Menuju Nol Emisi Karbon dengan Energi Surya dari Cirata

16 April 2024
OLEH: Dimach Putra
Foto oleh Irfan Bayu P.
Foto oleh Irfan Bayu P.  

Komitmen Indonesia untuk mencapai nol emisi di tahun 2060 kembali ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya di KTT COP28 Dubai pada Desember 2023 silam. Presiden juga menyebutkan salah satu upaya yang terus dilakukan pemerintahannya adalah dengan terus mendorong dan mempercepat pengembangan transisi energi baru terbarukan (EBT). “Pengembangan energi baru terbarukan terutama energi surya, air, angin, panas bumi, dan arus laut, serta pengembangan biodiesel, bioethanol, dan bioaftur juga makin luas,” tutur Presiden Jokowi dalam pidatonya  di hadapan ratusan delegasi negara lain pada rangkaian World Climate Action Summit (WCAS) COP28 di Dubai.

Cirata.jpg
Foto: Dodi Achmad

Potensi energi surya

Potensi EBT yang dimiliki oleh negara kepulauan kita ini sangat melimpah. Total potensi energinya sebesar 3.686 gigawatt (GW). Ragam sumbernya terdiri dari energi surya, bayu, hidro, bioenergi, panas bumi, dan juga laut. Dari total tersebut, potensi tertinggi dimiliki oleh energi surya yang mencapai 3.294 GW. Saat ini, baru sekitar 0,3 persen saja kapasitas EBT yang telah terpasang di Indonesia, masih menyisakan cukup ruang untuk terus dikembangkan ke depannya.

Salah satu komitmen nyata pemerintah dalam mendukung pengembangan EBT adalah melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga surya apung (PLTSA) Cirata. PLTSA Cirata diresmikan oleh Presiden Jokowi pada November 2023 lalu. Saat diresmikan, PLTSA Cirata menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, menggeser PLTSA sejenis di Singapura. Sekaligus menempatkannya sebagai peringkat ketiga terbesar di dunia.

Sebagai negara kepulauan beriklim tropis, Indonesia diberkati dengan limpahan sinar matahari yang terpancar kuat sepanjang tahun, menjadikannya sumber EBT yang ideal di Indonesia. EBT sendiri merupakan sumber energi yang tersedia dan dapat diperoleh dari alam. Sumber energinya jika digunakan terus menerus, tidak terbatas dan tidak habis saat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Keunggulan lainnya, penggunaannya tidak menghasilkan polusi dan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Pemanfaatan PLTSA Cirata sendiri juga disebut mampu menekan sekira 214 ribu ton emisi gas rumah kaca per tahun.

FotoKecilIPKApr24v2.jpg
Andhanto KM, perwakilan public relations dari PT PLN Nusantara Power (PLN NP). Foto oleh: Irfan Bayu P.

Mimpi panjang yang cepat direalisasikan

Selain menghasilkan energi hijau, keunggulan PLTSA Cirata adalah durasi pengerjaan proyek tersebut yang tergolong singkat. ”Pembangunan infrastrukturnya dimulai di awal 2023 dan telah diresmikan oleh Presiden jokowi pada November 2023 silam,” ungkap Andhanto KM, perwakilan public relations dari PT PLN Nusantara Power (PLN NP). Pengerjaan yang singkat ini terbantu oleh telah tersedianya lahan yang memanfaatkan Waduk Cirata dan memang telah dikelola selama tiga dekade untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Cirata.

Meski pembangunan fisik yang tergolong cepat, penjajakan potensi energi bersih ini telah digadang-gadang sejak lama. Rencana tersebut dimulai di tahun 2012 oleh PT PLN NP yang saat itu masih bernama PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) dengan pengembangan tenaga surya.   Melihat luas permukaan Waduk Cirata yang dikelola mencapai 6.500 hektare, muncul ide untuk memanfaatkan potensi tersebut dengan menggabungkan pembangkit surya di permukaan air. ”Di PLTA Cirata terdapat PLTS 1 MW yang menjadi prototipe PLTS Terapung Cirata ini,” jelas Andhanto.

Belum adanya teknologi yang memadai saat itu membuat wacana tersebut menguap sebatas angan. Angin segar kembali berembus sekira lima tahun kemudian, di tahun 2017, saat Indonesia menjajaki kolaborasi pengembangan EBT dengan Uni Emirat Arab (UEA). Kerjasama bilateral tersebut makin dikukuhkan oleh PT PLN Nusantara Power dengan Masdar, perusahaan energi dari UEA, yang mendasari terbentuknya PT Pembangkitan Jawa-Bali Masdar Solar Energy (PMSE). Adapun kepemilikan saham PT PMSE  dipegang oleh anak perusahaan PT PLN NP yaitu PLN Nusantara Renewables sebesar 51 persen dan Masdar 49 persen.

FotoKecilIPKApr24.jpg
Foto oleh: Irfan Bayu

Berbagai manfaat energi hijau Cirata

            PLTS terapung ini terdiri dari 13 pulau panel surya yang menempati areal permukaan waduk seluas 200 hektare. Panel-panel tersebut mampu menghasilkan energi hijau berkapasitas 192 MWp. Satuan MWp (mega watt peak) menyatakan daya tertinggi yang mampu diproduksi oleh panel surya dipengaruhi kondisi alam tertentu. ”Mengacu ke daya yang dihasilkan (panel-panel surya) ketika matahari bersinar dengan tinggkat penyinaran tertinggi, ” imbuh Kirjono Mudiarto, plant engineer di PLTSA Cirata.

            Lebih lanjut, Kirjono menjelaskan bahwa daya listrik sebesar 20.000 volt yang dihasilkan oleh PLTS Terapung Cirata itu lalu disambungkan ke gardu induk. Saat masuk ke gardu induk, listrik tersebut dapat menaikkan daya hingga 150.000 volt ke transmisi Jawa-Bali-Madura. Jika dikonversikan ke dalam konsumsi rumah tangga, produksi listrik PLTS Terapung Cirata mampu mengalirkan listrik ke 50.000 rumah. Keberadaan panel-panel surya PLTSA Cirata ternyata juga dalam mengurangi penguapan air saat musim kemarau di Waduk Cirata. Hal ini tentu berdampak positif bagi PLTA Cirata yang operasionalnya bergantung pada debit air waduk tersebut.

            Kebermanfaatan PLTSA Cirata juga dirasakan saat proyek strategis nasional ini sedang dibangun. Tak hanya melibatkan Indonesia dan UEA sebagai investor, tapi juga Cina sebagai kontraktornya. ”Sekitar 1400 tenaga lokal terserap dalam pembangunan PLTSA Cirata ini, mulai dari level labor sampai engineer,” ungkap Kirjono. Dalam proses pembangunan hingga awal operasionalnya saat ini terjadi proses knowledge transfer dari ahli-ahli beberapa negara tersebut hingga tak lama lagi dapat sepenuhnya dikelola oleh anak bangsa.

FotoKecilIPKApr24v3.jpg
Foto oleh: Irfan Bayu

Mengoptimalkan potensi energi bersih

            Saat ini, PLTSA Cirata hanya menempati sekitar 4 persen luas permukaan keseluruhan area Waduk Cirata. Saat ini pemerintah sendiri telah meneken peraturan bahwa sebanyak 20 persen areal waduk dapat dimanfaatkan sebagai PLTS terapung. Hal ini tentu menjadi kabar yang menggembirakan, sebagai contoh di Cirata, jika pengembangannya dilanjutkan ke potensi maksimalnya, maka energi yang dihasilkan dapat mengaliri 250 ribu rumah, lima kali lipat dari kapasitasnya saat ini.

            Permintaan energi dari tahun ke tahun tentu akan terus meningkat.  Saat ini saja, Indonesia membutuhkan sekitar 300 TWh dan diproyeksikan meningkat hingga 9.000 TWh di tahun 2050. Namun tentu saja, permintaan tersebut mungkin tidak akan bisa terpenuhi jika terus mengandalkan sumber energi dari bahan bakar fosil yang terbatas. Untuk itu, perlu komitmen dalam melakukan transisi EBT yang hadir menjadi solusi dalam mencegah efek terburuk dari perubahan iklim dan kerusakan alam. Pemerintah sendiri optimis target pencapaian bauran EBT sebesar 23 persen dapat tercapai di tahun 2025 nanti. Pada tahun 2023 lalu, Indonesia berhasil mencatatkan realisasi bauran energi primer dari EBT mencapai 13,1 persen atau 238,1 juta barel setara minyak (MBOE).

            Ucapan Presiden Jokowi pada COP28 di Dubai kembali menjadi pengingat bagi negara ini dalam mencapai nol emisi karbon sebelum tahun 2060. Tentu target ini selaras dengan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Presiden menekankan pentingnya membangun Indonesia yang makmur dengan perekonomian inklusif, salah satunya lewat komitmen di bidang lingkungan dan pemanfaatan energi yang berkelanjutan.

 


Dimach Putra