Kodifikasi dan Sertifikasi Produk Halal Jadi Langkah Indonesia Tingkatkan Industri Halal

1 Februari 2022
OLEH: CS. Purwowidhu
Kodifikasi dan Sertifikasi Produk Halal Jadi Langkah Indonesia Tingkatkan Industri Halal
 

Memiliki populasi Muslim terbesar di dunia sebanyak 229.6 juta orang di 2020, menjadikan Indonesia sebagai rumah bagi pasar domestik ekonomi halal terbesar di dunia. Laporan Pasar Halal Indonesia 2021/2022 mencatat belanja domestik lintas produk dan jasa ekonomi halal pada 2020 sebesar US$184 miliar dan diprediksi dapat mencapai US$281.6 miliar di 2025.

Sementara Bank Indonesia mencatat saat ini pertumbuhan sektor rantai nilai halal mencakup pertanian, makanan-minuman halal, fashion Muslim, dan pariwisata ramah Muslim mencapai 25,4 persen PDB nasional.  Direktur Industri Produk Halal Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Afdhal Aliasar mengatakan pertumbuhan tersebut dapat lebih ditingkatkan bahkan hingga lebih dari 50 persen.

“Caranya, kegiatan produksinya kita perbesar, belanja impornya kita kurangi. Harapannya, Indonesia sendiri konsumsinya ditopang dari produk halal produksi dalam negeri,” ungkap Afdhal.  

Dari sisi global, berdasarkan The State of Islamic Global Economy Report 2021 belanja konsumen muslim untuk produk gaya hidup (makanan, fashion, perjalanan, media/rekreasi, dan farmasi/kosmetika) pada 2020 tercatat senilai US$1.9 triliun. Besarnya potensi pasar ekonomi halal baik domestik maupun global tersebut membuka peluang bagi para pelaku industri halal untuk mendorong pertumbuhan produksi dan menjadi pemain kunci dalam industri halal global.

Bicara mengenai posisi ekonomi halal Indonesia di kancah global, saat ini Indonesia berada di posisi keempat setelah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab yang menempati peringkat tiga besar. Afdhal berpendapat dengan segala potensi yang dimiliki, Indonesia berpeluang besar untuk naik peringkat.  

“Industrialisasi produk halal adalah kata kunci untuk bisa meningkatkan posisi Indonesia dalam kancah perdagangan produk halal dan industri produk halal global,” lugasnya.

Pemerintah melalui KNEKS telah menyusun 13 program prioritas termasuk untuk pengembangan industri produk halal. Di antaranya berupa kodifikasi produk halal dan penyusunan masterplan industri produk halal. Serta pembentukan task force percepatan implementasi sertifikasi halal usaha mikro dan kecil, juga riset dan inovasi produk halal berbasis teknologi.

Sinkronisasi jadi solusi

Afdhal menyampaikan kodifikasi produk halal merupakan upaya sinkronisasi sertifikasi halal atau data produk halal dengan data transaksi perdagangan dan data perekonomian. Para eksportir yang mengekspor produk bersertifikasi halal ke negara manapun akan diminta untuk juga melaporkan sertifikat halal dari produknya pada dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) melalui kode 952.

Sementara Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani menjelaskan di samping pengisian kode 952 pada dokumen PEB oleh eksportir, sinkronisasi data ekspor produk halal juga bisa dideteksi lebih awal melalui sharing data penerima sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).   

“Sehingga kami bisa lihat dia (pelaku usaha) nih ada lakukan ekspor nggak? Sehingga kemudian kalau sampai dia (pelaku usaha) dalam kepabeanan selama ini tidak memberikan kode, kita bisa juga meng-combine data ini,” papar Askolani.

Lebih lanjut Askolani menyampaikan kepatuhan eksportir untuk mengisi kode 952 dapat menjadi tantangan tersendiri ke depan. Untuk memitigasi hal tersebut, sosialisasi kepada seluruh pelaku usaha perlu dilakukan bersama-sama oleh Bea Cukai, KNEKS, BPJPH, Lembaga National Single Window (LNSW) dan pemangku kepentingan lainnya.

Tak hanya itu, untuk mendorong kepatuhan eksportir Askolani menambahkan dari sisi kepabeanan dimungkinkan untuk memberikan fasilitas kemudahan pelayanan ekspor bagi eksportir yang patuh mengisi kode 952. Fasilitas tersebut dapat diberikan dalam bentuk Mitra Utama (MITA) atau mendapat sertifikat Authorized Economic Operator (AEO) Kepabeanan.

Di lain pihak, Kepala Lembaga National Single Window (LNSW) M. Agus Rofiudin saat ditanya mengenai langkah implementasi kodifikasi produk halal mengatakan saat ini LNSW sedang dalam proses pembangunan teknis sistem pertukaran data antara Sistem Informasi Halal (SIHALAL) BPJPH sebagai penerbit sertifikat produk halal, sistem KNEKS dan juga Sistem Komputer Pelayanan (SKP) DJBC sebagai garda depan pengawasan kegiatan ekspor-impor.

“Harapannya, kita dapat segera melakukan piloting pada kesempatan pertama dan sistem tersebut dapat diimplementasikan dalam waktu singkat,” tutur Agus.

Data-data ekspor produk halal tersebut nantinya akan divalidasi di LNSW, sehingga menjaga performa Sistem Indonesia National Single Window (SINSW) dan akurasi data yang disalurkan menjadi bagian penting yang dilakukan oleh LNSW.

Pemerintah memberikan fasilitas sertifikasi halal Rp0 (nol rupiah) untuk pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Foto Anas Nur Huda

Tak sekadar memetakan data

Kodifikasi produk halal tersebut lanjut Agus berguna untuk melihat seberapa besar kontribusi produk halal kita pada neraca perdagangan. Selain itu, kegiatan ini juga dapat memetakan sektor-sektor industri halal Indonesia. Produk-produk halal unggulan mana yang memiliki potensi pengembangan ekspor yang tinggi.

“Dengan adanya kodifikasi atas sertifikasi produk halal, akan mempermudah pembuat kebijakan untuk dapat mengambil keputusan yang tepat dalam mengembangkan industri halal kita,” jelas Agus.

Dengan adanya kodifikasi juga menurut Askolani kita bisa punya basis data yang kuat mengenai jenis, volume, nilai, maupun tujuan atau asal negara produk halal.

Senada, Afdhal menerangkan saat ini belum ada data peredaran produk halal di pasar yang memadai. Karena itu kodifikasi bertujuan memperoleh statistik produk halal yang valid dan akurat sebagai landasan kebijakan ke depannya. “Seberapa banyak produk yang bersertifikasi halal yang ada di pasar yang kemudian masuk di dalam supply chain kita, yang kita ekspor, atau bahkan kita khususkan untuk negara tujuan tertentu? Kita belum punya angkanya, walaupun kita tahu produk itu ada, perdagangan itu ada, transaksi itu berjalan,” ungkap Afdhal.

Sementara menurut Askolani kodifikasi produk halal bukan hanya penting dilakukan terhadap produk ekspor tapi juga selanjutnya untuk produk impor. Data ekspor-impor tersebut nantinya bisa digunakan sebagai pertimbangan ataupun analisis dalam pengambilan kebijakan fiskal maupun nonfiskal. Misalnya pemberian dukungan insentif, perluasan industri, penjajakan pasar internasional, hingga antisipasi membanjirnya importasi produk halal. Yang tidak kalah penting juga Askolani menegaskan perlunya kolaborasi dengan seluruh kementerian/lembaga terkait dalam pemanfaatan data kodifikasi tersebut guna mengembangkan industri halal tanah air dan mendorong kemajuan ekonomi nasional.

Infografis Tarif Layanan Sertifikasi Halal Bagi UMK

Sertifikasi adalah kunci

Guna mendorong perluasan sistem jaminan halal, pemerintah juga telah memberikan fasilitas sertifikasi halal Rp0 (nol rupiah) untuk pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) yang mencakup tarif layanan pernyataan halal (self declare) pelaku UMK, tarif perpanjangan sertifikat halal, dan tarif layanan penambahan varian atau jenis produk.

Beleid tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2021 tentang Tarif Layanan badan Layanan Umum (BLU) Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada Kementerian Agama.

Afdhal menjelaskan fasilitas sertifikasi halal nol rupiah yang sudah dilangsungkan oleh BPJPH ini berlaku melalui proses sertifikasi nonaudit, dengan kata lain tidak melalui pemeriksaan oleh lembaga pemeriksa halal atau audit. Hal tersebut untuk memudahkan pelaku UMK.

Pelaku UMK cukup melakukan pernyataan mandiri atau self declare mengenai kehalalan kandungan produk mereka. Program pernyataan pelaku usaha ini lanjut Afdhal membutuhkan pendampingan di mana pendamping dengan kualifikasi yang telah ditentukan betugas melakukan verifikasi.

Pendamping tersebut menurut Afdhal bisa berasal dari berbagai organisasi. Bisa dari jajaran BPJPH sendiri di jaringan Kementerian Agama, lembaga organisasi Islam, universitas, lembaga riset, asosiasi masyarakat yang melakukan pendampingan UMKM, pemerintah daerah, dan juga dari balai-balai pendidikan atau pelatihan yang ada di seluruh pelosok Indonesia.

“BPJPH sendiri berkomitmen untuk membentuk kurang lebih minimal 100.000 pendamping untuk sertifikasi halal UMK se-Indonesia,” ungkap Afdhal.

Keberhasilan program sertifikasi nol rupiah ini lanjut Afdhal akan sangat dipengaruhi oleh pensertifikasian halal produk-produk hulu. Apabila produk di hulu atau bahan mentah yang digunakan untuk produk dengan mudah bisa dideteksi kehalalannya maka jauh lebih mudah untuk kemudian bisa melakukan verifikasi kehalalan dari produk UMK.

Percepatan implementasi sertifikasi halal UMK juga dilakukan melalui pembentukan task force (gugus tugas) lintas kementerian/lembaga.

“Kementerian yang memiliki binaan UMKM, program pembinaan untuk mikro dan kecil, pemerintah daerah yang tadi men-support usaha mikro dan kecil berkembang di tempatnya, harus kita kolaborasikan dalam bentuk task force yang lebih konkrit, task force yang kerjanya lebih cepat dan juga kita harapkan bisa melakukan sertifikasi halal dalam jumlah yang masif,” papar Afdhal.

Sertifikasi halal Afdhal mengatakan tidak hanya merupakan jaminan bahwa pelaku UMK memproduksi produk yang halal, tapi melalui sertifikasi ini juga akan membantu pelaku UMK untuk bisa naik kelas. Dengan kualitas produk yang semakin baik dan terjamin kehalalannya maka pemasaran produk bisa semakin luas.

Siap menjadi pusat produsen halal dunia

Di samping pembentukan task force, pemerintah juga terus mengembangkan riset dan inovasi produk halal berbasis teknologi. Misalnya pembuatan alat uji cepat kehalalan produk dan otentifikasi sertifikat halal. Untuk menjaga bahwa sertifikasi halal di Indonesia merupakan sertifikasi halal yang handal, akurat, dan juga mumpuni.

Afdhal berharap ke depan semakin banyak produsen yang memahami konsep halal sebagai reputasi bisnis. Pelaku usaha diharapkan tidak lagi memandang halal sebagai suatu kewajiban sertifikasi belaka, namun memandang halal sebagai komitmen untuk memenuhi kebutuhan konsumen, yang mayoritas adalah Muslim.

Dengan segala potensi yang ada serta strategi memadai yang ditempuh pemerintah dalam mengembangkan industri halal, Afdhal pun meyakini visi Indonesia menjadi pusat produsen halal dunia di tahun 2024 bisa tercapai.

“Kita memiliki potensi, kita memiliki raw material, kita memiliki banyak kemajuan. Bahkan bicara sertifikasi halal, kita sudah 30 tahun berurusan dengan sertifikasi halal, jauh lebih awal dibandingkan negara-negara lain. Ini satu hal yang sangat achievable. Yang kita butuhkan sekarang adalah kita harus bergerak, kita harus berbuat action di lapangan. Ini yang kita harus laksanakan ke depan,” pungkasnya.


CS. Purwowidhu
ARTIKEL TERKINI