Tolak Pekerjaan Tetap dan Gaji Tinggi demi Bangun Kampung Halaman? Ini Kisah Awardee LPDP asal NTT Lodimedia

18 Maret 2024
OLEH: Irfan Bayu
Tolak Pekerjaan Tetap dan Gaji Tinggi demi Bangun Kampung Halaman? Ini Kisah Awardee LPDP asal NTT Lodimedia
Tolak Pekerjaan Tetap dan Gaji Tinggi demi Bangun Kampung Halaman? Ini Kisah Awardee LPDP asal NTT Lodimedia  

Sabu Raijua adalah salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten baru hasil pemekaran ini baru dibentuk tahun 2008 lalu. Disusun dari 2 pulau besar dan satu pulau kecil, membuat bentang alam daerah Sabu terbilang cukup menantang. Dikelilingi laut Sawu dan Samudra Hindia yang ganas, butuh satu malam atau belasan jam menggunakan kapal laut hanya untuk sampai ke Kupang.

Lodimedia Kini adalah perempuan asli berdarah Sabu. (Foto:Dok. Pribadi)

Lodimedia Kini adalah perempuan asli berdarah Sabu. Lodi, sapaan akrabnya, saat ini tengah melakukan persiapan terakhirnya sebelum berangkat untuk menyelesaikan gelar doktoralnya di Belanda. Ia mengambil S3 Industrial Ecology di Delft University of Technology (TU Delft) dengan beasiswa LPDP untuk kedua kalinya. Lodi adalah anak Sabu yang mendapatkan privilese mampu memperoleh pendidikan yang layak. Ia mengantongi ijazah S2 Industrial Ecology dari Leiden University dengan beasiswa LPDP.

Masyarakat Sabu yang sebagian besar merupakan petani, pembuat gula, dan pengrajin berbahan baku lontar mempunyai penghasilan yang tak menentu, sementara hal itu berbanding terbalik dengan harga kebutuhan mereka yang cukup tinggi di sana. Selain itu, di tempat Lodi tinggal saat ini juga masih terus bergulat dengan masalah krisis air bersih. Masalah ini adalah masalah struktural yang dihadapi hampir di sebagian besar wilayah NTT.

“Pada akhirnya, keputusan untuk sekolah bisa jadi tidak rasional. Keputusan yang lebih rasional adalah, lebih baik kita merantau. Karena bisa memberi makan saudara-saudara yang ada di rumah. Kalau di sekolah, belum tentu nanti pulang ke Sabu bisa kerja,” kata perempuan 30 tahun ini.

Sebagian besar masyarakat di Sabu memang masih meyakini pendidikan bukan menjadi prioritas utama. Karena mereka harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari terlebih dahulu. Ditambah untuk mengakses pendidikan terbaik juga semuanya berada di luar Sabu Raijua.

Keluarga Lodi merupakan masyarakat asli Sabu. Meski tumbuh bukan di Sabu, darah Sabu Lodi tetap kental mengalir dalam tubuhnya karena kakek neneknya berasal dari Sabu. (Foto: Dok. Pribadi)

Darah Sabu

Keluarga Lodi merupakan masyarakat asli Sabu. Meski tumbuh bukan di Sabu, darah Sabu Lodi tetap kental mengalir dalam tubuhnya karena kakek neneknya berasal dari Sabu. Untuk menempuh pendidikan sarjananya, Lodi diterima kuliah di Universitas Brawijaya dengan studi Teknik industri pada tahun 2011. Di kota Malang inilah Lodi banyak bertumbuh, belajar, dan memulai perjalanan proses menjadi dewasa.

Lodi sempat magang di Gas and Oil Separation Plant di Cepu yang dioperasikan oleh perusahaan Exxon Mobile.  Setelah lulus gelar sarjananya, Lodi sempat ditawari untuk melanjutkan pekerjaannya di Exxon yang berada di Dubai, namun Lodi menolaknya. Gaji yang cukup besar tidak membuat Lodi berubah pikiran. Alasan kuat kenapa Lodi menolaknya tak lain karena kampung halamannya, Sabu Raijau.

“Tapi saya berpikir, ngapain ya saya kerja di Dubai? Jauh dari semuanya apakah nasi yang saya makan disini sama nasi yang saya makan di Dubai rasanya akan sama? Kemudian saya pikir kalau saya kerja di sana, saya hanya akan benar-benar bekerja untuk mencari uang. Apakah saya mau di usia saya yang waktu itu masih sangat muda benar-benar bekerja hanya semata-mata untuk uang. Apakah itu betul-betul kehidupan yang saya cari?”, kenang Lodi.

Orang Sabu punya tradisi sejarah tutur membaca silsilah keluarga dari kakek nenek hingga moyang. Mereka selalu mengusahakan ketertarikan akan Pulau Sabu kepada para generasi penerus. Tradisi tutur silsilah lisan ini juga dilakukan oleh keluarga besar Lodi hingga membuatnya punya keterikatan yang sangat kuat akan tanah leluhurnya itu. Idealisme dan keinginan Lodi membawanya untuk pulang ke Sabu, tanah asal kakek dan nenek moyangnya.

“Dan inilah yang membuat beta selalu merasa dekat dengan Sabu. Membuat beta memutuskan untuk setelah beta kuliah, setelah selesai magang, beta pengen kembali ke Sabu dan itu keputusan yang beta jalani sampai hari ini,” ucap Lodi.

Alih-alih menerima pekerjaan tetap gaji tinggi, Lodi memilih untuk pulang ke Sabu. (Foto:Dok. Pribadi)

Tolak Gaji Tinggi

Alih-alih menerima pekerjaan tetap gaji tinggi, Lodi memilih untuk pulang ke Sabu. Awalnya dia menuju Kupang dan menghabiskan waktu untuk mengamati bagaimana orang-orang menjalani kehidupan dan bertahan hidup. Barulah dia menuju kampung halamannya. Di sana Lodi melakukan hal serupa.

Setelah masa tumbuh besarnya yang berada di luar Sabu, Lodi menyadari bahwa di Sabu memiliki masyarakat yang sangat industrial dalam tingkat kecil dan tradisional tentunya. Para lelaki yang setiap pagi sudah memanjat pohon untuk menyadap nira, atau perempuannya yang sangat tekun yang bertugas memasak niranya untuk kemudian dijadikan gula merah serta sebagiannya sebagai pengrajin tenun.

Saat itu alumni teknik industri ini terpikir untuk merancang produk industri skala kecil menengah, dengan tujuan agar hasil karya masyarakat Sabu lebih bisa terserap dengan baik. “Saya selalu berpikir gimana ya supaya hal-hal ini kemudian bisa dikendalikan, direkayasa kualitasnya, kemudian kita bisa bikin satu sentra industri yang artinya produk-produk mereka ini bisa unggul dan lain sebagainya,” ucapnya. Namun memang tak semudah teorinya. Geografis Pulau Sabu yang dikelilingi laut ganas, membuat satu masalah ekologis harus dipecahkan dan dicari solusinya.

Lodi merasa dengan keilmuannya saat itu belum cukup dan hal itu pula yang membuatnya membulatkan tekad untuk melanjutkan S2-nya di bidang Industrial Ecology di Leiden pada 2018. Di sana Lodi belajar lebih dalam tentang bagaimana material, energi, dan air menjadi tiga faktor yang penting untuk dipahami dalam proses berkehidupan manusia baik orang urban, orang rural, orang industri, orang non-industri.

Setelah menyelesaikan kuliahnya dan lagi-lagi kembali ke Sabu, Lodi banyak melakukan berbagai riset terkait pembangunan manusia dan lingkungan hidup. Sebut saja seperti menjadi konsultan di Satuan Kerja Pengembangan Sistem Penyehatan Lingkungan Permukiman Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTT, Program Director di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC), serta menjadi peneliti di Tulodo dan PRISMA.

Tak sedikit buah pemikiran dan keilmuan Lodi yang digunakan sebagai tanggapan dan bahan penyusunan kajian strategis atas Pembangunan terkait manajemen air di daerah Sabu dan sekitarnya, hal yang sangat Lodi gandrungi. Impiannya sederhana, ingin merubah Sabu menjadi tempat yang lebih baik lagi.

Proyek museum rintisannya bernama Museum Ammu Hawu. Museum ini berupa situs digital yang merekam sekaligus menggali seluruh peradaban sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan kebijaksanaan hidup yang diwariskan masyarakat Sabu dari generasi ke generasi. (Foto: Dok. Pribadi)

Museum dan Film

Selain banyak pemikiran dan keilmuan Lodi yang digunakan di Sabu, Lodi juga menginisiasi pembuatan sebuah museum di daerah Sabu. Proyek museum rintisannya bernama Museum Ammu Hawu. Museum ini berupa situs digital yang merekam sekaligus menggali seluruh peradaban sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan kebijaksanaan hidup yang diwariskan masyarakat Sabu dari generasi ke generasi. Ammu Hawu sendiri diambil dari nama rumah adat tradisional masyarakat Sabu Raijua. Baginya, siapa lagi kalau bukan orang Sabu yang memiliki tekad kuat yang militan untuk merawat dan mengembangkan tanah asalnya.

Selain museum digital, Lodi bersama sang suami yang juga merupakan movie maker membuat satu proyek film dokumenter yang berjudul “Pulau yang Ditinggalkan”. Film ini mengisahkan tentang dua pemuda yang terpaksa meninggalkan pulau tempat tinggalnya untuk mencari penghidupan.

“Itu sebuah film yang menceritakan tentang bagaimana tantangan ketika lingkungan ini daya dukungnya sudah semakin kecil karena berbagai perubahan, salah satunya juga karena perubahan iklim. Perubahan cara hidup orang juga dipengaruhi oleh banyak hal. Bukan karena mereka yang mau, tapi karena begitu banyak hal dihadapkan kepada orang pulau yang kemudian membuat mereka semakin sulit untuk bertahan hidup,” terang Lodi. Film dokumenter ini sekaligus menjadi sentimentil dengan perjalanan kehidupan keluarga Lodi sebagai orang asli Sabu yang harus pergi jauh keluar dari tanah airnya untuk mencari kehidupan dan menggapai mimpi.

“Masalah yang kita hadapi ini masalah yang konkret, yang real, yang jelas nih. Air gak ada, air kotor, air gini, itu masalah yang konkret. Jadi sebenarnya harus bisa juga digambarkan secara brutal dan secara gambling. Oleh sebab itu, saya ingin pengamatan, penelitian (yang telah dilakukan) punya channel lain sehingga orang juga bisa mengakses. Di situ kemudian saya membuat science communication project,” jelas Lodi ketika ditanya alasan dia membuat film tersebut. Lodi berharap film ini tak hanya sekadar jadi film yang ditonton dan kemudian selesai. Namun, ia berharap dokumenter ini bisa menjadi pemicu untuk dialog warga dan menjadikan masyarakat lebih sadar bahwa kita sedang berada dalam masalah yang harus dihadapi secara kolektif.

Terbang ke Belanda Dua Kali

Lodi sedang mempersiapkan diri untuk terbang kembali ke Belanda menyelesaikan program doktornya. Belanda dipilih Lodi karena dinilai memiliki reputasi yang baik dalam urusan manajemen air serta ilmu-ilmu hidrologi. (Foto: Dok. Pribadi)

Lodi sedang mempersiapkan diri untuk terbang kembali ke Belanda menyelesaikan program doktornya. Belanda dipilih Lodi karena dinilai memiliki reputasi yang baik dalam urusan manajemen air serta ilmu-ilmu hidrologi. Ia memilih melanjutkan pendidikan doktor di TU Delft yang dijadikan percontohan untuk membangun de Technische Hoogeschool te Bandoeng atau kini dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh anak-anak muda serta masyarakat kepulauan yang serupa dengan Sabu, Lodi berharap generasi muda Indonesia memiliki kepercayaan diri dan berani untuk bermimpi melalui perbaikan pendidikan.

“Kalau dibilang saya punya privilese, jelas saya punya itu. Mimpi itu sesuatu yang sangat mahal, sesuatu yang sangat powerful, punya kekuatan yang sangat besar untuk membawa kita melangkah jauh. Saya lihat, saya punya punya kekhususan, keistimewaan karena saya bisa mengakses (pendidikan). Saya punya kesempatan untuk bermimpi sementara teman-teman di Sabu, untuk bermimpi pun sangat mahal,” kata Lodi. Menurut Lodi tak ada hal lain yang lebih berbahaya selain anak muda yang tak bisa bermimpi.

Lodi mendorong anak muda untuk terus belajar, apalagi saat ini kesempatan untuk berkuliah baik S2 atau S3 terbuka lebar melalui Kementerian Keuangan yang memberikan kesempatan berkuliah gratis melalui beasiswa LPDP.

“Ayo, walau persiapannya satu tahun, dua tahun, harus bahasa Inggris, lesnya lama, tapi jangan pernah berhenti. Biarpun pelan tapi pada akhirnya kita akan sampai ke titik itu. Yang paling penting adalah konsisten. Kita harus berkorban waktu, berkorban tenaga, berkorban kenyamanan untuk sesuatu yang benar-benar baik” pungkasnya.

 


Artikel Lain
TELUSURI


J.B. Sumarlin berfoto bersama keluarga tahun 1972. Foto dari dokumentasi pribadi.
J.B. Sumarlin berfoto bersama keluarga tahun 1972. Foto dari dokumentasi pribadi.  

KSSK Pantau Ketat Stabilitas Sistem Keuangan 2023, Ekonomi Indonesia Aman.
KSSK Pantau Ketat Stabilitas Sistem Keuangan 2023, Ekonomi Indonesia Aman.  

Ekonomi Indonesia Resilien di Tengah Pelemahan Ekonomi Global. APBN Kita Menjadi Instrumen Peredam Guncangan. Foto oleh Dodi Achmad.
Ekonomi Indonesia Resilien di Tengah Pelemahan Ekonomi Global. APBN Kita Menjadi Instrumen Peredam Guncangan. Foto oleh Dodi Achmad.