Mandiri dengan Otonomi

16 Februari 2023
OLEH: Resha Aditya Pratama
Mandiri dengan Otonomi
 

Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari 38 Provinsi, 98 Kota, dan 416 Kabupaten yang mana dari setiap provinsi, kota, dan kabupaten tersebut masing-masing memiliki pemerintahan daerahnya tersendiri. Agar tak terjadi ketimpangan antar daerah, pemerintah pusat membuat kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001. Selama lebih dari dua dekade, implementasi desentralisasi fiskal ini telah dievaluasi dan perlu dilakukan penyempurnaan dari sisi regulasi. Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) lahir sebagai penyempurna dengan harapan mampu meningkatkan kapasitas fiskal setiap daerah. Seperti apa gambaran umum UU HKPD ini? Simak petikan wawancara Media Keuangan Plus dengan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Agus Fatoni, berikut ini.

 

Secara umum, bagaimana Bapak melihat perkembangan kinerja desentralisasi fiskal saat ini?

Pada dasarnya pelaksanaan desentralisasi fiskal ini ditujukan untuk menciptakan aspek kemandirian di daerah. Daerah kemudian menerima pelimpahan kewenangan di segala bidang, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal serta keagamaan. Pelimpahan kewenangan tersebut juga diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pendanaan berupa penyerahan basis-basis perpajakan maupun pendanaan melalui mekanisme transfer ke daerah. Khusus, mekanisme transfer ke daerah didasarkan pada pertimbangan untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang mungkin terjadi antar daerah (horizontal imbalances) maupun ketimpangan antara pemerintah pusat dan daerah (vertical imbalances).

Tujuan dari desentralisasi fiskal adalah untuk memenuhi aspirasi daerah yang menyangkut penguasaan atas sumber-sumber keuangan negara, mendorong akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah, mengurangi ketimpangan antar daerah, menjamin terselenggaranya pelayanan publik minimum di setiap daerah, dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Berdasarkan hasil evaluasi, pelaksanaan desentralisasi fiskal selama ini dipandang belum optimal. Sebagai contoh, belanja daerah masih belum fokus dan belum efisien, dimana masih bervariasinya jenis program dan jenis kegiatan.  Saat ini terdapat 29.623 jenis program dan 263.135 jenis kegiatan. Selain itu, Pola eksekusi APBD masih bersifat business as usual, selalu tertumpu di triwulan IV sehingga mendorong adanya idle cash di daerah. Tak hanya itu, capaian output dan outcome pembangunan menunjukkan adanya ketimpangan di daerah, seperti capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2022 yang rentangnya antara 87,7 di Kota Yogyakarta dengan 34,1 di Kabupaten Nduga. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dan kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mendukung pencapaian target pembangunan nasional dan meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

 

Apa saja yang selama ini menjadi keluhan pemerintah daerah (Pemda) mengenai Dana Bagi Hasil (DBH)?

Ada beberapa keluhan yang disampaikan seperti akuntabilitas dan transparansi dari perhitungan DBH itu sendiri. Akuntabilitas dan transparansi diperlukan agar menghindari kecurigaan dari semua stakeholder terkait perhitungan dan pembagian DBH. Keluhan berikutnya jumlah DBH Sumber Daya Alam (SDA) seperti DBH Migas, DBH Minerba, DBH Panas Bumi, DBH Kehutanan, DBH Perikanan yang diterima seringkali tidak pasti, karena adanya perbedaan antara jumlah alokasi yang ditetapkan, dengan jumlah DBH SDA yang disalurkan. Ini disebabkan karena penyaluran DBH SDA didasarkan pada realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun berjalan.

Selain itu, Pemda sering mengalami kendala dalam melakukan Pengelolaan DBH yang ditentukan penggunaannya (earmarked) yang disebabkan oleh terlambatnya penetapan peraturan tentang petunjuk teknis penggunaannya. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap pengelolaan keuangan daerah yang telah memiliki tahapan dan siklus yang pasti sesuai dengan regulasi dibidang pengelolaan keuangan daerah. Lalu penyaluran DBH Reguler Triwulan IV dan Kurang Salur DBH tahun-tahun sebelumnya yang selalu dilakukan pada akhir bulan Desember Tahun Anggaran berjalan, mengakibatkan penumpukan pada kas daerah pada akhir tahun, sehingga tingginya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). Dan yang terakhir, Pemda juga mengusulkan agar pendapatan negara dari perkebunan sawit dibagihasilkan, karena tingginya kerusakan prasarana, utamanya infrastruktur jalan milik Pemda yang diakibatkan oleh operasional perkebunan sawit.

 

Bagaimana tanggapan Bapak atas redesain DBH melalui Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) Nomor 1 Tahun 2022?

Redesain DBH melalui UU 1 Tahun 2022 ini menjadi kebijakan baru yang diharapkan dapat menjawab tantangan dan kendala pengelolaan DBH bagi pemda. Ada dua poin utama dari redesain DBH melalui UU HKPD ini. Yang pertama, DBH dialokasikan kepada Pemda dari sebelumnya berdasarkan realisasi penerimaan negara tahun berjalan, menjadi realisasi penerimaan negara tahun sebelumnya. Hal ini akan memberikan kepastian penerimaan bagi daerah. Lalu yang kedua, pengalokasian DBH dari sebelumnya yang penggunaanya bersifat tidak ditentukan penggunaannya (blockgrant) kecuali DBH CHT dan DBH DR, menjadi memperhitungkan kinerja daerah untuk memperkuat penerimaan negara yang dibagihasilkan ataupun perbaikan lingkungan yang terdampak akibat aktivitas eksploitasi.

 

Upaya apa saja yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri untuk mendorong Pemda meningkatkan kapasitas fiskal daerah, khususnya melalui alokasi DBH?

Pertama, mendukung kebijakan pengelolaan Treasury Deposite Facility (TDF). Hal ini merupakan fasilitas yang disediakan oleh Bendahara Umum Negara (BUN) bagi Pemerintah Daerah untuk menyimpan uang di BUN sebagai bentuk penyaluran DBH nontunai berupa penyimpanan di Bank Indonesia (BI). Berikutnya, Kemendagri menerbitkan Surat Edaran mengenai pemetaan klasifikasi, kodefikasi dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan daerah terhadap program dan kegiatan yang didanai dari DBH earmarked (DBH CHT dan DBH DR). Tak hanya itu, kita juga melakukan pendampingan penyusunan Rencana Kerja dan Penganggaran (RKP) DBH earmarked, untuk memastikan bahwa pemanfaatan DBH sudah sesuai dengan yang ditetapkan dalam petunjuk teknis. Terakhir, mendorong pemerintah daerah untuk melakukan simplifikasi program, kegiatan, dan sub kegiatan agar Pemda dapat melakukan belanja yang lebih fokus. Dengan belanja yang lebih produktif melalui pemanfaatan DBH dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang secara tidak langsung akan berdampak pada peningkatan kapasitas fiskal Pemda melalui PAD.

 

Menurut Bapak, upaya apalagi yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan harmonisasi kebijakan fiskal antara pusat dan daerah?

Regulasi turunan dari amanat UU 1 Tahun 2022 tentang HKPD perlu dilakukan percepatan dan penetapannya. Lalu, pada setiap tahapan pengelolaan keuangan daerah dalam APBD perlu dilakukan sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dengan kebijakan pemerintah daerah, sehingga perencanaan dan penganggaran untuk setiap perangkat daerah ditentukan berdasarkan target kinerja pelayanan publik tiap-tiap urusan pemerintahan yang difokuskan pada prioritas pembangunan yang telah ditetapkan dalam RKPD, serta tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan pemerataan antar perangkat daerah atau berdasarkan alokasi anggaran pada tahun anggaran sebelumnya. Terakhir, mendorong desentralisasi yang berkualitas demi kepentingan rakyat melalui peningkatan kinerja daerah. Peningkatan kinerja daerah tersebut merupakan bentuk akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa setiap rupiah yang ada di APBN dan APBD adalah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.