Mukhanif Yasin Yusuf, Difabel Rungu Inisiator Difapedia dengan Gelar Master Ilmu Sastra dari LPDP

16 April 2024
OLEH: Irfan Bayu
Foto oleh Irfan Bayu.
Foto oleh Irfan Bayu.  

Mukhanif Yasin Yusuf adalah founder Difapedia. Hanif, panggilannya harus merelakan kedua telinganya tidak bisa lagi mendengar riuhnya dunia, ketika dia divonis dokter kehilangan indra pendengarnya saat usianya masih 10 tahun. Dunianya hancur, sempat terpuruk, namun Hanif, panggilannya, berhasil melenting jauh ke atas, setelah keadaan menariknya jauh ke bawah. Difapedia jadi salah satu “hub” untuk teman-teman difabel di daerahnya.

Dari Kota Kecil

Mukhanif Yasin Yusuf adalah seorang pemuda kelahiran Purbalingga, sebuah kota kecil di Jawa tengah. Masa kecil hingga remaja Hanif, panggilan akrabnya, dihabiskan di Karanganyar, salah satu kecamatan di utara Purbalingga. Seperti halnya anak-anak desa pada umumnya, Hanif kecil selalu senang untuk bermain, namun hari itu berbeda. Tanpa sepengetahuan orang tuanya, ia bermain di sungai kecil dekat desanya bersama teman-temannya. Saat sedang berenang, telinga Hanif kemasukan air, dan terasa ada dengungan di telinga. Hanif yang saat itu masih berusia 10 tahun tak berani untuk menceritakan ke orang tuanya. Sedikit demi sedikit dengungan itu menjadikan pendengarannya makin berkurang. Setelah 2 minggu, Hanif sama sekali tak mendengar apapun. Barulah dia memberanikan diri untuk jujur pada orang tuanya. Mereka langsung membawanya ke rumah sakit terdekat, namun sudah terlambat. Pada hari itu Hanif kehilangan salah satu indranya dan membuat hidupnya sunyi dan dingin.

Hanif saat itu berada di kelas 6 SD dan sedang mempersiapkan ujian kelulusannya. Hanif merasa hancur, dia tidak mau bersekolah. Sedih, malu, takut, bercampur jadi satu. Butuh 2 tahun untuknya beradaptasi dan mau kembali ke sekolah lagi.

“Waktu itu karena dipaksa Bapak Ibu saya buat lanjut sekolah lagi. Kata Bapak Ibuku, “kalau kamu tidak sekolah nanti mau jadi apa?” Sampai akhirnya saya menyadari betapa pentingnya arti pendidikan bagi kita. Kalau saya nggak lanjut sekolah, saya nggak bakal bisa sampai sejauh ini,” kenang Hanif.

Hanif lebih suka menyebut dirinya difabel rungu dibandingkan dengan tunarungu.

FotoKecilGenmasApr24v2.jpg
Foto: Dok. Pribadi.

Difabel Rungu di Tengah Sistem Pendidikan

Tidak mudah memang untuk belajar di sekolah di mana hanya dia saja yang memiliki kondisi spesial. Hanif harus belajar lebih keras daripada teman-temannya yang lain. Selain adaptasi dengan kondisinya saat ini, Hanif juga harus beradaptasi dengan perlakuan orang lain padanya. Bullying jadi makanan sehari-hari bagi Hanif. Segala umpatan dan ejekan sudah jadi vitaminnya sejak kecil.

“Cuma karena saya punya prinsip hidup itu kan sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Jawaban itu hanya bisa kita dapatkan dengan menjalaninya. Makanya kita tidak bisa berpaling dari hidup. Anggap saja itu (ejekan) cuma bagian dari warna-warni hidup saja. Karena kalau kita nggak bisa melangkah, kita nggak bisa menemukan jawabannya,” terang Hanif dengan senyum khasnya.

Hanif memang bersekolah di sekolah umum biasa dari SD sampai lulus SMA. Dia membuktikan bahwa dengan kondisinya, Hanif tetap bisa menyelesaikan pendidikannya, walaupun dengan kerja yang lebih keras dari teman-temannya yang lain. Hanif jadi satu-satunya murid dari SD hingga SMA yang memiliki kondisi spesial tersebut.

Hanif sadar jika perjuangannya tidak sendiri, ada orang-orang di sekitarnya yang selalu mendukungnya, seperti orang tua dan teman-teman dekatnya, yang selalu bisa memberi Hanif semangat. “Makanya kalau kita terpaku pada kekurangan kita, maka kita nggak bakal bisa maju. Tugas kita ini memaksimalkan kelebihan kita, meminimalkan kekurangannya,” kata Hanif.

FotoKecilGenmasApr24v3.jpg
Foto: Dok. Pribadi.

Perjuangan Hanif

Tak hanya sekadar menyelesaikan pendidikannya sampai SMA, Hanif juga merupakan salah satu murid dengan prestasi cemerlang. Hobi membacanya yang sudah Hanif gemari sejak di bangku SMP membuatnya mencoba untuk membuat tulisan di SMA. Hingga tulisannya itu pernah dimuat buku antologi saat dia kelas 2 SMA. Hanif menjadi kecanduan membaca dan menulis. Waktu istirahat selalu ia habiskan berada di perpustakaan untuk membaca buku dari novel hingga majalah sastra.

Hanif awalnya tidak terfikir untuk bisa melanjutkan kuliah. Keluarganya bisa dibilang kurang mampu secara ekonomi. Hanif juga bisa SMA karena mendapat beasiswa full dari sekolahnya, sehingga dia bisa gratis menuntut ilmu. Namun berawal dari hobi menulis dan membacanya, keinginan Hanif untuk melanjutkan studi semakin besar. Jurusan sastra Indonesia menjadi incarannya.

Singkat cerita Hanif mendaftar dan lolos untuk berkuliah di jurusan Sastra Indonesia di UGM, Yogyakarta. Ayahnya merasa keberatan, “Bapak saya itu bilang, waktu itu kan saya masuk ke UGM, Bapak saya bilang, “lebih baik kamu berhenti kuliah saja, Bapak enggak sanggup.” Tapi saya jawab “Saya tidak butuh biaya dari rumah. Saya hanya butuh doa saja,” cerita Hanif.

Segala usaha Hanif lakukan agar bisa tetap berkuliah, seperti bersepeda menjual majalah keliling sembari ia mendaftar beberapa beasiswa. Pada semester kedua Hanif bisa bernafas lega. Hanif berhasil mendapatkan beasiswa Bidikmisi dari pemerintah.

Hanif masih menjadi satu-satunya difabel hingga dia berkuliah di jurusannya. Ketika ditanya bagaimana caranya bisa tetap mengikuti jalannya perkuliahan, Hanif sedikit membagi ceritanya.

“Sebenarnya kalau misalnya kita ini kuliah, materi intinya kan udah ada di powerpoint-nya, saya sudah bisa paham. Kalau perubahan, saya bisa tanya ke dosen, terus nanti dosennya ini kan bisa menjawab langsung terus teman sebelah saya mencatatnya (kemudian Hanif melihat catatan teman sebelahnya). Atau kadang-kadang ada dosen bahkan sudah Profesor di UGM menulis jawabannya di papan tulis. Kalau ada materi yang belum saya pahami, saya mencari bahan bacaan di perpus. Jadi orang-orang seperti saya ini harus ada kemauan inisiatif untuk sering-sering baca,” jelasnya.

FotoKecilGenmasApr24v4.jpg
Foto: Dok. Pribadi.

Awal Afirmasi Disabilitas

Dalam masa kuliahnya, Hanif banyak menulis artikel ilmiah. Bahkan, beberapa diantaranya pernah dipresentasikan di Malaysia dan Thailand. Oleh sebab itu, Hanif merasa perlu untuk meningkatkan kembali ilmunya dengan cara melanjutkan kuliah. Selain itu, Hanif yang aktif di bidang non akademik juga merasa akan mendapatkan lebih banyak jaringan ketika dia melanjutkan ke jenjang master. Namun alasan utama dan terbesarnya adalah impiannya yang ingin menjadi pengajar baik guru SMA ataupun dosen, sehingga dia perlu menambah ilmu dan wawasannya dengan cara melanjutkan pendidikan. Hanif memilih LPDP sebagai jalan untuk meraih mimpinya tersebut.

Belum adanya jalur afirmasi disabilitas saat itu membuat Hanif mendaftar lewat jalur Bidikmisi. IPK cumlaude jadi bekalnya mendaftar. Namun TOEFL menjadi hambatan. Salah satu keterampilan yang harus dikuasai adalah listening, padahal Hanif adalah difabel rungu. Hanif mencoba melobi beberapa pihak mulai dari LPDP hingga pihak universitas. Hasilnya, UGM bersedia untuk menerima Hanif dengan mengecualikan kemampuan listening, namun harus digantikan dengan rekam jejak bahwa yang bersangkutan mampu berbicara atau menulis Bahasa Inggris dengan baik. Pihak LPDP-pun mengamini. Hanif akhirnya diterima di Pendidikan Master Ilmu Sastra di UGM. Hal itu pula lah yang mengawali LPDP untuk membuka jalur khusus beasiswa afirmasi disabilitas.

Hanif sempat mengajar di almamaternya di salah satu SMA di Purbalingga. Dari awal memang sekolahnya meminta Hanif untuk mengajar di sana, bahkan sejak Hanif baru lulus sarjana. Namun, Hanif belum mengiyakan karena merasa belum mampu. Setelah lulus S2 dan menyelesaikan pekerjaannya sebagai asisten dosen di Yogyakarta, barulah Hanif mengiyakan. Hanif juga menjadi salah satu guru yang memperkenalkan program inklusi di sekolahnya itu.

“Jadi sekarang ada 4 siswa difabelnya, ada difabel mental juga, ada difabel daksa intelektual. Jadi kalau saya ngajar ya saya pakai alat ini (ponsel) juga. Kalau misalnya ada pertanyaan, siswanya bisa menuliskannya atau bisa pakai alat ini. Jadi sebenarnya enggak kesusahan sama sekali, malah saya jadi wali kelas meskipun belum lama. Jadi dalam hal ini pihak sekolah, guru-guru, siswa semuanya sudah percaya sama saya,” kata Hanif. Hanif mengajar selama lebih kurang 2 tahun sebelum akhirnya dia berhenti karena alasan keluarga.

FotoKecilGenmasApr24v5.jpg
Foto: Dok. Pribadi.

Difapedia untuk Difabel

Pada tahun lalu, Hanif sempat menjadi salah satu pemenang di LPDP awards. Hanif menang di kategori HAM dan toleransi. Hanif adalah founder dari Difapedia, karya yang mengantarkannya memenangkan awards itu. Difapedia secara legal memang berbentuk Yayasan. Namun, Difapedia lebih banyak bergerak di sektor riset, advokasi, dan inclusive development.

“Kalau masyarakat awam pas baru denger Difapedia itu yayasan, mereka nangkapnya Difapedia itu panti rehabilitasi, sekolah kayak begitu, punya SLB asrama. Saya ingin merubah paradigma kalau kacamata difabel itu bukan cuma sosial saja. Difabel itu bukan cuma sesuatu yang harus direhabilitasi, bukan kayak begitu, tetapi difabel itu adalah bagian dari masyarakat bagian integral tak terpisahkan. Makanya kita fokus pada bagaimana difabel itu bisa berdaya, bisa mandiri, membentuk kultur inklusif di masyarakat,” terang Hanif.

Mengembangkan komunitas difabel bagi Hanif bukanlah hal baru. Semasa berkuliah, Hanif juga merupakan pendiri dari UKM Peduli Difabel. Setelah lulus, Hanif merasa membutuhkan wadah untuk bisa meneruskan perjuangannya itu. Hanif ingin mengembangkannya ke tingkat yang lebih luas lagi di masyarakat. Hanif memilih Purbalingga sebagai markasnya. Walaupun hanya kota kecil, Hanif percaya di zaman yang sudah serba digital, di mana pun itu akan bisa berkontribusi secara nasional, tidak hanya yang di pusat kota saja. Difapedia membuktikan dengan akan diadakannya workshop di 5 kota berbeda yaitu Purbalingga, Pekalongan, Aceh, Palembang, dan Yogyakarta.

Pada setiap workshop Hanif dan Difapedia selalu meminta agar pesertanya tak semua berasal dari kelompok difabel. Ia juga meminta sebagiannya adalah non difabel. Alasannya agar mereka bisa berbaur. Hanif tak mau mereka saling dikotak-kotakan dan tak mempunyai kesempatan untuk belajar berbaur. Dengan berbaur maka akan ada kesempatan saling belajar demi bisa membentuk masyarakat inklusi.

Selain berbagai workshop yang dihelat, Difapedia juga melakukan pendampingan UMKM difabel. Hanif ingin Difapedia ke depan bisa jadi wadah pelaku industri kreatif di sektor digital dengan konsep inklusif. Bimbingan tentang content creator, digital marketing, management market, dan sebagainya. Nantinya mereka akan bisa praktik dan langsung diwadahi Difapedia. Ke depannya, Difapedia bisa membangun ekosistem di kalangan UMKM difabel.

FotoKecilGenmasApr24v6.jpg
Foto: Dok. Pribadi.

Hilangkan Stigma Negatif

Dengan segala prestasi dan pencapaian Hanif, dia merasa stigma negatif yang dilekatkan pada difabel masih jadi tantangan terbesarnya. Stigma negatif itu yang nanti menurutnya bisa memunculkan konstruksi sosial di masyarakat.

“Jadi misalnya sekarang ini disabilitas atau difabel itu dilihat dari kacamata sosial. Misalnya undang-undang itu menganggap difabel termasuk penyandang masalah kesejahteraan sosial. Pertanyaannya, apakah saya ini sebagai sumber masalah sosial? Kan enggak. Justru saya ini korban dari masalah sosial yakni stigma negatif yang dilekatkan kepada difabel oleh masyarakat,” ucap Hanif. “Itu semua karena berawal dari stigma anggapan negatif terhadap difabel. Itu yang harus diubah, tantangan terbesar kita itu,” sambungnya.

Hanif berharap masyarakat dan juga pemerintah bisa lebih mampu melihat difabel lebih inklusif. Pemerintah saat ini dituntut untuk melengkapi formasinya di mana di dalamnya terdapat 2% dari difabel. Hanif berharap pemerintah menjadi contoh awal untuk bisa diikuti oleh pihak swasta, sehingga kesejahteraan para difabel bisa meningkat. Harapan utamanya stigma negatif dari berbagai pihak pada difabel bisa hilang, atau minimal bisa dikurangi.

FotoKecilGenmasApr24v7.jpg
Foto: Dok. Pribadi.

Makhluk Sosial yang Berguna bagi Sekitar

Hanif berpesan bahwa pendidikan sangat penting bagi kita semua karena itu bisa merubah banyak hal. Mungkin ada beberapa yang terhalang biaya atau hambatan lainnya. Namun menurut Hanif, yang terpenting adalah berusaha dan berjuang sekuat tenaga, karena usaha tidak akan mengkhianati hasil. Selain itu Hanif juga berpesan untuk memilih lingkungan dengan bijak. Pilihlah lingkungan yang baik yang bisa membangun energi positif untuk kita.

Ketika melanjutkan studi, Hanif juga mengingatkan untuk tidak hanya terpaku pada mendapatkan ijazah saja. “Karena sebagai kaum intelek, kita ini bukan cuma dibuktikan dalam secarik kertas bernama ijazah. Tetapi yang paling penting itu bagaimana kita bisa bermanfaat bagi lingkungan di sekitar kita karena itu kunci dari ilmu, yakni ilmu itu baru bisa terasa ketika orang-orang di sekitar kita bisa merasakan dampaknya,” pesan Hanif.

Hanif juga merasa jika keberadaannya saat ini adalah berkat dari orang-orang di sekitarnya. “Itu kenapa saya ini selalu berusaha memotivasi berbuat baik ke orang-orang di sekitar saya. Jadi intinya, hidup itu kan sebagai makhluk sosial. Saya bisa kayak gini karena saya dibantu orang-orang sekitar saya. Ini saatnya saya juga bisa berbuat baik untuk orang di sekitar saya,” pungkasnya.