AIFED 2023: Kalibrasi Strategi di Tengah Fragmentasi

13 Desember 2023
OLEH: CS. Purwowidhu
AIFED 2023: Kalibrasi Strategi di Tengah Fragmentasi. Foto oleh Firman Akhmadi H.
AIFED 2023: Kalibrasi Strategi di Tengah Fragmentasi. Foto oleh Firman Akhmadi H.  

Mengkalibrasi ulang strategi pembangunan di tengah dunia yang semakin terfragmentasi sangat krusial untuk didiskusikan saat ini. Demikian disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara 12th Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) yang diselenggarakan oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan di Nusa Dua, Bali, Rabu (6/12/2023).

Transformasi signifikan dalam lanskap global semakin nampak di lima tahun belakangan. Pergeseran kekuasaan, aliansi, dan tensi geopolitik mempengaruhi kebijakan berbagai negara. Dinamika geopolitik ini turut berimplikasi pada perekonomian dunia.

Sejak krisis keuangan tahun 2018 banyak negara menjadi lebih berorientasi ke dalam (inward looking). Kebijakan tersebut semakin menguat di tengah dinamika global yang terus berlanjut. Diawali dengan masa pandemi Covid-19. Lalu disusul meletusnya perang Rusia-Ukraina yang memicu percepatan inflasi tinggi negara-negara maju dalam kurun waktu cukup panjang yang kemudian membawa efek rambatan kepada negara-negara berkembang. Situasi dunia selanjutnya diperparah dengan memanasnya hubungan Amerika Serikat (AS)-Tiongkok. Tak berhenti di situ, dunia juga masih harus dihadapkan dengan pecahnya perang Israel-Hamas pada awal Oktober 2023.

Berbagai guncangan global tersebut berimbas pada munculnya fragmentasi dalam konstelasi geopolitik dan ekonomi. Fragmentasi dalam perdagangan global memicu disrupsi rantai pasok karena negara-negara barat cenderung beralih kepada kerja sama ekonomi regional atau bilateral (dari on-shoring menjadi friend-shoring). Negara-negara menjadi lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya dan memandang negara di luar kelompoknya sebagai musuh.

Perang dagang dalam bentuk hambatan perdagangan dan investasi di banyak negara semakin memperparah disrupsi rantai pasok. Perdagangan bebas tidak lagi berlangsung sebagaimana mestinya. Alih-alih saling menguntungkan, perdagangan global saat ini lebih bersifat rivalitas (win and lose).

Lebih lanjut, Sri Mulyani menerangkan bukan hanya tensi geopolitik, isu keamanan, dan sikap proteksionisme yang mengancam kerja sama multilateral, namun juga perang teknologi menjadi fenomena yang mempengaruhi percaturan global.

Sebagai contoh, munculnya fenomena techno-nationalism di mana terjadi persaingan antarnegara untuk menjadi yang paling maju dalam pemanfaatan teknologi. Termasuk terjadinya pembatasan transfer teknologi ke negara lain dan pengendalian ekspor barang-barang berteknologi tinggi.

Segregasi pun semakin masif terjadi berdasarkan geografi, kedaulatan, etnis, ras, agama, dan sekarang juga terpecah oleh kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI), karena semua orang dipisahkan oleh kategorisasi yang dilakukan oleh AI.

“Situasi (dunia) terfragmentasi. Tidak lagi mengglobal, tidak lagi mengakomodasi aspirasi bahwa kita berbagi satu planet, satu dunia, satu kemanusiaan,” ujar Sri Mulyani.

Posisi Indonesia

Menkeu menjelaskan fragmentasi global yang kemudian mendorong bangkitnya nasionalisme dan populisme membawa tekanan besar bagi kebijakan fiskal. Karena pada akhirnya, fiskal atau APBN di suatu negara merupakan refleksi aspirasi rakyatnya. Sehingga sentimen terhadap nasionalisme dan populisme akan tercermin dalam kebijakan fiskal yang diambil.

Kebangkitan nasionalisme di berbagai negara telah menimbulkan ancaman bagi masa depan multilateralisme. Fragmentasi global yang semakin masif mendorong turunnya tingkat kepercayaan antarnegara serta friksi antara kepentingan nasional dan global.

Di tengah tantangan dinamika global tersebut, Menkeu menyampaikan Indonesia akan terus memainkan peran konstruktif.

“Sesuai dengan konstitusi, kami akan terus memainkan peran konstruktif dengan memastikan bahwa dunia akan terus dibangun berdasarkan perdamaian, kedaulatan, dan kesetaraan,” ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengatakan posisi Indonesia sangat baik di tengah situasi geopolitik saat ini. Hal tersebut bukan hanya karena prinsip politik internasional Indonesia yang bebas aktif. Namun, juga karena Indonesia diberkati dengan sumber daya alam yang berperan penting dalam konstelasi geopolitik dan geostrategis ini.

Program hilirisasi industri mendorong percepatan transformasi ekonomi dan memperkokoh fondasi ekonomi Indonesia. Sehingga perekonomian Indonesia lebih resilien terhadap guncangan global, baik dari sisi neraca perdagangan maupun neraca transaksi berjalan.

Pembangunan smelter misalnya menjadi salah satu contoh upaya Indonesia dalam membangun industri mineral yang memiliki nilai tambah tinggi.

Vice President Asian Development Bank (ADB) Scott Morris mengungkapkan hal serupa. Menurut dia fokus hilirisasi industri yang dilakukan pemerintah saat ini berpotensi besar dalam menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ke depan, adaptasi terhadap peningkatan permintaan terkait green economy akan menimbulkan tantangan tersendiri bagi model pertumbuhan. Namun, di sisi lain juga akan membuka peluang investasi baru.

Langkah Indonesia meluncurkan country platform mekanisme transisi energi pada G20 summit tahun 2022 misalnya, menunjukkan komitmen Indonesia dalam mempercepat transisi energi.

“Transisi energi global akan memacu peningkatan kebutuhan sumber daya primer seperti nikel, litium, dan energi terbarukan. Hal tersebut memberi peluang yang sangat menjanjikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar Scott Morris.

Di samping itu, menurut Scott Morris reformasi struktural yang dilakukan pemerintah secara bertahap untuk memperbaiki iklim investasi dan menciptakan lapangan kerja sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pada kesempatan yang sama, Profesor University of California-Berkeley Barry Eichengreen mengungkapkan di tengah rekonfigurasi perdagangan dan keuangan global, negara-negara di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Amerika Latin berpeluang besar meningkatkan pangsa ekspor, di mana peluang lebih besar dimiliki oleh Asia Tenggara.

Sebagai contoh, Meksiko telah melampaui Tiongkok sebagai sumber impor AS. Sementara itu, AS mengimpor lebih banyak dari Kanada, Meksiko, Taiwan, Vietnam termasuk Indonesia. Kondisi ini juga juga mendorong peningkatan pangsa ekspor Asia ke AS.

“Negara-negara dengan ekosistem perdagangan, industri dan investasi yang kuat berpotensi menarik peluang relokasi dari Tiongkok. Sementara, negara yang tidak siap berisiko terdampak perlambatan pertumbuhan global karena fenomena ini,” tutur Barry.

APBN: shock absorber

Kebijakan fiskal atau APBN terbukti efektif sebagai peredam guncangan. Di tengah gejolak global yang datang bertubi-tubi, perekonomian Indonesia mampu tumbuh di kisaran 5% dalam delapan kuartal terakhir.

“Kami menggunakan alat fiskal kami secara responsif namun penuh kehati-hatian. APBN Indonesia selalu menjadi instrumen strategis yang andal dan signifikan dalam menanggulangi berbagai guncangan global maupun domestik. Dengan respons kebijakan fiskal yang hati-hati dan tepat waktu, kami dapat terus menstabilkan perekonomian. Namun pada saat yang sama juga menjaga keberlanjutan fiskal” papar Sri Mulyani.

Bahkan konsolidasi fiskal telah berhasil dilakukan pasca pandemi Covid-19. Saat ini, Menkeu melanjutkan, keseimbangan fiskal Indonesia tercatat lebih baik dibandingkan negara berkembang dan negara maju lainnya. Begitu pula dengan rasio utang terhadap PDB Indonesia, masih terkendali di level 37,68% per Oktober 2023. Rasio utang tersebut masih jauh lebih rendah dari batasan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara yang sebesar 60% dari PDB.

Sementara itu, Scott Morris mengakui ketangguhan ekonomi Indonesia. Dia mengatakan ADB memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5% pada 2023 dan 2024.

Scott Morris lanjut mengungkapkan tantangan global termasuk Indonesia terutama datang dari tensi geopolitik, tingginya suku bunga, dan perubahan iklim yang kian nyata. Sehingga kalibrasi dan harmonisasi kebijakan perlu dilakukan.

Ke depan, untuk mencapai goal menjadi negara berpenghasilan tinggi di 2045, Scott Morris berpandangan pertumbuhan ekonomi Indonesia harus melebihi periode pra pandemi Covid-19 yang rata-rata mencapai 5,3%. Kementerian PPN/Bappenas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang nasional (RPJPN) 2025-2045 memperkirakan PDB Indonesia perlu tumbuh rata-rata di atas 6% tiap tahun.

Adapun untuk melanjutkan visi menjadi negara berpenghasilan tinggi, Menkeu menyampaikan pemerintah terus berfokus pada hal-hal prioritas dalam membangun landasan yang tepat dan kuat menuju Indonesia Maju.  

Di samping itu, kinerja baik APBN akan terus dijaga keberlanjutannya karena APBN menjadi modal utama dalam menghadapi risiko guncangan di masa kini maupun masa yang akan datang.

“Kita akan terus menggunakan instrumen fiskal kita, merumuskan kebijakan fiskal untuk mengatasi guncangan jangka pendek maupun jangka panjang. Dan pada saat bersamaan juga melanjutkan perjalanan kita menuju negara berpenghasilan tinggi,” jelas Sri Mulyani.

Karena itu, Indonesia berkomitmen melaksanakan reformasi struktural untuk meningkatkan daya saing di tingkat dunia melalui pembangunan infrastruktur, perbaikan kualitas sumber daya manusia, dan penguatan institusi. Termasuk melanjutkan implementasi omnibus law cipta kerja, harmonisasi perpajakan, dan harmonisasi keuangan pusat dan daerah.

“Kebijakan yang baik adalah tanggung jawab kita, institusi yang baik juga merupakan tanggung jawab kita, keberhasilan bergantung pada bagaimana kita bersikap,” pungkasnya.


CS. Purwowidhu