Hikayat Negeri Pakkat

9 Mei 2022
OLEH: Aditya Wirananda
Hikayat Negeri Pakkat
 

Ada hal-hal yang terjadinya lebih pelik daripada mengetik komentar di media sosial. Menyeberangi Samudera Hindia atau menyusuri perkampungan di sepotong bagian Bukit Barisan, misalnya. Kendati tak mudah, hal-hal ini tetap saja harus dijalani oleh para pegawai di KPKNL Padangsidimpuan.

Kota Salak

Sebelum lebih jauh, ada baiknya untuk kita mengetahui sedikit tentang Padang Sidempuan. Tidak menutup kemungkinan, satu dua dari kita baru kali pertama dengar nama kota ini. Konon, nama ini berasal dari dua kata, “padang” dan “dimpu”. Padang artinya hamparan, sedangkan dimpu artinya tinggi. Padang Sidempuan, hamparan di tempat yang tinggi.

Kota ini berada di provinsi Sumatera Utara, lokasinya sekitar 150 kilometer di sisi selatan Danau Toba. Kota ini berbentuk lembah yang dikelilingi perbukitan. Seperti Bandung.

Padang Sidempuan punya julukan kota salak kendati kota ini bukan penghasil salak. Perkebunan salak lebih banyak ditemukan di wilayah sekitarnya, seperti Angkola, Merancar dan Sayur Matinggi yang secara administratif masuk wilayah kabupaten Tapanuli Selatan. Dahulu, orang-orang menyebut Padang Sidempuan dengan sebutan “pasar”. Sebutan ini muncul karena dulu kota ini adalah pusat perdagangan--terutama salak, tempat berkumpulnya orang-orang di wilayah perbukitan sekeliling Padang Sidempuan. Seiring waktu, kota ini jadi identik dengan salak. 

Batas wilayah kerja

Berikutnya adalah tentang Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Padangsidimpuan. Seperti KPKNL di kota lain, kantor ini punya tugas mengelola kekayaan negara dan menyelenggarakan lelang di wilayah kerjanya.

Wilayah kerjanya meliputi wilayah Sumatera Utara bagian selatan. “Di sisi timur, kami berbatasan dengan Pasaman. Itu wilayah Sumatera Barat. (Wilayah) kami (sampai) di Mandailing Natal,” ujar Hariyadi Murti Kurniawan, Kepala KPKNL Padangsidimpuan. “Di utara itu Padang Lawas Utara, berbatasan dengan Rantau Prapat. Di sebelah barat (sampai) di Humbang Hasundutan,” ia melanjutkan, “kemudian yang paling menantang, bagian selatan, wilayah kami melipiuti kabupaten Nias.”

Perjalanan ke Nias

Tentu saja menantang. Nias, seperti kita tahu, berada di sebelah barat pulau Sumatera. Pegawai KPKNL Padangsidimpuan yang bertugas ke sana, tentu harus lebih dulu melintasi Samudera Hindia. Entah dengan pesawat ataupun kapal.

Emmi Ginting, salah satu kepala seksi di KPKNL Padangsidimpuan, berbagi cerita tentang salah satu pengalamannya bertugas ke Nias. Ini adalah kejadian lima tahun silam, saat ia baru beberapa hari ditempatkan di Padang Sidempuan. “Kami tiga orang, tim penilai. Sudah booking tiket pesawat tapi ternyata yang boleh naik (hanya) saya sendiri. Akhirnya (dua orang) yang laki-laki mengalah naik kapal 10 jam. Kalau naik pesawat cuma setengah jam,” ujarnya.

 Emmi bilang, perjalanan itu sejak mula sudah ada-ada saja. Pertama, nomor bangku yang dipegang masing-masing penumpang semua bernomor 10. “Saya seat 10, sebelah saya seat 10, rupanya seat 10 semua,” ujarnya sambil berkelakar. Kedua, tempat duduk didasarkan pada berat badan penumpang. Konon supaya beban pesawat seimbang. Ketiga, lepas landas berlangsung mengerikan. “Begitu terbang, jantung saya mau copot. Karena nggak stabil dia. Di atas hujan deras,” ujarnya. Satu hal yang bikin Emmi tetap tenang adalah karena ketenangan pilotnya. “Yang bikin saya agak tenang, pilotnya itu (sambil) makan nasi bungkus,” ujarnya.

Tentang perjalanan ke Nias, Freddy Sinaga berbagi kisahnya menggunakan kapal. Untuk menuju ke Nias, ia harus menuju Sibolga lebih dulu. Dari Padang Sidempuan, butuh waktu sekitar 3 jam perjalanan darat. Dari Sibolga, penyeberangan ke Nias menandaskan setidaknya 10 jam perjalanan laut. “Ke Gunung Sitoli itu sekitar 10-12 jam. Kalau ke Nias Selatan sampai 13 jam,” ujar Freddy. Jadwal penyeberangan ini hanya ada di malam hari. “Jadi kalau tugas kita 3 hari, sampai di sana pagi kita langsung tugas. Nanti malamnya kita sudah siap-siap lagi menyeberang ke Sibolga. Lanjut perjalanan lagi ke Padang Sidempuan,” ujarnya. Freddy mengatakan bahwa perjalanan dengan kapal tidak menjamin istirahat bisa nyaman. “Penginapan di kapal penyeberangan itu siapa yang duluan ya dia dapat kamar itu,” ia melanjutkan, “kalau tidak dapat penginapan (kamar) lagi ya kita tidur itu di kursi-kursi yang ada.”

Pesona lokal

Di balik sejumlah perjalanan yang hampir selalu jadi ajang menguji nyali, sejumlah daerah di wilayah kerja KPKNL Padangsidimpuan punya pesona tersendiri, salah satunya Lembah Bakkara. Nur Hamidah, salah seorang pegawai KPKNL Padangsidimpuan mengatakan, “ya memang menghabiskan waktu di perjalanan, tapi di sana itu lumayan lah, 15-30 menit menikmati keindahan alam,” ujarnya berkelakar. Lembah ini merupakan tempat kelahiran Sisingamangaraja. “Indah sekali,” ujarnya, “kalau kita kirim fotonya itu nggak seberapa daripada saat kita di sana langsung.”

Selain alam, ragam makanan di Padang Sidempuan juga konon pantang dilewatkan. Salah satunya adalah pakkat. Makanan ini terbuat dari batang rotan. Tentu saja rotan yang digunakan bukanlah rotan yang siap jadi furnitur, melainkan rotan yang masih muda. Makanan ini disajikan dengan sambal. Saat Ramadan, menu ini jadi salah satu yang meramaikan jajaran menu takjil. Selain itu, ada juga makanan khas lain, seperti Toge Panyabungan yang menyerupai bubur kampiun, atau gule holat yang merupakan sup ikan dengan bumbu rotan muda.