Damai di Sumba

1 Agustus 2022
OLEH: Aditya Wirananda
Damai di Sumba
 

Damai. Bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu makna kata ini adalah rukun, tidak bermusuhan. Dan, bila kita bicara tentang damai, maka kita sedang bicara tentang realitas yang terjadi di Waingapu, kota kecil di pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di kabupaten Sumba Timur.

Kerukunan umat

Mengacu pada rilis BPS tahun 2020, Waingapu dihuni oleh 50 persen umat kristiani, 31 persen muslim, 14 persen katolik, serta 5 persen penduduk yang menganut agama dan kepercayaan lain. Keberagaman macam ini tidak lantas membuat banyak sekat di masyarakat. Nyatanya, keragaman ini justru jadi perekat antarumat di Waingapu. Kepala KPPN Waingapu, Nur Aida, mengamini hal tersebut. Srikandi kelahiran Waingapu itu mengatakan kerukunan seperti itu telah terjadi turun temurun sejak era leluhurnya.

Saking damainya, komunitas keagamaan di kota yang masyhur dengan kuda Sandel ini bahkan rutin menggelar berbagai kompetisi antarumat beragama. Ada banyak hal yang dipertandingkan. Sepakbola, voli, sampai futsal antarumat beragama. Indah, bukan? Soal kerukunan antarumat, kita perlu banyak belajar pada Waingapu.

Letaknya yang berada di pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia mengakibatkan Waingapu lebih rentan bencana. (Sumber Foto: Tino Adi P.)

Rentan bencana

Seolah menjaga keseimbangan, kondisi sosial yang harmonis sayangnya mesti diiringi kondisi geografis yang berkebalikan. Letaknya yang berada di pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia mengakibatkan Waingapu lebih rentan bencana.

Pada 2018, menurut catatan BPS Nusa Tenggara Timur, kabupaten Sumba Timur dihantam 233 bencana alam. Tiga yang paling kerap terjadi adalah banjir, angin kencang, dan gempa bumi. Sedangkan pada 2021 silam, setidaknya ada dua bencana besar yang bikin kerusakan signifikan di Sumba Timur, khususnya Waingapu. Pertama, badai Seroja yang tidak hanya menghantam Waingapu tetapi juga sejumlah wilayah di Nusa Tenggara Timur. Kedua, banjir bandang yang terjadi pada kuartal kedua tahun lalu.

Sehari-hari, para pegawai rutin membangun komunikasi dengan para satuan kerja demi realisasi APBN yang lebih optimal.  (Sumber Foto:(Sumber Foto: Irfan Bayu P)

Komitmen pelayanan

Kendati demikian, takdir geografis ini tak bikin para pegawai Kementerian Keuangan di Waingapu jadi surut semangat melayani masyarakat. Bahkan, saat badai Seroja menerpa, KPPN Waingapu tetap buka. “Tetap buka. KPPN terus melayani,” ujar Nur Aida. Sejumlah pegawai bahkan rela menginap di kantor.

Selain tetap melayani sebagai bendahara umum negara di wilayah itu, KPPN Waingapu juga hadir sebagai saudara. Para pegawai bersama-sama menyalurkan sejumlah bantuan kepada masyarakat sekitar yang terdampak bencana saat itu. “Sekali lagi, (pegawai) Kementerian Keuangan itu sudah terpatri komitmen pelayanan itu,” ujar mantan Kepala KPPN Larantuka ini.

Komitmen pelayanan ini tak hanya sekali waktu meletup. Sehari-hari, para pegawai rutin membangun komunikasi dengan para satuan kerja demi realisasi APBN yang lebih optimal. Nur Aida juga mengatakan bahwa ia dan timnya punya kegiatan yang dinamai pawandang. “Pawandang itu (bagi masyarakat Sumba) seperti undangan untuk melakukan kerja sama, gotong royong untuk hasil yang lebih baik,” ujar Nur Aida.

Melalui pawandang, ia lebih bisa menjalin komunikasi dan pendekatan kepada pimpinan satuan kerja untuk mengoptimalkan realisasi APBN di masing-masing unitnya. Ia mengundang masing-masing pimpinan unit itu secara rutin beberapa minggu sekali. Selain untuk memberikan masukan terkait strategi pengelolaan anggaran, ia juga melakukan pertemuan itu untuk memantau kinerja anggaran secara periodik. “Dan, saya tidak melakukan itu secara resmi. Kita duduk saja, sambil ngobrol, sambil ngopi. Biar nyaman,” ujarnya. “Saya berharap dengan pendekatan seperti itu ada dampak yang siginifikan. Ya, bagaimana kita memastikan dana ini sampai ke masyarakat gitu,” pungkasnya.