuk Alpine.

Sementara dari letak astronomis, Indonesia yang dilintasi garis khatulistiwa mengalami terpaan El Nino dan La Nina yang menyebabkan kerentanan akan terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan. 

Segala kondisi tersebut mendatangkan risiko terjadinya ribuan bencana alam yang tak terelakkan. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bencana alam di Indonesia mengalami kenaikan dalam kurun lima tahun terakhir dengan total bencana sebanyak 20.129 kejadian atau rata-rata 4000 kejadian tiap tahunnya.

Sementara di 2021 tercatat total bencana sebanyak 5.402 kejadian yang memakan korban 728 jiwa meninggal dunia; 7,6 juta jiwa terdampak dan mengungsi; 87 jiwa hilang dan 14.915 jiwa luka-luka. Banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor mendominasi bencana. Beberapa bencana besar di 2021 di antaranya gempa Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat di awal tahun, banjir Sintang, Kalimantan barat, dan erupsi gunung Semeru di penghujung tahun.

Ancaman bencana akan selalu ada. Intensitas bencana yang tinggi setiap tahun di Indonesia memerlukan kesiagaan dalam segala bentuk, termasuk kesiapan pendanaan. Pendanaan penanggulangan bencana dapat bersumber dari APBN, APBD, dan/atau masyarakat.

Skema Anggaran

Ada tiga tahapan dalam mekanisme penanggulangan bencana sebagaimana diatur dalam UU 24/2007 dan PP 22/2008 yaitu tahap pra bencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Pemerintah pusat maupun daerah wajib melakukan pengelolaan risiko bencana di setiap tahap penanggulangan bencana tersebut. Pemerintah memastikan kesiapan dana dalam setiap fase penanganan bencana melalui APBN kita.

Pada fase pra bencana, pemerintah mengalokasikan dana kontinjensi bencana untuk kementerian/lembaga yang terlibat penanggulangan bencana seperti BNPB, Kementerian PUPR, Kemensos, dan K/L teknis lainnya.

Ketika bencana terjadi atau pada fase tanggap darurat, pemerintah mengalokasikan dana siap pakai (on call) melalui BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Dana ini dimanfaatkan antara lain untuk penyelamatan dan evakuasi masyarakat terdampak, pemenuhan kebutuhan dasar, dan pemulihan segera sarana prasarana vital. Contohnya pemasangan tenda, pembuatan dapur umum, pembangunan MCK, hunian sementara. Dana on call ini dialokasikan setiap tahun dan berada di bawah pengelolaan BNPB.

Tahap selanjutnya adalah tahap pascabencana atau fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Dana hibah rehabilitasi dan rekonstruksi dialokasikan melalui hibah pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk digunakan sesuai kewenangan daerah.

Pada tahap ini dilakukan pemulihan sarana prasarana umum, pembangunan kembali fasilitas yang rusak, dan pemberian bantuan sosial kepada masyarakat terdampak, misalnya jadup atau jatah untuk kehidupan sehari-hari dari Kemensos yang bisa diberikan selama tiga hingga enam bulan.

Vital untuk Pemulihan

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti yang kerap disapa Prima menerangkan Hibah Rehabilitasi Dan Rekonstruksi mulai dialokasikan dalam APBN sejak tahun 2015, dan sampai dengan tahun 2021 telah dialokasikan sebesar Rp9,992 triliun. Dengan total realisasi penyaluran senilai Rp9,713 triliun kepada lebih dari 387 pemerintah daerah.

Penyaluran Hibah Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana TA 2019 atas gempa dan likuifaksi di Sulawesi Tengah pada 2018 silam merupakan salah satu contohnya. Hibah diberikan sebesar Rp1,972 triliun untuk 4 pemerintah daerah terdampak bencana, yakni Kota Palu sebesar Rp820 miliar, Kab. Sigi sebesar Rp568 miliar, Kab. Donggala sebesar Rp516 miliar dan Kab. Parigi Moutong sebesar Rp66 miliar.

Contoh lainnya, pada 2020 pemerintah juga menyalurkan Hibah Rehabiilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana atas bencana banjir bandang Sentani tahun 2019 sebesar Rp365 miliar untuk 3 pemerintah daerah yakni Kota Jayapura sebesar Rp83 miliar, Kab. Jayapura sebesar Rp275 miliar, dan Kab. Keerom sebesar Rp6 miliar.

Output hibah rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana sangat vital bagi kelangsungan hidup masyarakat terdampak. Rehabilitasi dan rekonstruksi jalan, jembatan, drainase, sekolah, puskesmas, dan relokasi rumah penduduk merupakan beberapa contoh hasil nyata hibah itu.

Namun, Prima mengakui masih adanya tantangan dalam pelaksanaan hibah tersebut. Salah satunya kendala dalam percepatan realisasi hibah oleh pemda. Kendala ini antara lain disebabkan adanya keterbatasan SDM dari BPBD selaku pelaksana kegiatan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi serta perubahan-perubahan Rencana Kerja dan Anggaran yang dilakukan sepanjang masa pelaksanaan kegiatan.

Kendati demikian, Prima mengatakan pihaknya senantiasa mendorong pemda untuk dapat melaksanakan kegiatan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi secara tepat waktu.

“Setiap tiga bulan sekali Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) bersama BNPB melakukan pemantauan dan evaluasi atas perkembangan pelaksanaan kegiatan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi di daerah,” tutur Prima.

Sementara DJPK bersama Kemendagri juga turut mendorong percepatan proses penganggaran hibah rehabilitasi dan rekonstruksi pada APBD. Langkah ini ditempuh melalui peningkatan kapasitas pemda, identifikasi bersama permasalahan di daerah dan solusinya, serta perbaikan proses pengusulan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi yang sinkron dengan proses APBD.

Pemantauan atas pelaksanaan kegiatan dan capaian output serta pertanggungjawaban, termasuk bimbingan teknis kepada pemda juga dilakukan DJPK bersama Kanwil/KPPN DJPB, BNPB dan BPBD.

Masih Sesuai

Indonesia termasuk dalam 35 negara di dunia yang berisiko tinggi mengalami korban jiwa dan kerugian ekonomi sebagai dampak dari berbagai bencana.

Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Made Arya Wijaya menjelaskan berdasarkan data historis, dalam kurun lima hingga sepuluh tahun terakhir, rata-rata nilai kerugian setiap tahun akibat bencana alam di Indonesia kurang lebih sebesar Rp20 triliun. Sementara kisaran alokasi APBN untuk dana cadangan penanganan bencana sebesar Rp5 triliun atau dengan kata lain 20 persen dari total kerugian akibat bencana.

Meski demikian Made menilai alokasi APBN untuk penanggulangan bencana masih cukup memadai. Pasalnya, rata-rata realisasi anggaran penanggulangan bencana dalam kurun sepuluh tahun terakhir mencapai Rp3,5 triliun dari kisaran alokasi dana cadangan Rp5 triliun yang dianggarkan.

“Dengan upaya kita mengoptimalkan sinergi dari berbagai pihak sehingga yang harus dikeluarkan atau di-cover dari APBN sendiri sampai sekarang kelihatannya masih memadai ya. Ini kondisi yang ada dari data historis yang ada,” ujar Made.

Made mengatakan pemerintah terus berupaya meningkatkan antisipasi pendanaan penanganan bencana. Upaya ini ditempuh antara lain melalui optimalisasi dukungan penganggaran kepada masing-masing kementerian/lembaga yang bertanggung jawab untuk penanganan bencana. 

Pemerintah saat ini juga sedang menginisiasi Pooling Fund Bencana (PFB), suatu konsep yang sudah sangat umum di beberapa negara mapan untuk memastikan keberlanjutan penyediaan dana penanggulangan bencana.

“Itu adalah sebuah konsep dana bersama dalam rangka penanganan bencana. Ini yang diinvestasikan, disisihkan, setiap tahun kita mengakumulasikan sebuah dana sehingga nanti ketika ada bencana diharapkan dana ini bisa digunakan setiap saat,” imbuh Made.

Kelebihan dari PFB Made menuturkan bahwa dana akan terus terakumulasi jika tidak terjadi bencana. Di lain sisi, PFB menjadi dana siaga yang bisa langsung dipakai kapan saja diperlukan. Dana bersama tersebut diharapkan akan semakin besar setiap tahun seperti halnya dana abadi pendidikan yang setiap tahun dialokasikan.

Di samping itu, pemerintah juga mulai menginisiasi asuransi barang milik negara (BMN), khususnya untuk gedung dan bangunan yang berada di lokasi rawan bencana.

“Ini langkah-langkah yang diharapkan ke depan itu kita semakin firm. Menghadapi bencana itu nggak lagi kepikiran uangnya dari mana, ambil dari kantong yang lain gitu,” ungkap Made.

Output hibah rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana sangat vital bagi kelangsungan hidup masyarakat terdampak. Dok. Biro KLI

Solid Bersinergi

Kolaborasi yang harmonis dan solid antar kementerian/lembaga sangat diperlukan dalam penanggulangan bencana di setiap fase.

“Memang kalau dari sisi kecepatan penanganan, ini kan kembali kita harus kembalikan siapa unit yang bertanggung jawab untuk penanganan bencana. Sementara dari sisi kita di Kementerian Keuangan, tentunya tanggung jawabnya adalah bagaimana percepatan penyediaan anggarannya. Jadi untuk eksekusi pencairan gitu ya,” tutur Made.

Made memandang sinergi penanganan bencana dari hulu ke hilir, dari pra bencana hingga pascabencana sudah relatif semakin baik. Langkah-langkah penanganan bencana pun semakin efektif mulai dari pembangunan early warning system di fase prabencana misalnya, penyediaan dukungan logistik saat bencana terjadi, hingga pemulihan sarana prasarana di tahap pascabencana.

Made mendorong perencanaan penganggaran untuk fase pascabencana disusun secara memadai dan mengedepankan skala prioritas pemulihan.

Sementara Prima menambahkan pihaknya juga bekerja sama dengan pemda untuk mengoptimalkan belanja penanggulangan bencana. DJPK bekerja sama dengan BNPB dalam melakukan pemantauan dan evaluasi berkala atas perkembangan pelaksanaan kegiatan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi di daerah.

“Kami juga terus menjalin koordinasi dengan Pemda agar hibah rehabilitasi dan rekonstruksi terealisasi sesuai target yang disepakati,” imbuh Prima.

Terus Beradaptasi

Di samping perlunya mengatasi tantangan dari segi pendanaan, Made menekankan pentingnya membangun awareness atau kesadaran terhadap bencana sedini mungkin. Ia berpendapat akan lebih baik apabila ada edukasi formal di sekolah mengenai pengetahuan tentang bencana.

Selain itu kapasitas dan kompetensi petugas penanganan bencana di lapangan juga perlu ditingkatkan, misalnya dalam memanfaatkan teknologi untuk mendeteksi bencana.

Made pun mengakui ke depan akan semakin banyak tantangan dalam penanganan bencana seiring efek perubahan iklim yang kian terasa. Oleh karena itu, antisipasi kebutuhan anggaran perlu terus disesuaikan.

“Ini kan kita nggak tahu model-model bencananya nanti seperti apa. Nggak bisa lagi kita berpikir paling bencananya cuman banjir, nggak gitu juga kan. Udah model likuifaksi, tanahnya bergeser, pemanasan global. Kan bencana itu, gimana antisipasinya? Ini ya kita harus menyesuaikan juga, termasuk nanti kebutuhan anggarannya,” papar Made.

Sementara terkait upaya pemulihan pascabencana di daerah, Prima berharap agar Pemda memperhitungkan kemampuan dalam merealisasikan anggaran ketika membuat usulan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi.

“Sehingga dalam pelaksanaannya (rehab rekon pascabencana) bisa segera direalisasikan secara tepat waktu dan sesuai dengan output yang direncanakan atau diusulkan,” pungkas Prima.


CS. Purwowidhu