Meniti Keseimbangan Menuju Konsolidasi Fiskal 2023

Laporan Utama
1 Juni 2022
OLEH: CS. Purwowidhu
Meniti Keseimbangan Menuju Konsolidasi Fiskal 2023

 

Ibarat nahkoda memerlukan kompas untuk melabuhkan kapal ke dermaga tujuan, demikian pula pemerintah membutuhkan panduan tahunan pengelolaan keuangan negara untuk membawa bahtera kehidupan bernegara mencapai visi yang dicita-citakan. Cikal bakal panduan kebijakan tersebut tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) yang disusun oleh Kementerian Keuangan dan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah mendapat persetujuan dari DPR, selanjutnya Dokumen KEM-PPKF akan menjadi bahan pembicaraan pendahuluan serta acuan dalam menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).

Peran penting kebijakan ekonomi makro dan kebijakan fiskal semakin nyata terasa sejak awal merebaknya pandemi Covid-19. Kebijakan tersebut berperan strategis dalam berbagai upaya penanganan situasi darurat dan luar biasa yang bertujuan menyelamatkan rakyat dan ekonomi Indonesia dari ancaman pandemi.

Dua tahun bergulat dengan Covid-19, pemerintah kian teruji dalam mengendalikan dan mengelola krisis pandemi. Pemulihan ekonomi pun semakin menguat dengan tercapainya pendapatan domestik bruto (PDB) di atas level pra pandemi. Pemerintah kini harus bersiap menghadapi fase transisi dari pandemi menuju endemi seiring dengan penurunan kasus Covid-19 yang semakin tajam.

Namun, belum usai krisis akibat pandemi, muncul konflik geopolitik yang berdampak eskalatif terhadap perekonomian global. Kenaikan harga komoditas pangan dan energi, baik akibat disrupsi rantai pasok maupun perang Rusia-Ukraina, selanjutnya berimbas pada lonjakan inflasi global. Di samping itu, pengetatan kebijakan moneter negara maju khususnya Amerika Serikat (The Fed) berisiko pada kenaikan suku bunga yang kemudian membuat cost of fund menjadi lebih tinggi. Kebijakan dollar kuat (strong dollar policy) juga ditempuh oleh AS untuk mengatasi inflasi. Kombinasi tingginya suku bunga dan dollar yang kuat akan menyebabkan bertambah ketatnya akses pembiayaan serta meningkatnya beban pembayaran utang (debt services). Semua risiko tersebut mendatangkan ancaman baru bagi pemulihan ekonomi global dan domestik. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 oleh IMF lantas terkoreksi ke level 3,6 persen (IMF WEO, April 2022).

Kebijakan fiskal antisipatif dalam merespons gejolak tersebut. Pemerintah memakai APBN sebagai bantalan atau shock absorber atas goncangan yang terjadi. Subsidi dan kompensasi ditambah, bantuan sosial terus dilanjutkan sehingga kenaikan inflasi tetap terkendali dan daya beli masyarakat terlindungi. Dengan begitu momentum pemulihan ekonomi tetap bisa terjaga. Kebijakan fiskal yang antisipatif ini akan dilanjutkan pada 2023.

“KEM-PPKF Tahun 2023 memberikan dukungan memperkuat peran kritikal APBN agar tetap responsif dan fleksibel sebagai shock absorber untuk mempertahankan daya beli masyarakat serta melanjutkan pemulihan ekonomi,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Paripurna Penyampaian Tanggapan Pemerintah atas Pandangan Fraksi-Fraksi DPR RI terhadap KEM-PPKF Tahun 2023 (31/05).

Kebijakan fiskal tahun 2023 didesain agar mampu merespons dinamika yang terjadi, menjawab tantangan, dan mendukung pencapaian target pembangunan secara optimal. Kebijakan fiskal ini juga diarahkan pada peningkatan produktivitas untuk mendukung transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Kebijakan sesuai momentum

Di samping mengakomodir upaya persiapan masa transisi pandemi ke endemi, serta antisipasi terhadap ketidakpastian dinamika global yang tinggi, pemerintah juga menyiapkan KEM-PPKF 2023 sebagai baseline baru kebijakan makro ekonomi dan fiskal pasca implementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Pada 2023 defisit APBN harus kembali paling tinggi sebesar 3 persen dari PDB sesuai amanat Undang-Undang.

Sri Mulyani menyatakan pada saat ekonomi nasional semakin menguat dan pulih dari krisis akibat pandemi, pilihan kebijakan konsolidasi fiskal tetap harus dilakukan. Di satu sisi, hal tersebut untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi sektor swasta untuk semakin pulih. Di sisi lain, kebijakan konsolidasi fiskal juga akan memastikan kesehatan dan sustainabilitas APBN untuk dapat kembali menyerap tekanan jika terjadi guncangan kembali di kemudian hari.

Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky mengatakan untuk kembali ke level defisit 3 persen tersebut, pemerintah perlu memperhatikan alokasi-alokasi belanja dan mengoptimalkan penerimaan. Namun tetap menjaga agar pemulihan ekonomi yang sedang berjalan tidak melambat.

Di tengah dinamika risiko global, kondisi Indonesia terbilang relatif lebih baik dibandingkan negara-negara lain. Kenaikan harga komoditas global di satu sisi meningkatkan penerimaan negara. Windfall revenue ini memungkinkan pemerintah untuk menambah ruang fiskal yang kemudian dimanfaatkan untuk menambah subsidi, kompensasi, dan perlinsos.

Kuncinya adalah bagaimana kita bisa meng-handle tekanan inflasi saat ini agar tidak mendisrupsi pertumbuhan ekonomi yang sedang berlangsung saat ini. Jadi momentum itu juga perlu terus dijaga agar disrupsi yang terjadi tidak kemudian memukul turun lagi roda ekonomi yang ini sudah berputar,” papar Riefky.

Riefky menilai langkah pemerintah dalam menekan lonjakan inflasi saat ini sudah tepat, agar tidak menggerus daya beli masyarakat yang sedang pulih.

Tekanan inflasi domestik mulai terlihat meningkat pada April 2022 yang tercatat sebesar 3,5 persen. Selain kenaikan harga komoditas global, faktor musiman terkait Ramadan dan Hari Raya, serta mulai pulihnya permintaan domestik turut berkontribusi pada kenaikan inflasi tersebut.

Adapun harga komoditas energi dunia terus naik. Harga minyak mentah terus di atas USD100 per barel sejak awal tahun. Harga gas alam juga naik 127 persen dan  batu bara naik 137,3 persen untuk periode yang sama.

Sejatinya, inflasi domestik berpotensi meningkat jauh lebih tinggi jika kenaikan harga komoditas global tersebut sepenuhnya dipass-through ke harga-harga domestik. Namun, potensi transmisi tingginya harga komoditas global tersebut dapat diredam, dengan jalan mempertahankan harga jual BBM, LPG dan listrik di dalam negeri untuk tidak naik.

Pemerintah pun menambah anggaran subsidi energi dan kompensasi kepada PT PLN dan PT Pertamina hingga Rp350 triliun. Tambahan subsidi dan kompensasi tersebut di luar anggaran APBN 2022 yang mengalokasikan dana sebesar Rp154 triliun. Serta murni diambil dari penambahan penerimaan negara yang diproyeksi mencapai Rp420 triliun di tahun ini. Gelontoran subsidi tersebut ditujukan agar tidak terjadi kenaikan harga sehingga daya beli masyarakat bisa tetap terjaga di tahap awal pemulihan ini.

“Katakanlah kalau inflasi tiba-tiba sangat tinggi sekarang, pasti BI akan meningkatkan suku bunga. Kalau BI meningkatkan suku bunga, maka kemudian GDP growth kita pasti akan tertekan lagi. Implikasinya adalah semakin susah kita mencapai defisit 3 persen di tahun depan karena GDP growth kita turun,” papar Riefky mencontohkan.

Di sisi lain, apabila saat ini dilakukan pengetatan moneter sebagaimana dilakukan oleh banyak negara lain maka beban biaya utang akan lebih tinggi yang kemudian akan semakin mempersempit ruang fiskal pemerintah ke depan.   

Kendati demikian, Riefky juga mengingatkan apabila tekanan inflasi sampai pada titik yang terlalu tinggi dan kenaikannya tidak sebanding dengan tambahan ruang fiskal dari windfall revenue yang berasal dari komoditas yang kita miliki, maka inflasi tersebut harus diteruskan ke konsumen namun dengan tetap melindungi masyarakat miskin dan rentan.

“Jadi saya rasa problemnya saat ini yang dihadapi adalah bagaimana kita memiliki timing yang tepat dari sisi kebijakan agar proses pemulihan ekonomi ini bisa terjadi secara smooth. Smooth landing ini memang perlu betul-betul diperhatikan oleh pemerintah,” tutur Riefky.

Pemerintah harus mengatur prioritas dan konsisten terhadap urutan prioritas yang dibuat, yaitu  melindungi masyarakat miskin dan rentan, melindungi ekonomi, kemudian menyehatkan APBN. (Sumber Foto:Dok. Kementerian Keuangan)

Fokus implementasi

Peningkatan produktivitas nasional pada KEM-PPKF 2023 akan ditempuh melalui upaya akselerasi transformasi ekonomi dengan mendorong peningkatan peran sektor-sektor potensial bernilai tambah tinggi.

Implementasi sejumlah agenda reformasi struktural diperlukan untuk mendorong akselerasi transformasi ekonomi tersebut. Diantaranya penguatan kualitas SDM, percepatan pembangunan infrastruktur, perbaikan sistem logistik, implementasi UU Cipta Kerja, reformasi sektor keuangan, termasuk reformasi fiskal melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).

Melalui akselerasi pemulihan ekonomi, reformasi struktural dan reformasi fiskal yang komprehensif dan konsisten, kebijakan ekonomi makro dan fiskal 2023 tidak hanya akan memacu kinerja ekonomi nasional. Kebijakan fiskal tahun depan juga ditargetkan akan menjadi stabilisator jika terjadi guncangan, sekaligus sebagai instrumen utama pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi ke seluruh pelosok dan lapisan masyarakat.

Menurut Riefky, strategi tersebut sudah tepat menyasar target pembangunan jangka menengah dan jangka panjang Indonesia. Namun, diperlukan optimalisasi pada level implementasi. Karena itu, koordinasi antarpemangku kepentingan harus ditingkatkan.

“Untuk ini bisa berhasil, ini bukan hanya tugas di Kementerian Keuangan, tapi kementerian-kementerian lain, regulator, sektor privat, ini semua harus berkolaborasi secara koheren dan sinergis untuk kemudian mewujudkan cita-cita ini,” ucap Riefky.

Di samping itu, meski dua tahun mendatang merupakan tahun politik, Riefky berharap agar kebijakan-kebijakan yang bersifat reformatif tetap mendapatkan political support dan bisa dijalankan sesuai prioritas.

Political cost dan political will yang pasti akan lebih berat terjadi di dua tahun mendatang. Sehingga memang ini perlu diperhatikan agar tujuan pembangunan jangka panjang kita ini tidak terbengkalai,” kata Riefky.

 

Jaga prioritas

Pandemi Covid-19 menunjukkan betapa pentingnya memiliki ruang gerak fiskal yang luas untuk menghadapi kondisi kedaruratan luar biasa. Reformasi fiskal secara menyeluruh diperlukan untuk menyehatkan postur fiskal kita. Upaya yang ditempuh antara lain dengan optimalisasi penerimaan negara dan menerapkan belanja yang efisien dan efektif. Peningkatan penerimaan negara dilakukan melalui reformasi perpajakan dengan implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP diharapkan akan meningkatkan rasio perpajakan.

Sementara di bidang belanja negara, pemerintah antara lain akan melakukan penguatan kebijakan spending better melalui penerapan zero based budgeting yang berorientasi pada sasaran dan target pembangunan nasional. Ini bertujuan untuk menciptakan multiplier effect dalam mendorong akselerasi transformasi ekonomi.

Terkait belanja negara, Riefky memandang perlunya reformasi subsidi. Skema subsidi yang menyasar ke produk misalnya, menciptakan ruang yang cukup besar untuk dimanfaatkan oleh pihak yang sebenarnya tidak membutuhkan subsidi tersebut. Hal ini menyebabkan inefisiensi dari sisi belanja. Meski demikian, reformasi subsidi perlu dilakukan dengan pertimbangan sasaran dan waktu yang tepat. Karena di negara berkembang, isu subsidi berkaitan erat dengan daya beli masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan rentan. 

Ke depan, risiko ketidakpastian yang datang dari dinamika global masih sangat tinggi. Karena itu Riefky setuju bahwa sifat postur fiskal harus antisipatif dan akomodatif. Di tengah keterbatasan ruang fiskal, pemerintah harus mengatur prioritas dan konsisten terhadap urutan prioritas yang dibuat, yaitu  melindungi masyarakat miskin dan rentan, melindungi ekonomi, kemudian menyehatkan APBN.

“Selama fokus prioritasnya ini sudah tepat dan tidak berubah-ubah, maka nanti pasti movement dari fiskalnya yang bisa mengikuti ini. Saya cukup confident bahwa ke depannya kita cukup aman dari sisi ekonomi growth dan dari sisi kebutuhan fiskalnya,” pungkas Riefky.


CS. Purwowidhu