Perubahan Berkelanjutan

15 Juli 2021
OLEH: Reni Saptati D.I.
Perubahan Berkelanjutan
 

Hingar bingar persiapan kemerdekaan Indonesia sudah berlangsung sejak Maret 1945 melalui dibentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Para tokoh pendiri bangsa melaksanakan berbagai rapat untuk membahas segala hal yang dibutuhkan untuk kemerdekaan bangsa. Dalam salah satu rapat, sang Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat mengemukakan usulan agar pemungutan pajak diatur dengan hukum. Itulah awal mula pajak digagas sebagai sumber penerimaan negara untuk menjaga kedaulatan dan kemandirian bangsa.

Setelah Indonesia merdeka, perpajakan di Indonesia menggunakan sistem peninggalan kolonial Belanda. Bertahun-tahun kemudian, penyempurnaan sistem perpajakan baru dimulai. Pada tahun 1970, Menteri Keuangan Ali Wardhana mengubah tarif pajak pendapatan supaya lebih adil. Ia pun memberi keringanan pajak penjualan, pajak perseroan, dan bea ekspor-impor. Namun, awal mula reformasi perpajakan besar-besaran terjadi pada tahun 1983 ketika Ali Wardhana berhasil menyelesaikan sistem perpajakan baru yang lebih sederhana dan meningkatkan peran serta masyarakat.

Waktu awal 1983, reformasi yang menjadi backbone kita menerapkan self assessment system, mengenalkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan membenahi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kita berubah. Itu revolusioner sekali,” jelas Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal.

Reformasi perpajakan tak hanya berhenti di situ. Perubahan terus terjadi sehingga para punggawa pajak harus dapat beradaptasi. Krisis ekonomi 1998 menjadi titik tolak perubahan berikutnya. Perubahan tersebut terus berlanjut dari waktu ke waktu dan terbagi ke dalam beberapa periode yang kemudian dikenal sebagai Reformasi Pajak Jilid I (2002-2008), Reformasi Jilid II (2009-2014), serta Reformasi Jilid III (2016-2020).

 “Pertanyaannya kemudian, kalau sudah sebanyak itu yang kita lakukan, kenapa masih perlu reformasi lagi? Ternyata masih banyak yang tersisa. Pertama, sistem pajak kita equality-nya belum perfect. Yang kedua, kita melihat PPN sebagai sistem yang berlaku saat ini masih banyak distorsi. Kemudian dari sisi pajak internasional, kita melihat tren ekonomi global berputar dengan sangat cepat. Ada perubahan pola bisnis, digital, dan ada komitmen antarnegara mengurangi base erosion dan profit shifting. Nah, tentu ini membutuhkan langkah-langkah baru lagi,” ungkap Yon panjang-lebar.

               Yon menggarisbawahi, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah kelanjutan dari reformasi yang sudah dilakukan selama ini. “Jadi, bukan ujug-ujug. Ini harus dilihat sebagai suatu gambar yang utuh mulai dari 1983 sampai dengan sekarang. Selalu ada benang-benang merahnya,” tegasnya.

Pemerintah telah menyiapkan reformasi perpajakan periode 2021-2024 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan penerimaan negara.
 

 

Reformasi kebijakan dan administrasi

               Tak perlu diragukan betapa besar dampak pandemi COVID-19 terhadap penerimaan perpajakan. Yon menyatakan penerimaan pajak pada tahun 2020 turun hampir 20 persen dibanding tahun sebelumnya. Capaian penerimaan pajak tahun 2020 tersebut memiliki level yang hampir sama dengan capaian pada tahun 2015.

“Sementara, dari sisi belanja kita mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Ada pos belanja yang tadinya tidak ada di dalam budget, sekarang jadi harus ada, misalnya menyediakan vaksin yang nilainya puluhan triliun, insentif nakes selama pandemi, bantuan sosial di luar bantuan-bantuan yang sudah ada selama ini,” jelas Yon.

Pemerintah melebarkan defisit anggaran agar dapat memenuhi segala kebutuhan di masa pandemi. Namun, upaya untuk membangun kembali fondasi ekonomi Indonesia terus dilakukan, salah satunya dengan memperkuat penerimaan negara. Reformasi perpajakan adalah sebuah langkah penting untuk meningkatkan penerimaan pajak. Indonesia butuh anggaran yang besar untuk memenuhi kebutuhan kesehatan, pemulihan ekonomi, dan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, terutama agar mampu mengembalikan defisit APBN menjadi kurang dari 3 persen pada tahun 2023.

Reformasi pajak, jelas Yon, berfokus pada dua hal, yakni reformasi kebijakan dan reformasi administrasi. Reformasi kebijakan meliputi berbagai upaya dengan tujuan untuk memperluas wajib pajak. Pemberian insentif pajak dilakukan pada sektor bernilai tambah tinggi yang menyerap banyak tenaga kerja dan insentif pajak yang mengikuti dinamika global. Reformasi bidang ini juga diarahkan untuk membuat sistem pajak yang lebih adil.

Sementara itu, reformasi administrasi dilaksanakan dengan harapan dapat menciptakan administasi pajak yang sederhana dan efisien, mengikuti perkembangan struktur ekonomi digital dan transaksi ekonomi, mengikuti tren dan best practices perpajakan global, serta meningkatkan kepatuhan pajak.

Dalam acara peluncuran buku “Cerita di Balik Reformasi Perpajakan” pada 14 Juli 2021, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengakui bahwa sistem administrasi perpajakan memerlukan perbaikan dan perubahan. Ia menyatakan Ditjen Pajak perlu meningkatkan layanan ke Wajib Pajak (WP) karena dinamika disrupsi digital serta perkembangan dan transaksi ekonomi betul-betul sudah luar biasa.

“Dan mustahil, kita tidak mengikuti perkembangan jika kita mengharapkan penerimaan perpajakan meningkat. Ujungnya ada dua, kita melakukan perbaikan dengan harapan besar penerimaan pajak meningkat secara kuantitatif. Di sisi lain, kita harus memberikan layanan yang lebih baik kepada WP, sehingga cost of compliance-nya bisa diturunkan, dan kepatuhan WP akan meningkat,” terang Suryo.

Tetap optimalkan penerimaan

               Meskipun aktivitas ekonomi melambat selama pandemi COVID-19 berlangsung, upaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara di masa pandemi terus dilakukan. Ditjen Pajak menerapkan setidaknya tiga stategi utama. Pertama, memperluas basis pajak. Strategi ini dilakukan dengan memperluas basis pemajakan orang pribadi, mengenakan pajak atas kekayaan, dan mengenakan pajak atas properti. Selain itu, Ditjen Pajak juga mengambil langkah memajaki transaksi digital, menaikkan tarif pajak tidak langsung, serta menerapkan pajak minimum alternatif.

               Strategi kedua, meningkatkan administrasi perpajakan, yakni dengan mempermudah pembayaran dan pelaporan pajak daring serta meningkatkan komunikasi dengan WP. Strategi ketiga, mendukung kerja sama perpajakan internasional, yakni berupa bantuan penagihan antarnegara dan pertukaran informasi.

               Bagaimanapun, penerimaan pajak masih menjadi sumber utama pendapatan negara dalam APBN. Pemerintah telah menyiapkan reformasi perpajakan periode 2021-2024 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan penerimaan negara.

               “Kita melihat dinamika global dan memang membutuhkan perhatian kita yang luar biasa dan menuntut kita untuk terus bergerak melakukan reformasi. Di sisi lain, kondisi pandemi menyebabkan kita juga harus berbenah. Berbenah ini yang kita sebut sebagai konsolidasi fiskal, kembali ke kondisi APBN yang sehat, salah satunya defisit dibuat di bawah 3 persen,” ujar Yon.

Ia menilai terdapat dua kunci utama untuk mencapai defisit di bawah 3 persen. Pertama, menerapkan spending better dalam belanja APBN. Kedua, mengoptimalkan penerimaan pajak. “Inilah yang mendorong kita untuk tetap melakukan reformasi pajak,” pungkasnya.


Reni Saptati D.I.