Bintang di Jagoi Babang

1 Maret 2021
OLEH: Aditya Wirananda
Bintang di Jagoi Babang
 

Jagoi Babang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Lokasinya sekitar 250 kilometer di sisi utara kota Pontianak. Dari Pontianak, butuh waktu setidaknya enam jam melalui jalur darat untuk tiba di Jagoi Babang. Sedangkan untuk menuju titik nol perbatasan Indonesia-Malaysia, dari Jagoi Babang hanya perlu menempuh jarak sejauh 2,5 kilometer. Bahkan, dengan pusat kota Sarawak di Malaysia, kecamatan ini hanya berjarak sekitar 50 kilometer atau dapat ditempuh kurang dari dua jam perjalanan.

Menanggapi Situasi

Faktor geografis seperti ini, ditambah pembangunan wilayah yang belum setara dengan yang terjadi di Jawa, tak bisa dihindari berdampak pada kebiasaan masyarakat setempat. Sejak dulu, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka lebih menyukai berbelanja ke wilayah Malaysia alih-alih ke kota terdekat di wilayah Indonesia. Kebiasaan ini, seiring perkembangan zaman, memunculkan risiko masuknya barang-barang ilegal ke dalam negeri.

Junanto Kurniawan, Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean C (KPPBC TMP C) Jagoi Babang mengatakan, "Kalau kita lihat, perbatasan (negara) di Kalimantan Barat ini sepanjang 990 kilometer," ia melanjutkan, "dan ini berpotensi (menjadi area) pemasukan barang-barang ilegal." Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) merespons situasi ini dengan memperkuat pengawasan di wilayah-wilayah tersebut. Pada 2018, KPPBC TMP C Jagoi Babang resmi dibuka. Sebelum 2018, kantor ini telah ada kendati hanya sebagai kantor tingkat pratama di bawah koordinasi KPPBC Sintete.

Kehadiran KPPBC TMP C Jagoi Babang tidak serta merta disambut baik oleh masyarakat setempat. Bahkan, ketidaknyamanan masyarakat sempat diekspresikan menjadi kekerasan kepada pegawai KPPBC TMP C Jagoi Babang. Pada 2015 saat kantor ini masih setingkat kantor pratama, usai adanya penindakan terhadap barang, KPPBC TMP C Jagoi Babang diserang sejumlah oknum masyarakat. "Mereka menganggap bahwa perdagangan yang mereka lakukan selama ini dari (sejak) nenek moyang mereka adalah sesuatu yang biasa. Begitu ada bea cukai, dianggap sebagai penghambat," ujar pria kelahiran Malang ini.

Melalui berbagai upaya, salah satunya dengan komunikasi yang intens dengan para pemimpin adat dan masyarakat, saat ini situasi telah jauh membaik. Bahkan belakangan, KPPBC TMP C Jagoi Babang juga mengadakan pelatihan Bahasa Inggris dan komputer bagi masyarakat setempat. Pelatihan ini selain sebagai upaya menjaga hubungan baik, sekaligus juga untuk meningkatkan keterampilan masyarakat.

Perdagangan Barang Bekas

Salah satu hal yang menjadi perhatian Junanto adalah keberadaan Pos Lintas Batas Negara yang belum memadai karena masih bersifat darurat di Jagoi Babang. Hal ini secara tidak langsung membentuk paradigma di masyarakat bahwa perdagangan lintas negara adalah hal yang biasa saja. Hal berikutnya yang menjadi perhatiannya adalah perlunya edukasi kepada masyarakat terkait perdagangan barang lintas negara. "(Untuk) memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa mereka adalah warga negara Indonesia, jadi mereka punya nasionalisme untuk melindungi Indonesia dari serbuan barang-barang ilegal," ujarnya.

Sedangkan untuk penindakan, menurut Junanto, yang paling sering ditindak adalah barang bekas. "Paling banyak itu lelong (barang bekas)," ujarnya. Barang bekas ini memiliki potensi merusak industri tekstil dalam negeri. Selain itu, tindak lanjut terhadap barang bekas ini juga terbilang merepotkan. "Begitu menegah lelong ini, kami pun kesulitan melakukan penyimpanannya. Untuk pemusnahan pun tidak mudah," ujarnya. Umumnya barang-barang bekas ini berupa pakaian, tas, dan aksesoris bermerek.

Selain itu, barang lain yang terbilang sering dilakukan penindakan adalah minuman beralkohol. Junanto mengatakan bahwa mengkonsumsi minuman ini sudah menjadi kebiasaan bagi segelintir masyarakat di Jagoi Babang. "Di sini, minum itu adalah suatu kebudayaan," ia melanjutkan, "ini PR kita mengedukasi masyarakat bagaimana kalau mau minum pun, minum yang legal."

Hal-hal yang Tidak Lazim

Selain lokasi yang perlu banyak usaha untuk mencapainya, dan gejolak sosial yang pernah dihadapi, para pegawai KPPBC TMP C Jagoi Babang juga tidak terlepas dari situasi sosial lain yang tidak lazim dirasakan masyarakat perkotaan. Pertama, permasalahan konektivitas. Junanto mengatakan soal ini merupakan salah satu menu khas di wilayah-wilayah perbatasan. Bahkan masalah konektivitas ini terjadi nyaris di sepanjang wawancara MK+ bersama Kepala KPPBC TMP C Jagoi Babang.

Ihwal lain yang tidak lazim dijumpai di perkotaan adalah keberadaan kantor pemerintah yang sedikit. Instansi pemerintah di Jagoi Babang dapat dihitung jari. Tentu saja karena Jagoi Babang bukan merupakan pusat pemerintahan daerah. Untuk menuju pusat pemerintahan kabupaten Bengkayang saja masih perlu waktu tempuh dua jam perjalanan. "Di sini ada karantina, ada imigrasi juga tapi mereka di sini hanya sebagai pos saja," ujar Junanto. Kantor dengan 42 personel ini menjadi kantor terbesar di Jagoi Babang.

Perkara ketersediaan tempat tinggal, situasi di Jagoi Babang juga tak bisa disetarakan dengan wilayah perkotaan. Tidak mudah cari kontrakan di Jagoi Babang. Junanto mengatakan, "orang-orang di sini tidak terlalu familiar dengan yang namanya ngontrak." Lantas, karena seluruh pegawai adalah pendatang, dan mayoritas adalah pegawai baru, salah satu pilihan terbaik adalah tinggal di kantor. "Beramai-ramai," ia melanjutkan, "kantor kami merangkap sebagai tempat tinggal." Kendati demikian, Junanto mengatakan para pegawai tetap betah tinggal di kantor. "Alhamdulillah karena kami di sini semuanya sebagai keluarga, jadi semuanya betah," ujarnya.