Bersua Cinta di Kediri

9 Oktober 2023
OLEH: Susandijani dan Mohamad Ikhwan Maulana
J.B. Sumarlin berfoto bersama keluarga tahun 1972. Foto dari dokumentasi pribadi.
J.B. Sumarlin berfoto bersama keluarga tahun 1972. Foto dari dokumentasi pribadi.  

Cintanya tumbuh di Kediri. Tapi perjuangan mewujudkan keluarga impian tak mudah. Rumah pun awalnya harus menumpang. Sudarmi namanya. Anak satu-satunya keluarga Soepadi Kartorahardjo asal Madiun, inilah yang kemudian diperistri Sumarlin. 

Ketika akan pindah ke Jakarta pada 1951, Sumarlin yang saat itu berusia 19, sowan ke rumah sang tante di Kediri. Tak sengaja, bertaut mata dengan sang gadis, yang kebetulan juga sedang bertandang ke tempat yang sama. Gadis berusia 16, ini bernama lengkap Theresia Sudarmi. Sejak sang ayah pensiun sebagai Kepala Stasiun Kereta Api di Bangil, dia menetap di Wlingi.

Pertunangan dilakukan pada Mei 1958, sebelum Sumarlin berangkat ke Amerika Serikat mengambil jenjang master di University of California. Kemudian mereka menikah pada 1961 di Gereja Santo Yohanes, Blitar, setelah studinya selesai. Meski sudah menyandang master dari luar negeri, Sumarlin saat itu belum punya rumah. Akhirnya, pengantin baru itu menumpang di paviliun koleganya sesama dosen, yaitu Njoo Tjian Bik atau Sanyoto Subekti yang sedang studi di Amerika Serikat.

J.B. Sumarlin bergambar bersama istri th1979. (Foto: Perpunas)

Hal itu diceritakan anak sulung Sumarlin, Ignatius Widyantoko. Sosok yang biasa disapa Widy, ini lahir pada akhir 1962. "Tak lama, Bapak harus berpindah lagi, karena yang punya rumah sudah selesai sekolahnya. Bapak pindah ke rumah dinas dosen UI di Radio Dalam," ungkap Widy. Rumahnya masih kosong. Jadi, kisah Widy, Bapak meminjam uang dari UI untuk membeli perabotan bekas.

Kondisi saat itu memang sulit. Bahkan, ketika Widy lahir, Sumarlin terpaksa menjual kamera dan stereo system yang dibelinya waktu belajar di Amerika Serikat. Lalu menjual mesin tik ketika anak kedua, Sylvia Efie Widyantari, lahir pada November 1963. Untuk menambah penghasilan, Sumarlin juga menjadi dosen terbang ke sejumlah perguruan tinggi. Selain di beberapa kampus di Jakarta, Sumarlin mengajar di Palembang dan Banda Aceh. 

Anak ketiga, Antonius Widyatma, lahir di Amerika Serikat, pada Juni 1967, ketika Sumarlin mengambil program PhD di Pittsburgh. Namun ketika kembali ke Indonesia, tak ada rumah yang bisa ditempati. Terpaksa, Sumarlin mengambil keputusan untuk mengirim istri, Efie dan Antonius ke keluarganya di Wlingi, Jawa Timur. Sementara, si sulung menemaninya di Jakarta. Mereka tinggal di paviliun rumah Komisaris Besar Polisi Suparto, di jalan Maluku 18, Jakarta.

Menurut Widy, paviliun memanjang ke arah dalam, sekitar tujuh meter. Selain Sumarlin dan Widy, di sana ada 15 orang lainnya yang turut menumpang. "Saya tidur dengan mereka,” kenang Widy. Sosok yang mirip sekali dengan sang ayah ini, mengaku bahwa pada 1967 itu dia setiap hari berjalan kaki ke sekolahnya yang ada di Jalan Lombok. Mereka baru bisa berkumpul kembali dengan keluarganya pada tahun 1969, setelah mendapat rumah dinas di Kompleks Perumahan Departemen Keuangan, Durentiga, Jakarta Selatan.

Sumarlin memiliki lima orang anak. Anak keempat dan kelimanya lahir di Jakarta. Fransiskus Widyanata, lahir Februari 1969, lalu si bungsu Kristina pada Juli 1970. Selanjutnya rumah pun berpindah mengikuti jabatan yang diembannya. Terakhir di kompleks menteri di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan. 

J.B. Sumarlin berfoto bersama keluarga setelah pelantikannya menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional 19 Maret 1983. (Foto: Dok. Pribadi)

Kompak Mengurus Anak

Menurut anak ketiganya, meski sang ayah sudah menjadi pejabat negara, ibunya masih tetap bekerja sebagai guru, juga menjahit. Nyaris tak ada yang berubah, hingga Ibu Tien Soeharto datang ke rumah mereka. "Ibu membeli kain di pasar, biasa menjahitnya di rumah. Termasuk menjahit gorden-gorden," ungkap Antonius. "Lalu Ibu Tien datang dan berbicara dengan ibu. Barulah ibu ikut kegiatan kantor Bapak," lanjutnya.

Menurut Antonius, Ibu bapaknya terlihat kompak di mata anak-anaknya.  Kalau sang bapak menjadi menteri keuangan di pemerintahan. Di rumah, yang menjadi menteri keuangan adalah sang ibu. “Bapak dompetnya diisi ibu,” ujar Antonius. Saat senggang, kedua orang tuanya sering melakukan kegiatan bersama. Olahraga, nonton wayang atau nonton Gending Jawa di TVRI. “Jadi jika masyarakat bilang TVRI perekat bangsa, bagi kami TVRI perekat cinta ibu dan bapak,” ujar Antonius sambil tertawa.

Apalagi jika di TVRI ada pagelaran wayang kulit atau gending Jawa. Mereka biasanya bernyanyi bersama. "Bahkan sambil bergandengan, loh”, tambah sosok berputra satu ini. Saking menikmatinya, anak-anaknya tak berani melintas di depan mereka saat menonton tayangan tersebut. “Mereka bisa protes,” kata Anton mengenang kejahilannya yang suka mengganggu sang ayah. 

Sumarlin dan sang istri sepertinya diam-diam memberikan teladan memelihara cinta dalam keluarga. Mereka tak pernah terlihat bertengkar. Bahkan sampai akhir hayatnya, Sumarlin tetap mengenang sang kekasih. Ketika menghadap Sang Pencipta pun, Sumarlin meminta anak keduanya, Efie merapikan rambutnya dan memakaikannya batik warna pink. “Biar ganteng ketemu ibu,” ujarnya kepada sang anak.


Susandijani dan Mohamad Ikhwan Maulana