Dorong Belanja Berkualitas, Percepat Pembangunan Daerah

16 Juni 2023
OLEH: CS. Purwowidhu
Dorong Belanja Berkualitas, Percepat Pembangunan Daerah
 

Belanja berkualitas menjadi instrumen penting dalam mentransformasi ekonomi Indonesia. Presiden Joko Widodo kerap menginstruksikan agar kualitas belanja dapat terus ditingkatkan. Upaya tersebut dilakukan tidak hanya melalui pengendalian belanja yang lebih efisien dan produktif. Namun, juga berfokus pada kegiatan yang mendukung prioritas nasional, serta menghasilkan efek berganda terhadap perekonomian.

Meski demikian, disparitas kualitas belanja antara pusat dan daerah masih terus terjadi. Kualitas infrastruktur jalan daerah misalnya. Seperti parahnya kerusakan jalan di Provinsi Lampung yang sempat menjadi sorotan publik beberapa waktu lalu, hingga Presiden Joko Widodo pun terjun langsung meninjau ke lapangan pada awal Mei 2023 lalu. Melihat tingkat kerusakan jalan daerah yang tergolong berat dan sudah lama tidak diperbaiki itu, tak ayal pemerintah pusat memutuskan untuk mengambil alih perbaikan jalan tersebut, yang sebenarnya menjadi tanggung jawab daerah.

Khusus untuk Provinsi Lampung, Presiden Joko Widodo mengatakan Pemerintah Pusat akan secara khusus mengucurkan anggaran sebesar Rp800 miliar untuk perbaikan 15 ruas jalan daerah di sana, baik jalan provinsi maupun kabupaten/kota. Pengerjaan perbaikan jalan tersebut menurut Menteri PUPR Basuki Hadi Muljono ditargetkan dimulai pada Juli 2023 mendatang.

Dilansir dari Kompas.com menurut data 2022, Provinsi Lampung memiliki 99 ruas jalan provinsi sepanjang 1.693 km dengan kondisi mantap 77%, serta 6.591 ruas jalan kabupaten sepanjang 17.774 km dengan kondisi mantap 50%. Sementara jalan nasional di Lampung sepanjang 1.298 km dengan kemantapan 95%.

Parahnya kerusakan jalan kabupaten juga kerap kali ditemui di daerah Sumatra lainnya seperti Jambi, Bengkulu, dan Sumatra Selatan.

Menteri PUPR mengatakan Pemerintah akan melakukan percepatan perbaikan jalan daerah sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 tahun 2023 tentang Percepatan Peningkatan Konektivitas Jalan daerah yang telah dikeluarkan oleh Presiden pada bulan Maret 2023. Inpres Jalan Daerah bertujuan menangani jalan-jalan non nasional yang rusak dan meningkatkan kemantapan jalan daerah di seluruh Indonesia melalui bantuan APBN. 

Kondisi jalan yang mantap akan berdampak positif bagi perekonomian nasional dan daerah, menurunkan biaya logistik nasional, serta mengintegrasikan sentra-sentra ekonomi. 

Akselerasi pembangunan infrastruktur memang menjadi salah satu belanja prioritas pemerintah pada tahun 2023 ini, di samping penguatan SDM (melalui peningkatan sektor pendidikan, kesehatan, dan perlinsos), reformasi birokrasi, revitalisasi industri, serta pembangunan ekonomi hijau. Menjelang berakhirnya periode pembangunan jangka lima tahunan (RPJMN 2020-2024), Pemerintah pun semakin menggenjot kinerja belanja negara sehingga masyarakat bisa segera merasakan langsung manfaat pembangunan.

Perbaiki inefisiensi belanja

Hampir sepertiga belanja APBN diperuntukkan transfer ke daerah (TKD) yang bertujuan memperkuat kualitas fiskal daerah dalam mengakselerasi dan memeratakan pembangunan, serta berkontribusi kepada pencapaian target pembangunan nasional. Pada APBN 2023, alokasi TKD mencapai Rp814,72 triliun dari total belanja negara yang sebesar Rp3.061 triliun. Adapun selama ini anggaran TKD masih menjadi penopang utama APBD.

Melansir Antaranews.com, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Luky Alfirman mengungkapkan penyaluran dana TKD per Mei 2023 telah mencapai 35,6% dari total target atau sebesar Rp290,3 triliun, tumbuh 2,1% dibandingkan periode sama di tahun 2022.

Sayangnya, pertumbuhan TKD acapkali tidak diikuti dengan serapan belanja daerah yang optimal. Penyerapan belanja daerah biasanya baru meningkat pada kuartal kedua hingga keempat. Inefesiensi belanja daerah baik dari segi kualitas, produktivitas, maupun kecepatan, menjadi aral dalam percepatan transformasi ekonomi yang diusung pemerintah.

Sebagaimana diberitakan di kemendagri.go.id, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri per 12 Mei 2023, realisasi belanja APBD hingga 30 April 2023 tercatat sebesar Rp215,80 triliun atau baru mencapai 16% dari target. Padahal, menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro seharusnya anggaran belanja pada periode tersebut paling tidak telah terserap 25 hingga 27%.

Suhajar mengatakan realisasi yang masih terbilang rendah itu menunjukkan masih banyaknya anggaran yang belum dibelanjakan oleh pemda. Padahal anggaran tersebut berperan menjadi motor penggerak perekonomian di seluruh Indonesia. 

“(Dari) 1.200 triliun APBD artinya setiap bulan harusnya lebih kurang 80 triliun uang berputar di seluruh Indonesia dari APBD, belum lagi APBN, 80 triliun kali 4 bulan harusnya 340 triliun, sekarang baru 215 triliun berarti masih ada 100-an triliun yang terlambat,” tandasnya.

Peneliti pada Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai ada beragam faktor yang dapat menyebabkan lambatnya realisasi belanja daerah. Misalnya daerah perlu memenuhi batas ambang tertentu yang ditetapkan pemerintah pusat sebagai prasyarat untuk beberapa komposisi atau pos transfer dari pusat ke daerah.

Hal lain yang juga mempengaruhi kecepatan realisasi belanja daerah adalah perubahan petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan transfer pusat ke daerah yang seringkali membutuhkan waktu penyesuaian yang tidak sebentar.

Selain kedua hal tersebut, kecepatan daerah dalam merealisasikan belanja menurut Yusuf juga tidak terlepas dari kurang matangnya perencanaan anggaran yang dilakukan pemda. Hal tersebut mengakibatkan eksekusi anggaran pun kurang optimal.

“Hal terakhir itu menurut saya yang relatif penting. Karena budgeting (penyusunan anggaran) itu prosesnya panjang. Jadi planing (perencanaan), kemudian masalah monitoring evaluasi, hingga mencari solusi dari masalah yang muncul dari proses monitoring evaluasi yang tidak berjalan (secara optimal)  di beberapa daerah. Sehingga ia kemudian menjadi muara lambatnya realisasi belanja di beberapa daerah,” papar Yusuf.

Sementara itu, pemerintah dalam dokumen KEM PPKF 2024 mencatat risiko fiskal daerah masih menjadi salah satu tantangan dalam pencapaian target pembangunan. Dalam hal belanja, masih terdapat potensi risiko penggunaan belanja APBD yang belum sepenuhnya efisien, efektif serta akuntabel dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah. 

Hasil evaluasi menunjukkan porsi realisasi belanja operasional masih mendominasi belanja daerah pada kisaran 58-63%, yang terdiri dari 33-34% belanja pegawai dan 25-29% belanja barang jasa dari keseluruhan belanja daerah. Sedangkan belanja modal hanya berada pada rentang 14-16% dari total belanja daerah. 

Infografis: Tubagus P.

Pola serapan belanja daerah tersebut menunjukkan masih lambannya realisasi, khususnya belanja modal. Dalam lima tahun belakangan, rata-rata realisasi belanja modal sebesar 84,6%, terendah dibandingkan jenis belanja lainnya. Sementara jenis belanja tertinggi adalah belanja lainnya yaitu sebesar 99,1%.

Belanja modal sendiri merupakan instrumen belanja yang signifikan dalam mendukung akselerasi pemulihan ekonomi di masa pandemi dan transformasi ekonomi. Belanja modal yang digunakan untuk program padat karya misalnya bisa mendorong penciptaan lapangan kerja baru sehingga berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi riil. Dalam jangka menengah panjang, belanja modal juga dapat mendorong pemerataan infrastruktur untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah.

Oleh sebab itu, Pemerintah berkomitmen melakukan rekomposisi dan penajaman belanja modal dengan memperhatikan keselarasan antarprogram dan prinsip belanja berkualitas (spending better). Sehingga pengelolaan belanja modal bisa lebih mengungkit pertumbuhan ekonomi dan menyejahterakan masyarakat. 

UU HKPD kunci utama

Untuk mengatasi ihwal perilaku belanja daerah tersebut, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) menjadi solusi utama agar pemda dapat mengeksekusi belanja APBD secara responsif, optimal, dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat di daerah.

Yusuf menambahkan UU HKPD juga akan menyamakan aturan sistem yang bisa digunakan oleh semua pemda dalam melakukan proses pemantauan dan evaluasi dari belanja di daerah. Hal tersebut tentunya akan membantu meningkatkan koordinasi antara pusat dan daerah dalam mensinkronkan kebijakan.

"Menurut saya memang kata kuncinya itu implementasi dari UU HKPD, karena itu menyamakan sistem yang kemudian bisa digunakan oleh seluruh pemerintah daerah sehingga satuan ukuran evaluasinya jelas," tutur Yusuf.

Dalam KEM PPKF 2023 dijelaskan bahwa UU HKPD antara lain mengatur penyusunan penganggaran belanja daerah dengan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu, dan penganggaran berbasis kinerja untuk mengurangi ketimpangan serta mendorong perbaikan kualitas belanja yang efektif dan efisien.

Program pembangunan daerah disusun sesuai prioritas dan kebutuhan daerah dengan tetap sinergis dan sinkron dengan program nasional. Sedangkan alokasi belanja berdasarkan pada target kinerja dan skala prioritas. Serta diterapkannya standar unit cost belanja dan analisis standar belanja dalam penyusunan alokasi belanja daerah.

Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas pengalokasian belanja daerah agar lebih produktif, diatur pengendalian belanja pegawai, penguatan belanja infrastruktur, dan sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) daerah berbasis kinerja. SiLPA merupakan selisih antara defisit anggaran dengan pembiayaan netto.

Adapun belanja pegawai daerah di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD dibatasi maksimal 30% dari belanja APBD. Belanja infrastruktur pelayanan publik wajib dialokasikan paling rendah 40% dari belanja APBD di luar belanja bagi hasil dan/atau transfer ke daerah dan/atau desa. Masing-masing belanja tersebut diberikan masa transisi penyesuaian paling lama 5 tahun ke depan.

Sementara, SiLPA daerah berbasis kinerja diterapkan bagi daerah dengan SiLPA daerah dan kinerja layanan tinggi maka SiLPA dapat diinvestasikan dan/atau digunakan untuk pembentukan Dana Abadi Daerah. Pembentukan Dana Abadi Daerah mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah dan pemenuhan kebutuhan urusan pemerintahan wajib terkait pelayanan dasar publik.

Sedangkan untuk mengakselerasi pembangunan daerah, pemda dapat memanfaatkan pembiayaan utang daerah yang terdiri atas pinjaman daerah, obligasi daerah, dan sukuk daerah dengan tetap mengutamakan prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal.

Selanjutnya, untuk menyelaraskan APBD dengan APBN dalam pencapaian tujuan nasional, UU HKPD juga mengatur tentang sinergi kebijakan fiskal nasional. Sinergi tersebut dilakukan melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah; penetapan batas maksimal defisit APBD dan pembiayaan utang daerah; pengendalian dalam kondisi darurat; dan sinergi bagan akun standar.

Kebijakan pembangunan dan kebijakan APBD harus disinergikan dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), rencana kerja pemerintah (RKP), kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM PPKF), arahan Presiden, dan peraturan terkait dengan sinergi kebijakan fiskal nasional.

Yusuf memandang upaya-upaya dalam mengoptimalkan realisasi belanja daerah tersebut sudah jauh lebih baik dibandingkan sepuluh tahun silam. Khususnya dalam upaya mengurangi dana mengendap di kas daerah (idle cash). Sinergi kebijakan fiskal melalui harmonisasi APBN dan APBD juga menurut Yusuf penting dalam mendukung pemda menyusun perencanaan arah dan strategi pembangunan yang lebih matang dan selaras dengan target pembangunan nasional.

“Saya kira sekarang ini fokus pemerintah pusat dalam membantu pemerintah daerah dalam mendorong realisasi belanja mereka itu sudah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya,” ucap Yusuf.

Yusuf menambahkan untuk menggenjot percepatan realisasi belanja daerah di paruh kedua tahun 2023 pemerintah dapat mengintensifkan proses monitoring dan evaluasi, terutama oleh pemda. Apabila pemda memiliki hambatan dalam merealisasikan belanja tertentu, pemda diharapkan dapat segera berkonsultasi dengan pemerintah pusat.

Kurangi ketergantungan fiskal

Dana Transfer ke Daerah (TKD) saat ini masih mendominasi pendapatan daerah. Yusuf mengatakan semakin besarnya dana TKD menunjukkan fokus pemerintah pusat untuk mendorong pembangunan di daerah semakin baik. Dengan adanya TKD, pemda dapat mendorong belanja-belanja strategis.

“Ini kan tentu bukan tanpa alasan. Karena pemerintah pusat tahu bahwa untuk membangun beragam daerah itu perlu ada alokasi dana yang lebih besar. Nah, di saat yang bersamaan, pemerintah juga perlu tetap berpegang pada asas desentralisasi di mana daerah juga diharapkan bisa menggali sumber-sumber potensinya,” ungkap Yusuf.

Untuk lebih menggali potensi daerah serta mengurangi ketergantungan pemda terhadap TKD, pemerintah melalui UU HKPD juga melakukan penguatan kewenangan pemajakan daerah agar pemda dapat meningkatkan penerimaan asli daerahnya (PAD).

Pengaturan atas restrukturisasi pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) serta integrasi pajak daerah diharapkan dapat mengoptimalisasi pemungutan pajak daerah.

Selain itu, diatur juga skema opsen berupa pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu sebagai pengganti skema bagi hasil. Opsen pajak diterapkan pada pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) yang dipungut oleh pemerintah provinsi, serta Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota.

Sementara itu, terhadap retribusi daerah dilakukan rasionalisasi dalam rangka efisiensi pelayanan publik di daerah dan mendukung iklim investasi serta kemudahan berusaha dengan tetap menjaga PAD.

Di satu sisi, Yusuf meyakini implementasi UU HKPD menjadi kunci dalam menstandarkan sistem pengelolaan fiskal daerah oleh seluruh pemda, sekaligus memperjelas satuan ukuran evaluasi kinerja yang dipakai. Sehingga APBD bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat daerah.

Namun, Yusuf mencermati masa transisi penyesuaian pelaksanaan UU HKPD yang dibatasi dalam kurun 5 tahun, sebaiknya tidak dipukul rata kepada semua daerah mengingat adanya perbedaan kapasitas fiskal masing-masing daerah. Karena itu, pemerintah pusat perlu mengintensifkan asistensi bagi pemda, khususnya yang mempunyai kapasitas fiskal kecil, dalam menggali potensi yang mereka miliki.

"Jadi kalau saya bilang, UU HKPD itu tentu bagus, apalagi untuk mendorong daerah untuk bisa memaksimalkan pendapatan asli daerah mereka. Tetapi sekali lagi menurut saya concern nya adalah kepada daerah-daerah yang punya kapasitas fiskal kecil. Karena di daerah-daerah inilah yang kemudian perlu dilihat apakah kapasitas fiskal kecil itu karena memang di daerah tersebut perekonomiannya itu tidak ada yang bisa diolah untuk men-generate PAD? Atau ada tapi tidak tertangkap oleh Pemda? Fungsi dari pendampingan inilah yang kemudian saya pikir bisa menyempurnakan UU HKPD," pungkas Yusuf. 


CS. Purwowidhu