Indonesia Optimis Jauh dari Jurang Resesi

15 November 2022
OLEH: CS. Purwowidhu
Indonesia Optimis Jauh dari Jurang Resesi
 

“Kita harus mengakhiri perang. Jika perang tidak berakhir, akan sulit bagi dunia untuk bergerak maju,” seru Presiden Indonesia Joko Widodo kepada para pemimpin negara anggota G20 dalam pembukaan KTT G20 di Bali pada Selasa (15/11/22).

Perang memang sangat diharapkan bisa segera berakhir agar dampak rambatannya tidak semakin menyuramkan perekonomian dunia. Disrupsi rantai pasok akibat pandemi dan perubahan iklim semakin diperparah dengan perang Rusia-Ukraina, akibatnya harga komoditas melambung tinggi, inflasi di negara-negara maju pun meroket, yang kemudian mendorong normalisasi kebijakan moneter negara-negara maju.

Studi Bank Dunia menunjukkan bank-bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga dengan angka fantastis dalam kurun lima dekade terakhir sebagai imbas dari tingginya inflasi- tren ini disinyalir masih akan terus berlanjut di tahun depan. Investor dunia mengharapkan bank sentral menaikkan suku bunga kebijakan moneter global hingga hampir 4% hingga 2023. Kendati demikian, upaya menaikkan suku bunga dan kebijakan lainnya diprediksi tidak akan cukup untuk bisa mengembalikan inflasi global ke level sebelum pandemi. 

Disrupsi rantai pasok akibat pandemi dan perubahan iklim semakin diperparah dengan perang Rusia-Ukraina, akibatnya harga komoditas melambung tinggi, inflasi di negara-negara maju pun meroket, yang kemudian mendorong normalisasi kebijakan moneter negara-negara maju. (Foto: Shutterstock)

Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) misalnya, kembali agresif menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin menjadi 3,75-4% pada 3 November 2022, tertinggi sejak Januari 2008. Hal tersebut dilakukan The Fed untuk meredam inflasi setahun belakangan, yang menyentuh level tertinggi dalam kurun 40 tahun terakhir di AS, tercatat di kisaran 8 persen pada September 2022.

Langkah The Fed untuk kembali menaikkan suku bunga acuan membuat kondisi perekonomian global semakin terpuruk dan ancaman resesi global menjadi kian nyata.

Adapun secara teknis sebenarnya Negeri Paman Sam tersebut sudah masuk ke zona resesi karena pertumbuhan ekonomi mereka terkontraksi selama dua kuartal berurutan yakni di kuartal I dan II 2022. Namun, hal tersebut masih menjadi perdebatan dikarenakan pasar tenaga kerja AS masih sangat kuat terlihat dari menurunnya angka pengangguran dari 3,7% ke 3,5%.

Sementara Eropa juga rentan masuk ke jurang resesi. Inflasi di Jerman sudah menyentuh angka 10,9%, tertinggi dalam kurun 70 tahun terakhir. Apabila kondisi musim dingin memburuk maka konsumsi energi meningkat lebih cepat begitupun dengan harga energi. Adapun Jerman sangat bergantung pada pasokan gas Rusia, sampai 55%, yang kini terhambat akibat mahalnya harga dan restriksi oleh Rusia. Kondisi tersebut dapat membawa ekonomi Jerman-yang menjadi motor pertumbuhan Uni Eropa- mengalami resesi.

Studi Bank Dunia menemukan, kecuali disrupsi rantai pasok dan tekanan pasar tenaga kerja mereda, kenaikan suku bunga oleh bank-bank sentral dapat membawa inflasi inti global (tidak termasuk energi) mencapai level 5% pada 2023. Untuk memangkas inflasi global ke tingkat sesuai target mereka, bank-bank sentral mungkin perlu menaikkan suku  bunga dengan tambahan 2 poin persentase. Apabila kondisi ini disertai tekanan pasar keuangan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global akan melambat 0,5% pada 2023- kontraksi 0,4% per kapita secara teknis masuk dalam kondisi resesi global.

Senada, Dana Moneter Internasional (IMF) dalam Laporan World Economic Outlook (Oktober, 2022) mengingatkan pada 2023 banyak negara dapat mengalami resesi, sejalan pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh lembaga dunia tersebut, dari 2,9% menjadi 2,7%, terlemah sejak 2001. Proyeksi tersebut menjadi revisi penurunan keempat tahun ini, yang menandakan tingginya tingkat ketidakpastian situasi perekonomian dunia.

IMF memprediksi negara-negara penyumbang sepertiga ekonomi dunia akan mengalami kontraksi paling sedikit dua kuartal beruntun tahun ini atau tahun depan. Bahkan perekonomian dunia diprediksi merugi USD4 triliun hingga tahun 2026.

Sementara Presiden Bank Dunia David Malpass mencemaskan tren pelemahan ekonomi ini akan bertahan dengan konsekuensi jangka panjang yang akan sangat dirasakan dampaknya oleh negara-negara berkembang.

Menurut dia, Untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah, stabilitas mata uang, dan pertumbuhan yang lebih cepat, para pembuat kebijakan dapat mengalihkan fokus mereka dari mengurangi konsumsi ke meningkatkan produksi. Kebijakan yang diambil harus diupayakan untuk menghasilkan investasi tambahan dan meningkatkan produktivitas dan alokasi modal, yang sangat penting untuk pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

“Kalau IMF, World Bank menggunakan kata-kata dark atau menjadi kelam atau muram untuk 2023. Namun, Indonesia dianggap sebagai the bright spot dalam situasi kondisi dunia yang semakin memburuk,” jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Seminar Nasional Badan Keahlian DPR RI (19/10/22).

Managing Director IMF Kristalina Georgieva saat bertemu Menteri Keuangan Sri Mulyani di IMF Annual Meetings 2022 (11/10/22) mengungkapkan Indonesia menjadi titik terang saat ekonomi dunia suram. Kristalina memberikan apresiasi kepada Indonesia yang meraih pertumbuhan tinggi dengan kondisi fundamental ekonomi dan stabilitas politik yang kuat.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai Indonesia akan lebih resilient terhadap dampak resesi tersebut karena ketergantungan Indonesia terhadap perdagangan internasional relatif lebih kecil. (Foto: Storypost/Kurnia Saktiyono)

Dampak resesi global

Dampak resesi global meski dengan intensitas berbeda-beda, akan tetap dirasakan oleh semua negara karena ekonomi global sudah makin terintegrasi. Namun demikian,  Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai Indonesia akan lebih resilient terhadap dampak resesi tersebut karena ketergantungan Indonesia terhadap perdagangan internasional relatif lebih kecil.

Di samping itu Indonesia juga memiliki bantalan ekonomi domestik yang sangat besar. Menurut dia, sepanjang mobilitas dalam negeri tidak terhambat, maka walaupun terjadi tekanan global baik dari perdagangan maupun investasi, maka ekonomi domestik akan tetap bisa menggerakkan roda perekonomian.

“Kondisi resesi pasti akan ada dampaknya, tapi saya rasa dampaknya (terhadap Indonesia) akan minimal kalau kita lihat dari sisi pertumbuhan ekonomi,” ucap Faisal.

Hal senada diungkap pula oleh Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economic, and Digital Ryan Kiryanto dalam Seminar Bincang APBN 2023 pada Jumat (28/10). Ryan berpendapat tahun 2023 kondisi ekonomi Indonesia akan baik-baik saja. Ada beberapa hal yang menjadi kelebihan Indonesia sehingga dapat lebih berdaya tahan terhadap resesi.

Pertama, Indonesia bukanlah pemain dominan dalam perdagangan internasional. Porsi ekspor Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) relatif kecil. Kedua, Indonesia sudah berpengalaman menghadapi beragam krisis keuangan di tahun 1998, 2008, 2013, 2018, 2020. Dan sebagian dari para pengambil kebijakan pada masa itu, sekarang berada pada posisinya masing-masing. Sehingga dengan berbagai pengalaman yang dimiliki diyakini dapat kembali mengambil kebijakan secara tepat.

Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki kepemimpinan yang kuat, di samping juga  mempunyai forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Bauran kebijakan yang diambil didesain secara preemtif, forward looking, dan antisipatif. Melalui asesmen, monitoring, dan evaluasi kebijakan yang baik.

“Nah, ini saya kira proses yang luar biasa besar yang mungkin negara-negara yang tidak pernah mengalami situasi yang buruk seperti Indonesia mungkin akan gagap (menghadapi dampak resesi) ya. Nah kita pede (percaya diri),” ucap Ryan.   

Sementara itu, alih-alih mengkhawatirkan imbas resesi terhadap pertumbuhan ekonomi, Faisal mengingatkan agar pemerintah mewaspadai dampak resesi terhadap kenaikan tingkat pengangguran. Mengingat fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) marak terjadi belakangan ini baik di sektor startup maupun nonstartup. Meskipun tercatat masih lebih rendah dibandingkan pada masa awal pandemi Covid-19 dua tahun silam, namun per September 2022 Kementerian Tenaga Kerja mencatat telah terjadi PHK kepada 10.765 pekerja.

“(fenomena PHK) ini sudah mulai harus menjadi perhatian karena ini bisa jadi gelombang yang akan bisa terus meningkat ya intensitasnya ke depan,” ujar Faisal.

Fenomena ini bisa jadi berbanding terbalik dengan kondisi resesi AS saat ini lanjutnya, dimana dalam fase pertumbuhan ekonomi AS yang terkontraksi, tetapi penciptaan lapangan kerja masih bertumbuh sehingga muncul term ‘jobful downturn’ bagi AS.

“Jadi kalau tadi di Amerika ‘jobful downturn’, maka bisa jadi yang kita khawatirkan (di Indonesia) adalah ‘jobless recovery’. Kita recover sebetulnya, tapi job-nya itu berkurang. Nah itu yang perlu diwaspadai,” terang Faisal.

Upaya-upaya lain untuk menciptakan lapangan pekerjaan selain melalui implementasi UU Cipta Kerja menurut Faisal perlu terus digencarkan. Misalnya memperbanyak program padat karya baik yang disalurkan melalui K/L maupun Pemda, serta dalam bentuk insentif untuk meringankan beban sektor swasta yang menghadapi tekanan global. Seperti dengan memberikan insentif listrik dan energi untuk meringankan biaya produksi atau memfasilitasi perubahan strategi pelaku usaha orientasi ekspor yang merespons kondisi global dengan melakukan pengalihan proporsi pasar tujuan. Cara-cara ini diharapkan dapat mengurangi opsi PHK.

Di samping itu, Faisal menekankan pentingnya kebijakan yang adaptif.  Stabilitas perekonomian domestik harus dijaga di tengah munculnya gejolak resesi dan inflasi, serta rencana normalisasi defisit di 2023. Antara lain dengan menjaga tingkat permintaan dalam negeri. Sampai dengan 2023 Faisal berharap pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif terhadap upaya menjaga inflasi serta lebih selektif dalam mengurangi insentif bagi pelaku usaha. Perlu ada skala prioritas antarsektor dalam pemberian insentif. Pengurangan insentif sebaiknya tidak terlalu cepat dilakukan bagi sektor yang relatif belum pulih, seperti transportasi, akomodasi, pariwisata. Begitu pula dengan sektor yang berorientasi ekspor.

 

Geliat sektor industri yang terus terjaga ditunjukan oleh indikator PMI manufaktur yang secara konsisten berada di zona ekspansif. Pada triwulan III, sektor manufaktur tumbuh sebesar 4,8% (yoy). Kinerja neraca perdagangan Indonesia juga tercatat masih kuat. Ekspor secara riil tumbuh 21,6% (yoy), sementara impor tumbuh 23,0% (yoy). (Foto: Irfan Bayu)

Tetap optimis

Di tengah melambatnya perekonomian global, Indonesia patut bersyukur karena perekonomian nasional di kuartal III/2022 masih tumbuh impresif mencapai 5,72% secara tahunan. Capaian tersebut mencerminkan terus menguatnya pemulihan ekonomi nasional. Hal ini menjadi modal kuat dalam menghadapi dampak resesi global ke depan.

Geliat sektor industri yang terus terjaga ditunjukan oleh indikator PMI manufaktur yang secara konsisten berada di zona ekspansif. Pada triwulan III, sektor manufaktur tumbuh sebesar 4,8% (yoy). Kinerja neraca perdagangan Indonesia juga tercatat masih kuat. Ekspor secara riil tumbuh 21,6% (yoy), sementara impor tumbuh 23,0% (yoy).

Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pun masih relatif tinggi sebesar 5,4% (yoy). Ini menunjukkan efektifitas berbagai langkah pengendalian inflasi untuk menjaga daya beli masyarakat. Seperti pengendalian inflasi melalui TPIP (Tim Pengendalian Inflasi Pusat) dan TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah), dan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP). Serta penguatan program perlindungan sosial untuk memitigasi dampak penyesuaian harga energi melalui program Bantuan Subsidi Upah, Bantuan Langsung Tunai, serta penyaluran bantuan melalui pemerintah daerah.

Untuk pertumbuhan ekonomi di triwulan IV diperkirakan akan sedikit termoderasi karena siklus perekonomian yang biasanya melambat di akhir tahun serta high base-effect di triwulan IV 2021. Walau begitu, secara keseluruhan tahun 2022, Kementerian Keuangan memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 5,0 – 5,3 persen.

Proyeksi tersebut sejalan dengan IMF yang  memprediksi Indonesia masih berpeluang tumbuh 5,3 persen tahun ini dan sedikit melambat menjadi 5 persen pada tahun 2023. Tingkat pertumbuhan tersebut masih jauh di atas China (3,2 persen pada 2022 dan 4,4 persen pada 2023) dan AS (1,6 persen pada 2022 dan 1 persen pada 2023).

Sementara, stabilitas nilai tukar Rupiah tetap terjaga di tengah tren penguatan Dolar AS, dengan hanya terdepresiasi sebesar 8,62 persen (ytd) sejalan dengan persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia yang tetap positif. Tingkat depresiasi tersebut relatif lebih baik dibandingkan India (10,20%), Malaysia (11,86%), dan Thailand (12,23%).

Tingkat inflasi Indonesia juga tercatat masih relatif rendah. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Oktober 2022 tercatat 5,71% (yoy) sejalan dengan dampak penyesuaian harga BBM. Inflasi volatile food turun menjadi 7,19% (yoy) sejalan dengan sinergi dan koordinasi langkah-langkah nyata yang ditempuh oleh Pemerintah, Pusat dan Daerah, BI, serta mitra strategis lainnya. Inflasi administered prices juga tidak setinggi yang diperkirakan yaitu 13,28% (yoy) sebagai dampak penyesuaian harga BBM terhadap tarif angkutan yang lebih rendah. Sementara itu, inflasi inti tetap terjaga rendah, yaitu sebesar 3,31% (yoy), sejalan dengan lebih rendahnya dampak rambatan dari penyesuaian harga dan belum kuatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan.

“Jadi kalau pemerintah optimis, itu karena memang ada landasan objektifnya, yakni berbagai indikator ekonomi makro yang terus menguat, implementasi berbagai kebijakan yang cukup efektif untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional, pengelolaan APBN yang prudent, responsif dan efektif sebagai instrumen countercyclical sekaligus sebagai peredam gejolak sehingga keberlanjutan pemulihan ekonomi nasional dapat terus dijaga. Intervensi kebijakan Pemerintah dilakukan baik dari sisi supply melalui berbagai insentif fiskal dan dukungan pembiayaan, bersinergi dengan otoritas moneter dan sektor keuangan, maupun dari sisi demand untuk mendukung daya beli masyarakat baik dalam bentuk berbagai program bansos, subsidi maupun pengendalian inflasi,“ pungkas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rilis (8/11/22).


CS. Purwowidhu