Kesempatan Sama Bagi Teman Netra

16 Agustus 2021
OLEH: Dimach Putra
Kesempatan Sama Bagi Teman Netra
 

Penyandang disabilitas memiliki kedudukan yang tidak berbeda dengan warga negara Indonesia lainnya. Hak dan kewajibannya sama, namun sayangnya tidak demikian dengan kesempatan yang mereka dapat, contohnya dalam berkarier. Kesempatan mereka untuk bisa berdaya dengan kemampuan yang dimiliki masih sangat terbatas.

            Kami berbincang dengan Rahma Utami, seorang wanita karier dengan pengalaman 10 tahun di industri digital. Ia dan tiga srikandi lainnya membentuk Suarise, sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada pemberdayaan disabilitas khususnya tunanetra. Visi mereka adalah membuat sektor digital lebih mudah diakses oleh penyandang tunanetra. Tidak hanya untuk memperoleh informasi dari platform digital, tapi juga untuk bisa terjun di industri tersebut. Berikut petikan obrolan kami:

 

Bagaimana latar belakang terbentuknya Suarise?

            Kami berdiri tahun 2017 akhir, tapi baru benar-benar beroperasi di (tahun) 2018. Kami befokus pada inklusi disabilitas di sektor digital. Fokus kami untuk membantu teman-teman tunanetra untuk bekerja bekerja di sektor digital, terutama sebagai digital content writer. Kami menyadari bahwa salah satu kendala terbesar dari teman-teman netra ini kan mobilitas, sedangkan pekerjaan ini bisa dilakukan di mana saja.

            Awalnya kami menyediakan pelatihan content writing bagi mereka, lalu dari  situ berkembang. Kami menyalurkan teman-teman netra ini kepada pihak-pihak yang ingin merekrut yang dimulai dari proses onboarding-nya. Berkembang lagi, ada pihak yang sebenarnya mau membuka opportunity tapi tidak berani merekrut langsung. Akhirnya, mereka minta tolong ke Suarise sebagai agennya. Kami yang membuat brief nya (penjelasan singkat), strateginya, melakukan korespondensi dengan klien, tapi yang mengerjakan (content writing) tetap teman-teman netra.

Empat srikandi pendiri Suarise 

Apa saja pelatihan yang diberikan oleh Suarise?

            Pelatihan yang kami berikan kurang lebih berdurasi enam bulan. Pertama, kami melatih kemampuan menulis mereka selama tiga hingga empat bulan. Setelahnya, kami lanjut on the job training untuk memastikan bahwa mereka sudah paham knowledge-nya. Sifatnya kayak praktek kerja, jadi kami beri mereka brief, mereka kasih tulisan tek-tokan terus beberapa kali sampai mereka dapat ilmunya.

            Selain itu, kami menawarkan layanan bagi organisasi atau perusahaan yang ingin belajar untuk menjadi lebih ramah disabilitas. Hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan agar proses integrasi saat merekrut teman-teman difabel bisa lebih lancar. Mulai dari hal-hal yang simpel aja sih, terkait pekerjaan. Misalnya membuat dokumen dan korespondensi pekerjaan via Whatsapp saja itu bisa dibuat lebih ramah disabilitas.

            Kami juga mengadakan focused group discussion (FGD) dengan salah satu agency, ke para desainer dan web developer-nya, tentang bagaimana membuat web atau aplikasi yang mudah diakses semua orang. Kami sedang mengembangkan program bagi perusahaan atau organisasi yang ingin memberikan beasiswa pelatihan. Saat ini, kami bekerja sama dengan International Labour Ogranization (ILO) untuk proyek itu.

Pelatihan penulisan konten digital yang diselenggarakan Suarise

Apa hambatan teman-teman netra mengakses informasi di dunia digital?

            Perlu diketahui bahwa teman-teman netra ini bisa mengakses dunia digital melalui ponsel, laptop dan perangkat lainnya dengan menggunakan fitur pembaca layar. Nah, pada saat pelatihan tersebut kami menemukan bahwa teman-teman netra tidak lancar mengakses sebuah situs web. Bukan karena screen reader-nya, tapi karena website itu sendiri. Ada isu aksesibilitas digital nih, ternyata pembaca layar ini bisa terhalang aksesnya jika website atau aplikasi itu dibuat tanpa mengikuti kaidah aksesibilitas digital.

            Akhirnya di tahun 2020 lalu, kami menambahkan program advokasi aksesibilitas digital. Kami menyediakan layanan konsultasi bagi organisasi atau pemilik usaha. Mereka bisa meminta masukan dari kami apakah platform digital yang dimiliki mudah diakses dan ramah bagi teman-teman difabel, khususnya tunanetra.

 

Adakah saran bagi organisasi untuk lebih inklusif bagi teman-teman difabel?

            Pertama, pastinya equal opportunity dulu ya, kesempatannya disamakan dulu. Seringkali kami melihat lowongan, ketika yang melamar difabel biasanya langsung ada sentimen negatif, “Oh dia, nggak bisa nih”. Bahkan ketika lowongan tersebut terbuka untuk difabel, biasanya carinya yang spesifik, misal untuk tunadaksa dan tuli. Lowongan itu padahal untuk content writer, mayoritas kan bisa tinggal dites saja. Kecuali, mereka butuhnya yang benar-benar (memerlukan kemampuan) visual ya.

            Kedua, opening-nya itu sendiri. Saat membuka lowongan pekerjaan, umumnya poster-poster informasinya disebar di web, instagram dan platform lain. Banyak yang menyertakan caption tapi tidak dijelaskan informasi yang ada di dalam poster tersebut. Gambar posternya pun tidak disertai alt text yang bisa membantu teman-teman netra dibantu oleh pembaca layar. Atau ada juga kasus ketika informasinya diarahkan ke web tertentu, ternyata situs webnya belum ramah untuk teman-teman kita ini. Ada fiturnya atau tombolnya yang nyangkut nih, tidak bisa diakses. Bagaimana bisa mendaftar kalau login saja tidak bisa. Permasalahan seperti ini secara tidak langsung menutup akses bagi teman-teman netra.

 

Apa yang menjadi penghambat dalam organisasi atau industri untuk inklusi disabilitas?

            Barrier utama dalam inklusi disabilitas ini adalah mindset kita. Terkadang banyak perusahaan atau organisasi sudah terjebak dengan pikiran bahwa ketika akan merekrut calon karyawan yang dari teman netra mereka harus begini-begitu. Belum lagi mereka pikir harus membangun infrastruktur ini dan itu. Padahal, sebetulnya cuma perlu proses onboarding atau saling mengenal antara lingkungan perusahaan dan teman difabel supaya selanjutnya bisa beradaptasi dengan pola kerja.

Poin berikutnya adalah tentang trust issue terhadap kemampuan teman-teman netra. Menurut saya satu-satunya cara adalah dengan dibuktikan. Tinggal dites saja. Beri penjelasan tentang tugasnya, lihat hasilnya apakah ada perbedaan atau tidak.

           Selain itu, ada gap of interaction juga. Mungkin karena keterbatasan mobilitas tadi sehingga kita jarang bertemu dengan teman-teman netra. Minimnya interaksi tersebut sering membuat kita berpikir tertentu atau memiliki persepsi sendiri. Padahal kan ada istilah tak kenal maka tak sayang. Jadi memang prosesnya agak bertahap.  Kalau memang perusahaan itu belum siap untuk merekrut teman-teman difabel, mungkin bisa mencoba membuat sebuah aktivitas agar karyawannya dapat berinteraksi. Tidak usah tentang pekerjaan dulu dan juga bukan interaksi yang di mana kita membantu mereka. Lebih ke melakukan interaksi bersama untuk menyamakan persepsi bahwa tunanetra itu tidak selamanya objek sosial, melainkan rekan yang setara.

Penyandang disabilitas memiliki hak dan kewajibannya yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya. 

Terakhir, pesan apa yang ingin Anda sampaikan pada pembaca tentang pentingnya inklusi disabilitas, khususnya di bidang ekosistem digital?

            Mewujudkan ekosistem digital yang ramah disabilitas itu artinya kita juga membuka kesempatan buat teman-teman di luar sana. Ekosistem digital yang mudah diakses dan ramah disabilitas itu bermanfaat bagi semua orang. Hal ini juga memberi kepastian. Karena menurut saya, disabilitas itu bukan tentang orang lain, bukan suatu hal yang jauh. Tidak jarang kami bertemu peserta pelatihan yang menjadi difabel ketika beranjak dewasa, saat sedang studi atau baru beberapa tahun lalu saat mereka sudah bekerja. Penyebabnya bisa karena kecelakaan atau penyakit. Jadi itu bukan hal yang jauh dari kita.

            Adanya web atau aplikasi yang ramah disabilitas benar-benar menjadi pintu awal terbukanya kesempatan, baik untuk berinteraksi, mendapat informasi dan ilmu, mencari pekerjaan, dan banyak kesempatan lainnya. Jadi ketika ada pikiran bahwa ramah disabilitas itu sulit, mengapa tidak memulainya di ranah digital dulu saja? Sektor digital ini friksinya paling mudah, efektif, cepat dan bermanfaat. Yang paling penting, cost efficient, bisa dibilang ini win win solution untuk kedua belah pihak.

 

 


Dimach Putra