Angin Segar Mengurangi Emisi Karbon

1 November 2021
OLEH: Dara Haspramudilla
Angin Segar Mengurangi Emisi Karbon
 

Ancaman perubahan iklim menjadi salah satu tantangan global yang dihadapi Indonesia dan berdampak bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Maka, bangsa ini harus mempersiapkan diri dalam menghadapi ancaman perubahan iklim. Oleh sebab itu pula, dalam desain pemulihan ekonomi dimasukkan juga target untuk memulihkan ekonomi secara jauh lebih berkelanjutan dengan jumlah emisi karbon lebih rendah.   

Bentuk komitmen Indonesia dalam mengendalikan dan menurunkan emisi secara Global melalui Paris Agreement Goal dan komitmen Nasional melalui  UU No. 16 Tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement, dimana kebijakan tersebut Indonesia untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) yang ditetapkan yaitu dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dari BaU atau 41% mendapat dukungan internasional pada tahun 2030.

 Menurut Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, saat ini di beberapa negara yang telah mengimplementasikan atau menerapkan carbon pricing, carbon pricing sendiri ada dua jenis yaitu Carbon Tax dan Emission Trading System (ETS). ETS dan Carbon Tax baik salah satu maupun keduanya sudah mulai diterapkan di berbagai negara di dunia. Saat ini di Indonesia, carbon tax telah ditetapkan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Jadi dapat kita sampaikan definisi carbon tax atau pajak karbon setiap ton emisi yang dihargai dengan sejumlah uang yang ditentukan oleh pemerintah dan dikenakan kepada poluter berupa orang atau badan usaha yang meng-emit polusi dengan sejumlah emisi karbon yang nantinya diterapkan pajak yang menjadi tanggung jawabnya,” jelas Chrisnawan.

Sebagai negara emerging yang pertama kali menggerakkan pajak karbon, Moh. Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, menilai Indonesia telah mengambil langkah yang sangat berani.

“Saya rasa ini langkah yang sangat berani bagi Indonesia karena dibandingkan dengan developing countries yang lainnya, Indonesia termasuk negara yang emisi karbonnya tinggi dan cenderung tidak green. Jadi ketika kita memulai ini, yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana kita bisa berkomitmen dan tidak hanya melihat hanya pajak karbonnya, tetapi juga menitikberatkan pada pembangunan rendah karbonnya,” ucapnya.

 

Pajak karbon untuk pembangunan ramah lingkungan

Menurut Faisal, pajak karbon harus diletakkan pada konteks untuk pengendalian pembangunan sehingga arahnya lebih ramah lingkungan dan rendah karbon.

“Pajak karbon adalah tool untuk mencapai satu tujuan, yaitu pembangunan yang lebih ramah lingkungan, yang lebih rendah karbon. Sehingga kalau kita kaitkan nanti dengan pertumbuhan ekonomi, ini diharapkan bisa meningkatkan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih sustainable, berkelanjutan, karena pembangunan ekonominya memperhatikan aspek lingkungan, memperhatikan daya dukung lingkungan, sehingga daya dukung lingkungan itu tidak mengalami penurunan karena eksploitasi akibat aktivitas ekonomi. Maka, implementasi pajak karbon harus mengikuti peta jalan yang komprehensif dan mengarah ke target-target penurunan emisi karbon,” imbuhnya.

Menanggapi hal tersebut, Chrisnawan menyatakan “Penerapan dari roadmad yang telah disusun, pada tahun 2021 masih dilakukan percobaan. Untuk saat ini, sesuai dengan UU HPP pajak karbon yang diperjualbelikan Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Saat ini dilakukan bertahap dan semakin diperketat hingga nantinya diterapkan secara full. Pertama perlunya penentuan cap diperketat, yang tadinya 0,9 harus turun sehingga efektif diterapkan oleh badan usaha. Pilihannya antara badan usaha membayar pajak melalui pajak karbon atau membeli karbon dari pihak lain. Bisa juga memilih untuk mengubah badan usaha misalnya PLTU kemudian mengembangkan pembangkit EBT,” terangnya.

Menurut Chrisnawan, pemerintah menargetkan implementasi pajak karbon pada sektor ketenagalistrikan ditargetkan berlaku secara penuh di tahun 2025 melalui bursa karbon.

“Hal ini dilakukan juga dengan memperluas sektor pajak, yaitu pajak karbon secara bertahap dan bergantung pada kesiapan setiap sektor. Hal Ini merupakan langkah yang menurut kami baik karena di satu sisi setiap badan usaha yang melakukan polluter ataupun emitter memiliki konsekuensi untuk berkontribusi membayar sesuatu hal yang menyebabkan dunia ini semakin berpolusi,” tambahnya.

 

Pajak Karbon dorong EBT

Pemanfaatan pajak karbon nantinya juga akan diberikan untuk pembiayaan menuju transisi energi ataupun pemanfaatan energi baru terbarukan.

“Kebijakan pajak karbon ini juga dilaksanakan sebagai upaya dalam mengidentifikasi pencapaian energi yang lebih bersih. Pendanaan tersebut juga nantinya bisa digunakan untuk pengembangan energi bersih ataupun EBT (energi bersih terbarukan) ataupun sebagai instrumen untuk mitigasi emisi,” ujar Chrisnawan.

Senada, Faisal menyampaikan bahwa pajak karbon harus digunakan untuk investasi yang mengarah pada pembangunan rendah karbon.

“Kita tahu pembangunan rendah karbon ini butuh biaya yang besar. APBN saja tidak cukup, harus ada kontribusi swasta juga. Jika menggunakan APBN, dengan pajak karbon, artinya harus dipastikan penerimaan yang didapatkan dari pajak karbon itu memang betul diarahkan nanti untuk investasi pembangunan rendah karbon, (misalnya) membiayai program-program pembangunan rendah karbon, membiayai peremajaan yang sekarang masih kurang, membiayai bentuk sirkular ekonomi, dan membiayai energi baru terbarukan,” ujarnya.

Penerapan pajak karbon dapat mendorong  pelaku ekonomi untuk beralih ke aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon (foto: Semen Padang)

Pajak Karbon instrumen ubah perilaku

Penerapan pajak karbon ini juga merupakan salah satu upaya untuk dapat mendorong perubahan perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih ke aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.

“Harapannya mulai terbentuk kesadaran dan pergeseran sistem. Mereka beralih dari aktivitas yang tadinya membangun PLTU, akan lebih diarahkan ke pengembangan EBT. Jadi ini merupakan salah satu instrumen untuk mengubah perilaku badan usaha untuk beralih ke energi yang lebih bersih,” terang Chrisnawan.

Perubahan perilaku ini menurut Faisal juga bergantung pada alternatif sumber energi yang bisa digunakan serta switching costnya.

“Jadi dia akan mengubah atau tidak perilaku, itu bergantung pada alternatif ada atau tidak, lalu switching costnya mahal atau tidak. Jika mahal, mungkin saja tetap akan pakai batubara, tapi dia bayar pajak karbon. Artinya akan meningkatkan biaya produksinya dengan menambah bayar pajak. Namun, jika switching cost murah, tetap akan berdampak sama terhadap biaya produksinya yang juga akan meningkat karena ada switching cost. Jadi, pelaku usaha diperkirakan akan menimbang-nimbang besaran switching cost atau lebih baik bayar pajak karbon,” ungkap Faisal.

Perhatikan dampaknya terhadap pemulihan

Menurut Faisal, konsekuensi penerapan pajak karbon yang berdampak terhadap perekonomian perlu menjadi perhatian. Saat ini, Indonesia sedang ingin mencapai pemulihan yang lebih cepat. Untuk itu, pajak karbon jangan sampai berdampak dan menahan pemulihan ekonomi kita khususnya terhadap sektor menengah dan kecil. Masyarakat menengah bawah merupakan yang paling rentan terhadap kenaikan harga dan cenderung sulit untuk pulih dari krisis dibanding konsumen kalangan menengah dan atas.

“Di satu sisi kita memang ingin menuju ke pembangunan yang lebih sustainable, tapi kita juga paham dengan realita sekarang bahwa ada dampaknya terhadap perekonomian. Nah yang kita harus jaga adalah jangan sampai kemudian ini backfire terhadap pemulihan ekonomi karena kita baru saja melewati krisis. Jika nantinya pajak karbon ini berdampak pada spending energi, maka kalangan berpendapatan rendah akan merasakan burden dari pajak karbon, dan itu yang harus menjadi konsideran dalam penerapan pajak karbon,” terangnya.      

Namun, Chrisnawan menggaris bawahi bahwa penerapan pajak karbon akan mengedepankan prinsip keadilan dan keterjangkauan dengan tetap memperhatikan iklim berusaha dan masyarakat kecil.

“Pajak karbon akan dilakukan dengan menekan cap and trade, jadi pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM menerapkan cap. Klasifikasi dan penetapan nilai CAP sudah diatur di dalam Peraturan Menteri ESDM No  9 Tahun 2020 tentang Efisiensi Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero). Ketentuannya adalah jika Badan Usaha lebih dari pada cap, belum dikenakan tax dulu, badan usaha bisa membeli karbon dari yang badan usaha lainnya. Apabila tidak ada jual beli, maka badan usaha akan dikenakan tax,” tuturnya

Lihat juga Wawancara Eksklusif Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang Upaya Pengendalian Perubahan Iklim