Paradoks Sumber Daya Alam: Kaya Belum Tentu Sejahtera

5 Mei 2025
OLEH: Ahmad Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Paradoks Sumber Daya Alam: Kaya Belum Tentu Sejahtera
 

Indonesia dikenal sebagai negeri kaya sumber daya alam (SDA). Namun, di balik limpahan batu bara Kalimantan, minyak Sumatera, atau nikel di Sulawesi dan Maluku, terselip ironi: daerah penghasil SDA kerap tertinggal dalam kualitas hidup masyarakatnya. Pertanyaan besar pun muncul—mengapa kekayaan alam tak otomatis berbanding lurus dengan pembangunan manusia? Analisis efisiensi belanja pemerintah daerah untuk dimensi pembangunan manusia (pendidikan, kesehatan, dan hidup layak) pada 34 provinsi di Indonesia sepanjang 2014–2022 menunjukkan bahwa jawabannya terletak bukan pada besar kecilnya dana, melainkan bagaimana uang publik dikelola.

Temuan Kunci

Efisiensi dalam konteks ini bermakna seberapa optimal suatu daerah mengubah belanja yang anggarannya terbatas menjadi hasil yang berdampak nyata. Menggunakan pendekatan stochastic frontier analysis (SFA), hasil analisis menunjukkan rata-rata efisiensi belanja pemerintah daerah untuk angka harapan hidup mencapai 91,14%, IPM 84,24%, ekspektasi lama sekolah 81,17%, dan rata-rata lama sekolah 76,39%. Namun, efisiensi belanja untuk meningkatkan standar hidup layak sebagai proksi kesejahteraan ekonomi justru paling rendah: hanya 58,3%.

Yang menarik, tidak terdapat perbedaan signifikan antara efisiensi belanja di provinsi yang tergolong kaya SDA dan yang tidak. Artinya, meskipun daerah seperti Riau, Kalimantan Timur, atau Papua Barat menerima porsi besar dana transfer bagi hasil SDA, itu tidak membuat mereka lebih efisien dalam membelanjakannya. Sebaliknya, kualitas tata kelola—perencanaan anggaran, kapasitas birokrasi, dan manajemen skala prioritas—menjadi penentu utama hasil pembangunan. Hal ini bisa mengindikasikan risiko “kutukan SDA” pada belanja publik di wilayah Indonesia yang kaya SDA. 

Belanja fungsi pendidikan, misalnya, secara statistik terbukti berdampak signifikan terhadap indikator pendidikan. Namun, efek ini hanya terlihat di daerah yang melakukan perencanaan dan pelaksanaan secara baik. Sebaliknya, belanja fungsi sosial justru menunjukkan korelasi negatif terhadap IPM dan pengeluaran per kapita di banyak provinsi. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan program yang tidak tepat sasaran, terlalu konsumtif, atau terfragmentasi.  

Antara Dana dan Dampak

Temuan ini menyodorkan fakta penting: efisiensi lebih penting daripada besarnya anggaran. Dengan asumsi besaran dana serupa, daerah yang mampu mengelola secara lebih terarah dan transparan akan menghasilkan capaian pembangunan yang lebih tinggi. Maka, tantangan utama kita bukan lagi memperbesar anggaran, melainkan memperbaiki cara membelanjakannya.

Rekomendasi Arah Kebijakan

Pertama, perlu pergeseran paradigma dari anggaran berbasis input menjadi anggaran berbasis hasil (performance-based budgeting). Artinya, keberhasilan bukan lagi dilihat dari tingkat serapan anggaran, melainkan dari dampak terhadap kualitas hidup masyarakat.

Kedua, pemerintah daerah harus memperkuat kapasitas teknokratisnya. Banyak belanja yang tidak efektif terjadi karena lemahnya perencanaan dan evaluasi. Dibutuhkan pelatihan sistematis bagi perencana anggaran, akuntan, hingga pelaksana program.

Ketiga, diversifikasi sumber pendapatan daerah menjadi keharusan. Ketergantungan terhadap pendapatan dari SDA membuat fiskal daerah rapuh terhadap fluktuasi komoditas global. Pendapatan asli daerah (PAD), pemanfaatan aset, dan skema kerja sama pemerintah-swasta (KPBU) harus lebih dikembangkan.

Keempat, pemerintah pusat perlu mendorong benchmarking kinerja antarprovinsi secara terbuka. Dengan mengukur dan membandingkan efisiensi secara periodik, praktik baik dari daerah tertentu bisa direplikasi secara nasional.

Kelima, pelibatan publik dan penggunaan teknologi dalam pemantauan anggaran perlu diperluas. Mekanisme seperti dashboard anggaran, partisipasi masyarakat dalam musrenbang, atau forum warga bisa memperkuat akuntabilitas.

Penutup

Keadilan fiskal tidak cukup hanya diukur dari besarnya transfer dana antarwilayah, tetapi dari kemampuan daerah mengubah uang menjadi kesejahteraan. Jika efisiensi tetap dibiarkan timpang, maka jurang ketimpangan sosial hanya akan melebar. Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Namun, tanpa manajemen publik yang cerdas, kekayaan itu akan habis tanpa bekas. Kini saatnya mengubah cara kita memandang uang publik—bukan sekadar alat belanja, tapi sebagai investasi untuk masa depan manusia Indonesia.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja

 


Ahmad Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai