Tak Ingin Mengulang Dampak Tragis Pandemi? G20 Ambil Langkah Ini

13 Mei 2022
OLEH: CS. Purwowidhu
Tak Ingin Mengulang Dampak Tragis Pandemi?  G20 Ambil Langkah Ini
 

Historically, pandemics have forced humans to break with the past and imagine their world anew. This one is no different. It is a portal, a gateway between one world and the next. We can choose to walk through it, dragging the carcasses of our prejudice and hatred, our avarice, our data banks and dead ideas, our dead rivers and smoky skies behind us. Or we can walk through lightly, with little luggage, ready to imagine another world. And ready to fight for it.”

Ini adalah sepenggal kutipan esai berjudul “Pandemic is a Portal” karya novelis dan aktivis India, Arundhati Roy, yang ia tulis di masa awal merebaknya pandemi Covid-19, April 2020 silam.

Lebih dari sekadar virus, itulah Covid-19. Memasuki tahun ketiga sejak kemunculannya pertama kali di Wuhan, China pada November 2019, imbas Covid-19 semakin meluas. Bukan hanya perkara nyawa yang menjadi taruhan, namun juga risiko kemiskinan dan kesulitan yang semakin meningkat. Tak kurang dari 6,2 juta kematian langsung serta kerugian finansial sebesar $13,8 triliun terjadi akibat Covid-19 di seluruh dunia.

Pandemi Covid-19 mau tidak mau, suka tidak suka, telah menjadi portal yang “memaksa” tatanan dunia ini berubah lewat terpaan gelombang krisis kesehatan dan krisis ekonomi. Dan karena pagebluk ini merupakan dilema global maka memerlukan solusi yang harus diupayakan oleh seluruh negara secara kolaboratif.

Diperlukan kebesaran hati dan kesediaan setiap negara untuk bekerja sama menangani pandemi. Karena tidak ada negara yang bisa benar-benar pulih hingga dunia pulih sepenuhnya. Indonesia sebagai Presidensi G20 tahun 2022 terus menggaungkan semangat kolaborasi dan multilateralisme agar dunia bisa pulih bersama dan pulih lebih kuat.

Dilansir dari foreignpolicy.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen, dan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam kolom ‘Argument, an Expert’s point of view on a current event,’ mengungkapkan pentingnya berinvestasi untuk keamanan kesehatan global sebagai jaminan perlindungan dalam menghadapi risiko bencana di waktu yang akan datang.

Pandemi Covid-19 menunjukkan adanya kesenjangan kemampuan antarnegara untuk berkoordinasi secara global dalam mendeteksi dan mengatasi ancaman kesehatan yang muncul dan kemudian merebak dengan cepat. Kerugian dari pandemi berikutnya bisa jauh lebih buruk daripada pandemi saat ini jika tidak segera dilakukan penguatan ketahanan kesehatan global.

“Keadaan darurat kesehatan global tidak lagi menjadi ancaman satu generasi, dan dunia harus bertindak sekarang agar dampak tragis Covid-19 tidak terulang kembali,” tegas Sri Mulyani, Janet, dan Tedros.

Sri Mulyani, Janet, dan Tedros menekankan prioritas utama dunia adalah mengakhiri pandemi Covid-19. Untuk itu segala upaya harus digencarkan agar setidaknya 70 persen populasi di seluruh negara mendapat vaksinasi. Namun, mereka juga mengingatkan perlunya para pemimpin mengambil pelajaran dari pandemi ini dan mengedepankan rencana untuk mereformasi arsitektur keamanan kesehatan global.

“Dengan meningkatnya ancaman pandemi, perubahan iklim, dan konflik, Covid-19 tidak akan menjadi darurat kesehatan global skala besar kita yang terakhir,” tulis Sri Mulyani, Janet, dan Tedros.

Akibat dalamnya jurang kesenjangan

Penguatan ketahanan kesehatan global merupakan investasi penting bagi dunia dan menjadi fokus pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G-20 yang diselenggarakan di Washington DC, April 2022 lalu.

Selama ini respons global terhadap pandemi dinilai mengalami banyak hambatan bukan saja dari segi sumber daya yang tidak memadai dan tata kelola yang terfragmentasi. Namun juga kesenjangan kapasitas dalam sistem penanganan darurat bencana serta ketidakseimbangan dalam menentukan prioritas.

Problema yang mendasari kesenjangan sistemik serta adanya jurang kesetaraan yang curam membuat banyak negara, bahkan termasuk negara yang kaya pun menjadi rentan. Yang pada akhirnya membuat semua negara berisiko.

Kesenjangan tersebut tercermin misalnya dalam distribusi barang publik global yang mendasar untuk penanganan Covid-19 seperti test Covid-19, pengobatan, dan vaksinasi. Data WHO mencatat hampir 2 miliar orang di negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah atau seperempat populasi dunia belum menerima satu dosis pun suntikan vaksin Covid-19.

Ihwal tersebut diperparah oleh fakta bahwa di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, layanan kesehatan pokok, termasuk program imunisasi untuk penyakit mematikan lainnya sangat rendah.

Kondisi tersebut menurut Sri Mulyani, Janet, dan Tedros tidak hanya akan menambah jumlah kematian dan tekanan pada sistem kesehatan. Tapi juga akan memperpanjang pandemi, mengancam pemulihan ekonomi dunia, serta meningkatkan risiko munculnya varian baru dan berbahaya. Di samping juga merusak kepercayaan dan kemampuan negara-negara untuk bertindak sebagai komunitas global yang peduli satu sama lain.

Sebab itu, diperlukan kolaborasi yang lebih kuat, pendanaan yang cukup, dan saling memahami hambatan yang dihadapi oleh masing-masing negara. Dengan adanya kerja sama antarnegara maka upaya vaksinasi global bisa ditingkatkan untuk menghentikan fase akut pandemi saat ini.

G20 dapat meningkatkan koordinasi pembiayaan kesiapsiagaan dan tindakan terhadap pandemi untuk arsitektur keamanan kesehatan global yang lebih kuat.

Urgensi menutup gap

Ibarat penyakit tak dapat sembuh dengan sekali minum obat, demikian pula adanya dengan perkara kesehatan masyarakat. Upaya terbaik yang bisa dilakukan adalah belajar dari pengalaman, baik itu keberhasilan maupun kesalahan.

Sri Mulyani, Janet, dan Tedros sepakat bahwa dunia tidak boleh melewatkan kesempatan untuk menarik hikmah dari pandemi Covid-19. Dunia harus segera merancang langkah antisipatif sebelum terlambat. Agar dampak tragis dari pandemi tidak terulang di masa depan.

Menurunnya kasus Covid-19 di berbagai negara tidak boleh membuat terlena. Pun dengan fokus dunia yang tengah bergeser kepada krisis ekonomi, sosial, dan politik yang eskalatif akibat konflik geopolitik, seyogianya tidak membuat negara-negara mengabaikan potensi risiko kesehatan yang masih berlangsung. Karena virus masih dan akan terus ada.

“Oleh sebab itu penting untuk segera mengatasi kesenjangan yang mendalam akibat Covid-19 pada arsitektur keamanan kesehatan global,” lanjut Sri Mulyani, Janet, dan Tedros.

Untuk itu, atas permintaan G-20, WHO dan Bank Dunia telah menganalisis arsitektur keamanan kesehatan global serta kebutuhan pembiayaan dan gap untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan tindakan terhadap pandemi.

Jumlah gap dalam kesiapsiagaan pandemi diperkirakan sebesar $10 miliar per tahun dalam investasi tambahan, di luar apa yang negara-negara dan mitra-mitra internasional sudah lakukan untuk memperkuat sistem darurat kesehatan.

“Ini adalah harga yang tak seberapa untuk membantu melindungi dunia dari pandemi di masa depan,” catat Sri Mulyani, Jannet, dan Tedros.

Investasi tambahan yang terhitung moderat dan dikoordinasikan untuk penguatan kapasitas keamanan kesehatan global di level nasional, regional, dan global tersebut dapat berdampak signifikan untuk menutup celah utama dalam upaya kolektif mencegah, mendeteksi, dan mengendalikan wabah penyakit. Sehingga bisa mengurangi biaya penanganan pandemi serta dampak ekonomi dan sosial yang lebih luas dari pandemi atau wabah dalam skala besar.  

“Mari hentikan siklus kepanikan saat pandemi melanda dan kelalaian kala pandemi mereda. Menutup gap yang paling kritis dalam keamanan kesehatan global merupakan investasi bagi seluruh masa depan kita,” seru Sri Mulyani, Yalen, dan Tedros pada seluruh negara.

Investasi untuk masa depan dunia  

Pada pembahasan agenda kesehatan global April lalu, G20 telah mencapai konsensus untuk membentuk mekanisme keuangan baru guna mengatasi kesenjangan pembiayaan untuk kesiapsiagaan, pencegahan dan tindakan terhadap pandemi, yang disebut Financial Intermediary Fund atau Dana Perantara Keuangan (FIF). Dana tersebut akan diselenggarakan oleh Bank Dunia, dengan peran sentral pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Dana tersebut merupakan salah satu bagian dari solusi dan akan dirancang untuk melengkapi perbaikan struktural penting lainnya pada sistem kesehatan global setelah pandemi Covid-19. Seperti memperkuat pengawasan dan mekanisme peringatan dini; memprioritaskan penelitian dan kesetaraan terhadap test, pengobatan, vaksin, dan perangkat penyelamat lainnya; serta memperkuat sistem kesehatan negara-negara dalam menghadapi wabah di masa mendatang.

Sri Mulyani, Janet, dan Tedros menilai dana kesiapsiagaan pandemi seperti Dana Perantara Keuangan (FIF) akan mengurangi risiko epidemi dan pandemi di bagian dunia yang paling rentan. Di samping juga akan menyelamatkan nyawa serta mencegah dampak rambatan dalam upaya melindungi masyarakat dan menstabilkan ekonomi.

Selain itu Satuan Tugas Gabungan Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan Negara G20 juga dapat meningkatkan koordinasi pembiayaan kesiapsiagaan dan tindakan terhadap pandemi untuk arsitektur keamanan kesehatan global yang lebih kuat.

Saat ini negara-negara telah memulai proses pengembangan kesepakatan global atau instrumen internasional lainnya untuk memperjelas rencana tata kelola dan akuntabilitas program kesiapsiagaan dan tindakan terhadap pandemi.

Sri Mulyani, Janet, dan Tedros menegaskan pentingnya peran negara G20-yang menguasai 80 persen ekonomi dunia-untuk bertindak bersama seoptimal mungkin dan punya political will yang kuat untuk membangun ketahanan sistem kesehatan global. Di samping juga perlunya dukungan filantropi dan sektor swasta dalam menjalankan upaya tersebut.

“Pencegahan pandemi di masa depan hanya berfungsi jika arsitektur untuk keamanan kesehatan global berjalan gesit dan inklusif. Serta punya kerja sama yang luas lintas negara. Juga punya tata kelola yang diperlukan untuk mendorong tindakan global yang koheren dan terkoordinasi terhadap pandemi,” papar Sri Mulyani, Yelen, dan Tedros.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam siaran pers bersama usai perhelatan pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara G20, di Washington DC (20/04) menyatakan Dana Perantara Keuangan (FIF) yang ditempatkan di World Bank adalah opsi paling efektif untuk mekanisme keuangan baru. Dalam hal ini, untuk memulai proses mendirikan FIF, Presidensi Indonesia perlu mengawal diskusi seputar isu tata kelola dan pengaturan operasional.

Presidensi Indonesia menargetkan mekanisme keuangan baru tersebut dapat terselesaikan sebelum pertemuan tingkat Menteri Kesehatan G20 di bulan Juni. Ini akan menjadi salah satu manfaat nyata dari Presidensi G20 Indonesia, sesuai arahan Presiden Joko Widodo.

 


CS. Purwowidhu
ARTIKEL TERKINI