Lisa Listiana, Founder WaCIDS yang Mengembangkan Ekonomi Islam Lewat Wakaf

17 April 2023
OLEH: Irfan Bayu
Lisa Listiana, Founder WaCIDS yang Mengembangkan Ekonomi Islam Lewat Wakaf
 

Lisa Listiana atau akrab disapa Ica menempuh pendidikan sarjana sampai doktoral dengan beasiswa penuh dan berhasil mendapatkan gelar S3 bidang Islamic Banking and Finance dari Internasional Islamic University Malaysia di usia yang masih cukup muda. Founder Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS) dan awardee LPDP ini juga aktif menulis di media massa dan juga penulis buku yang sempat mendapat gelar best talent dari LPDP. Harapan besarnya ekonomi dan keuangan Islam dapat berkembang di Indonesia.

Ica bersekolah di SMA 3 Semarang, salah satu SMA favorit di kota Pemuda. Ica yang sedari SMA sudah ngekos, tumbuh menjadi wanita yang mandiri. Universitas Indonesia (UI) menjadi universitas impiannya sejak lulus SMA. (Foto: Dok. Pribadi)

Perjalanan menempuh pendidikan

Bapak Bunda (panggilan kedua orang tua Ica) yang merupakan wiraswasta membuat Ica merasakan roller coaster dalam kehidupannya. Sudah jauh-jauh hari Ica memantapkan tekadnya untuk berkuliah, namun mimpi ini hanya bisa terwujud jika ia memperoleh beasiswa. Agar tidak memberatkan kedua orangtua katanya. Ica bersekolah di SMA 3 Semarang, salah satu SMA favorit di kota Pemuda. Ica yang sedari SMA sudah ngekos, tumbuh menjadi wanita yang mandiri. Universitas Indonesia (UI) menjadi universitas impiannya sejak lulus SMA. Namun apa mau dikata, belum ada beasiswa yang cocok dengan mimpinya itu.

Jadi akhirnya ya cari info, dapat, ada kakak kelas waktu itu yang di Bakrie dan dia menginfokan di sini ada beasiswa full, jadi buku dan SPP semuanya gratis”, ujar wanita kelahiran Semarang itu. Setelah berbagai seleksi yang dilakukan, Ica berhasil memperoleh beasiswa penuh untuk pendidikan S1 akuntansi di Universitas Bakrie.

Setelah lulus dari pendidikan S1-nya, pada 2012 Ica bekerja di salah satu perusahaan minyak dan gas multinasional yang cukup ternama. Merasa masih perlu untuk mengembangkan ilmu dan kariernya, Ica mencoba mendaftar beasiswa LPDP. Ica mengincar untuk berkuliah di kampus  impiannya sejak lama, UI.

“Memang kita harus berani untuk mulai bermimpi dahulu baru setelah itu berikhtiar mencapainya. Bagaimana kita bisa menggapai mimpi ketika kita tidak mau memulai mimpi kita,” kenangnya. Sama halnya dengan Ica, yang dahulu hanya bisa bermimpi masuk UI, akhirnya melalui LPDP, Ica berhasil melanjutkan studinya di Program Magister Akuntansi Universitas Indonesia.

Sambil bekerja, Ica mengatur waktu sedemikian rupa agar kuliahnya juga berjalan mulus. “Waktu itu belum ada ketentuan yang nggak boleh (sambil bekerja), kalau sekarang kan ada di kontraknya bahwa kalau penerima beasiswa tidak boleh sambil bekerja, kecuali kalau jadi research asisten. Dulu pas awal-awal saya Batch 9 waktu itu belum ada ketentuan itu, jadi saya bilang waktu itu masih bisa sambil ngantor sambil kuliah”, jelas Ica yang saat itu menjadi akuntan.

Menurut Ica, IIUM bukan hanya mengajarkan tentang akademis saja, namun juga bagaimana dia berinteraksi dengan sesama mahasiswa dari berbagai negara. (Foto: Dok. Pribadi)

Jatuh Cinta dengan Ekonomi Islam

Pekerjaan serta kuliah akuntansi yang dijalaninya membuat Ica berkutat dengan ekonomi yang berbau konvensional. Namun di penghujung pendidikan masternya, Ica terpapar sebuah ilmu baru yang mengantarkannya menjadi Ica saat ini, yaitu tentang ekonomi Islam.

“Saya muslim sejak lahir, tetapi nggak begitu notice bahwa ternyata ada ya ekonomi Islam, ada keuangan Islam”, kata wanita yang lahir 32 tahun lalu. Ica saat itu mencoba untuk mengikuti salah satu kuliah informal yang diadakan Kelompok Studi Ekonomi Islam dari Universitas Negeri Jakarta selama dua bulan. Kelas yang berlangsung saat akhir pekan itu mempelajari tentang ekonomi dan keuangan syariah.

“Jadi semenjak itu, saya mulai belajar sendiri nih, cari referensi-referensi gitu. Dan juga ngajuin tesisnya waktu itu, saya pengen yang bisa sambil belajar. Jadi saya ngajuin topik terkait dengan perbankan syariah waktu itu. Jadi awalnya sih dari situ, karena saya dapat materi yang menurut saya sebenarnya keren sekali, ekonomi Islam, jadi saya pengen belajar”, sambung Ica yang sangat murah senyum.

Pada 2015 Ica menyelesaikan program magisternya. Masih haus akan pendidikan, kapal Ica enggan bersandar, jangkar masih belum mau dilempar. “Terus ada kesempatan untuk belajar, saya ingat di LPDP kan ada beasiswa boleh belajar lagi gitu maksudnya. Cuman kan enggak boleh ngulang S2, jadi memang mau nggak mau ya harus lanjut S3. Jadi saya cari-cari info, akhirnya ketemulah kampus di International Islamic University Malaysia (IIUM) Prodi Islamic Banking and Finance. Jadi saya apply ke sana”, kenangnya waktu itu.

Ica masih harus bekerja, belajar untuk persiapan apply, mengikuti kelas IELTS, serta mengurus keluarga. Semua itu harus dikerjakannya bersamaan. Manajemen waktu diakuinya menjadi kunci sukses yang akhirnya mengantarnya berkuliah di IIUM. “Dari manajemen waktu, sebenarnya mungkin (sudah biasa) karena semenjak SMA juga terbiasa ngekos, dan dari sisi keluarga memang tipe yang kalau sama waktu mesti diperhatikan gitu”, jelas Ibu dua anak ini. Melalui program beasiswa lanjutan dari LPDP, 2 tahun setelah Ica lulus di UI, Ica berhasil memperoleh gelar doktornya dari IIUM jurusan Islamic Banking and Finance.

Menurut Ica, IIUM bukan hanya mengajarkan tentang akademis saja, namun juga bagaimana dia berinteraksi dengan sesama mahasiswa dari berbagai negara. Salah satu yang disyukurinya adalah IIUM memungkinkan mahasiswa sit in atau mengikuti kelas lain selain mata kuliah di program studinya. Ica yang belum ada bekal tentang ekonomi Islam memutuskan untuk mengikuti kelas di prodi lainnya untuk dapat menambah wawasannya tentang ekonomi Islam.

Program doktor yang full riset membuatnya harus proaktif dan melakukan independent learning, “Jadi hal-hal seperti itu yang akhirnya saya baru rasakan ketika S3, gimana caranya kita mengakomodir diri kita untuk bisa catch up , bisa lulus dengan baik dan tepat waktu”, jelas Ica yang pernah menjadi salah satu best talent LPDP.

WaCIDS berfokus pada riset dan pendidikan terkait wakaf. Green Waqf menjadi salah satu programnya. (Foto: Dok. Pribadi)

Wakaf, Produk Islam yang Otentik

Wakaf punya tempat spesial di hati Ica. Wakaf seperti menjawab pertanyaannya tentang sebuah produk otentik dari keuangan Islam. Ica menjelaskan ketika dia mengetahui konsep wakaf, Ica merasa wakaf bisa menjadi tools yang sangat bermanfaat. “Ketika kita berwakaf, itu harus dikelola dulu. Ketika itu dikelola nanti ada manfaatnya. Nah manfaatnya akan didistribusikan ke penerima manfaat. Jadi itu yang kalau saya melihatnya bisa jadi satu instrumen yang memutus atau meminimalisir sistem kapitalis hari ini”, jelas Ica.

“Kalau wakaf ini, ketika nanti untung ya berarti semakin banyak dong penerima manfaatnya gitu kan, jadi bisa membantu lebih banyak orang. Itu yang saya lihat bahwa wakaf ini satu hal yang sangat powerful sebenarnya”, sambung pemenang 2nd winner best paper pada AIFC (The Annual Islamic Finance Conference) pada 2019 lalu.

Saat Ica melakukan riset tentang wakaf, dia merasa memerlukan teman diskusi. Berawal dari hal tersebut Ica membuat sharing session tentang wakaf bersama teman-temannya baik yang sedang kuliah S3 atau yang berasal dari kampus lain yang berbeda. Kegiatan tersebut berkembang menjadi suatu komunitas yang mengakomodir orang yang ingin belajar dan berbagi ilmu tentang wakaf. Forum tersebut semakin berkembang dan mendapatkan feedback yang bagus dari kalangan praktisi dan regulator lainnya. Ica akhirnya memberanikan diri untuk membuat sebuah wadah baru yaitu WaCIDS (Waqf Center for Indonesian Development and Studies) yang merupakan lembaga riset dan thinktank independen di bidang wakaf pada tahun 2018 lalu. “Alhamdulillah banyak juga temen-temen yang bergabung di WaCIDS ini, dan kita riset bersama. Kita bikin kegiatan untuk mengedukasi masyarakat terkait dengan wakaf, alhamdulillahnya per tahun ini mungkin sudah mau 5 tahun ini”, jelas founder WaCIDS ini.

WaCIDS berfokus pada riset dan pendidikan terkait wakaf. Green Waqf menjadi salah satu programnya. “Gerakan green waqf ini lebih spesifik kita memperkenalkan wakaf sekaligus wakaf bisa jadi solusi permasalahan hari ini terkait dengan climate change. Ke depan (WaCIDS) ingin mendorong agar ada lembaga wakaf yang tertarik untuk mengelola green project. Dari 300 lebih lembaga wakaf yang sudah dapat sertifikasi atau lisensi untuk jadi nazir, sepertinya belum ada yang spesifik mengelola aset-aset hijau yang selain dari dampak sosial juga mempertimbangkan dampak lingkungan”, jelas Ica yang juga founder Falah Finansial, yaitu lembaga edukasi dan konsultasi terkait keuangan Islam.

WaCIDS saat ini sudah resmi menjadi yayasan dan membuka pintu untuk mahasiswa, praktisi, serta masyarakat yang ingin membagikan gagasan, artikel, atau kolaborasi riset tentang wakaf. Banyak kegiatan yang telah dilakukan WaCIDS seperti training seputar wakaf dengan narasumber praktisi nazir (badan pengelola wakaf), dosen dan peneliti WaCIDS sendiri.

Ica berharap milenial saat ini dapat menjadi milenial keren, yang bisa berdampak, serta memberikan manfaat sebanyak-banyaknya. Selain itu Ica juga mengingatkan untuk selalu positif thinking dan melakukan yang terbaik dalam setiap hal serta menjadikan lelah menjadi bermakna dengan meniatkannya sebagai ibadah. (Foto: Dok. Pribadi)

Tantangan Keuangan Islam dan Milenial

Islamic Finance dewasa ini semakin berkembang, begitu juga di Indonesia. Geliat keuangan islam itu semakin terasa dengan dibentuknya KNEKS (Komite Nasional Ekonomi Keuangan Syariah). Pemerintah menunjukan komitmen yang serius menggarap sektor ini. “Saya melihatnya ini juga satu tren yang baik, peluang besar juga untuk Indonesia, kalau dilihat dari penduduk juga muslim majority. Jadi sebenarnya ini peluang besar untuk bisa mengembangkan keuangan Islam”, ucap Ica yang saat ini menjadi pengajar di Prodi Ilmu Ekonomi Islam di UI dan juga di Prodi Keuangan Syariah Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta.

Menurut Ica, tantangan utama dalam perkembangan ekonomi Islam adalah bagaimana kita mengajak dan mengedukasi masyarakat tentang urgensi keuangan dan ekonomi Islam dan bagaimana mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. “Makanya Falah dan WaCIDS juga keduanya bergeraknya di situ, bagaimana kita mengajak orang lain agar tahu dan bisa berkontribusi untuk sama-sama mengembangkan keuangan dan ekonomi Islam di Indonesia”, terang Ica yang juga merangkap peneliti di WaCIDS ini.

Ica berharap Indonesia dapat menjadi halal hub, menjadi negara yang dapat mengoptimalkan potensi yang ada terkait dengan ekonomi dan keuangan Islam. Bukan hanya sekedar memiliki potensi-potensi, ia berharap potensi itu bisa direalisasikan, dan berkembangnya ekonomi dan keuangan Islam dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Milenial menurutnya mempunyai peranan penting dalam hal ini, ditunjukkan dengan WaCIDS yang punya target utama di kalangan milenial. Saluran media sosial menjadi ujung tombaknya agar mampu mencapai kalangan muda. Mereka mengedukasi anak muda terkait wakaf.

“Jadi mereka kenal wakaf dan harapannya setelah mereka kenal nantinya bisa ikut kontribusi, apakah jadi wakif atau jadi orang yang ikut berwakaf atau justru jadi dia pengen ikut mengelola wakaf atau nazirnya”, kata Ica. “Kita hidup bukan hanya untuk ngurus diri kita sendiri, tapi kita bisa meaningful, bisa bermanfaat untuk orang lain”, sambung Ica yang juga aktif menulis tentang ekonomi Islam di berbagai media.

Ica berharap milenial saat ini dapat menjadi milenial keren, yang bisa berdampak, serta memberikan manfaat sebanyak-banyaknya. Selain itu Ica juga mengingatkan untuk selalu positif thinking dan melakukan yang terbaik dalam setiap hal serta menjadikan lelah menjadi bermakna dengan meniatkannya sebagai ibadah. “Ketika kita punya mimpi dan kita berusaha pasti Allah berikan jalan. Mungkin juga selain kita ikhtiar, kita juga selalu menjaga hubungan baik dengan orangtua. Ridhonya Allah kan ridhonya orangtua juga”, pungkasnya.