Mengenal Galih Sulistyaningra, Guru SD Peraih Master dari UCL Inggris dengan Beasiswa LPDP

16 Februari 2024
OLEH: Irfan Bayu
Mengenal Galih Sulistyaningra, Guru SD Peraih Master dari UCL Inggris dengan Beasiswa LPDP
Mengenal Galih Sulistyaningra, Guru SD Peraih Master dari UCL Inggris dengan Beasiswa LPDP  

Jika sebagian orang berfikir menjadi guru sekolah dasar adalah hal yang mudah, Galih Sulistyaningra memberikan pandangan berbeda. Dia percaya ada makna pendidikan dasar di dalamnya. Bu Galih, panggilan anak-anak padanya, adalah seorang wanita yang saat ini tengah bertugas di salah satu sekolah dasar negeri di Jakarta. Penampilannya tak banyak berbeda dari guru muda kebanyakan. Namun di baliknya, Galih adalah lulusan UCL Inggris.

Keluarga Pendidik

Dibesarkan di tengah keluarga pendidik, mulai dari ayah, ibu, dan beberapa keluarga lain yang berprofesi guru membuat Galih juga digadang-gadang untuk melanjutkannya. Galih yang mulanya enggan akhirnya menimba ilmu di Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Galih mencicipi pengalaman mengajar pertamanya di sebuah lembaga pendidikan swasta yang menerapkan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) di dalamnya. Galih mengisi untuk pelajaran tambahan di luar jam sekolah khusus untuk anak-anak sekolah internasional dengan latar belakang ekonomi kelas menengah atas.

Saat itu STEM belum terlalu populer. “Jadi merasa sepertinya metode pengajaran STEM ini di mana anak-anak itu belajar lebih praktik. Sifatnya itu kita belajar berbasis project itu akan sangat jauh lebih menyenangkan dan bermakna buat anak-anak,” terang Galih, lebih jauh lagi dia beranggapan jika diterapkan di sekolah formal akan ada dampaknya pula ke laju pertumbuhan ekonomi negara. Dari pengalaman dan pemikirannya itu, tumbuhlah keinginannya untuk melanjutkan pendidikan dan lebih mendalami tentang perencanaan dan kebijakan terkait pendidikan.

Foto: Dok. Pribadi

Melanjutkan Pendidikan

Galih memilih LPDP sebagai kapal untuknya berlayar menimba ilmu. Galih benar-benar mempersiapkan pendaftarannya dengan matang. “Saya print out di poster A3 tentang study plan apa yang akan saya lakukan, (setelah) saya pulang dari sana gitu ya. Jadi sepertinya melihat persiapan yang sudah sangat matang tersebut, dengan tujuan yang juga sudah sangat solid dan jelas, akhirnya meyakinkan para panelis untuk memberikan beasiswa tersebut ke saya. Jadi pada saat itu satu kali coba langsung berhasil,” kenangnya. Galih memilih University College London, dengan jurusan education of planning and international development untuk memperdalam ilmunya.

2018 menjadi tahun pertama Galih tiba di London. Di salah satu universitas terbaik dunia ini, awalnya Galih mengalami academic struggle yang cukup berat, “saya enggak terbiasa memformulasikan opini ketika di Indonesia. Jadi disana itu kan pertanyaan dari essay itu sangat terbuka dan kita ditantang untuk mempertanyakan sebuah teori gitu. Apakah teori ini benar atau tidak menurut Anda gitu ya. Apakah argumen ini bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Jadi soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan seperti itu sangat sulit dijawab oleh saya yang sudah terbiasa mengemban pendidikan di mana kita tuh belajar pasti jawabannya selalu ada di buku teks,” cerita Gallih. Pendidikan Indonesia masih banyak anggapan jika terlalu kritis atau mempertanyakan sesuatu yang tidak ada di buku teks, kemudian kita akan dianggap tidak patuh oleh guru-guru, perbedaan itulah yang cukup memberatkan Galih waktu itu.

Menjadi Guru

Awalnya Galih mengambil S2 karena keinginannya mendalami kebijakan pendidikan untuk menjadi pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Tapi ada satu momen yang cukup membuat mata Galih terbuka. “Kalau mau berdampak lebih besar lagi di pendidikan, itu harus mulai dari akar rumput. Dan pada saat itu saya percaya sebenarnya ruang kelas adalah salah satu media untuk kita menjadikan pendidikan sebagai alat kebebasan,” terang Galih. “Jadi ada salah satu bacaan wajib sebelum kita masuk kuliah. Itu judulnya “Pedagodi of The Oppressed”, pendidikan kaum tertindas. Dari situ saya terbuka bahwa memang banyak sekali yang perlu dibenahi di pendidikan dan saya rasa mulainya harus dari ruang kelas dulu. Makanya terpanggil lagi untuk menjadi guru,” lanjutnya.

Lebih spesifik, Galih ingin menjadi guru sekolah dasar negeri, bukan swasta atau internasional. Galih percaya jika pendidikan berkualitas itu hak setiap anak dan di Indonesia, menurutnya anak-anak datang dari berbagai latar belakang, entah itu latar belakang suku, agama, ras, dan juga latar belakang kondisi ekonomi sosial, serta sosial ekonomi. Kebragaman itu menurut Galih bisa ditemukan di SD Negeri. Galih ingin lebih berkontribusi dengan membagikan ilmu yang telah didapatkannya kepada anak-anak yang membutuhkan, dan menurutnya cara yang paling cepat yang bisa dilakukan dengan kapsaitasnya waktu itu adalah dengan mengajar.

Sekolah Dasar

Lebih jauh lagi, Galih percaya ada makna pendidikan dasar di entitas Sekolah Dasar. Pendidikan dasar adalah pendidikan dengan waktu terlama dan transisi dari usia dini. Pada periode tersebut anak-anak harus ditempa bukan hanya dari sisi akademis saja, namun juga tentang kematangan sosial emosional, yang kemudian diharapkan mampu berpikir kritis dan mendapatkan apa yang mereka butuhkan untuk melangkah ke jenjang berikutnya.

Menurut Galih, guru SD tidak hanya mengampu satu mata pelajaran saja, namun harus mampu membumikan berbagai konsep yang sifatnya abstrak untuk anak-anak, dan akhirnya bisa memahaminya dan mengkorelasikannya dengan kehidupan sehari-hari. “Yang paling menantang juga kalau di fase usia sekolah dasar itu kan anak-anak melihat guru benar-benar sebagai role model. Jadi memang bukan hanya pengetahuan yang kita berikan ke mereka, tapi juga teladan dan bagaimana kita bisa menjadi inspirasi mereka,” ujar guru kelas 4 ini.

Galih juga bercerita bagaimana sulitnya menjadi guru SD, bukan berarti menjadi guru SMP, SMA atau lainnya itu mudah, namun di SD menurutnya perlu kehati-hatian yang lebih. “Di sebagian kasus, anak-anak lebih percaya kita, gurunya, daripada orang tuanya. Apalagi kalau kita bicara anak-anak yang memang dari kondisi ekonomi menengah ke bawah, mereka yang dimarginalkan. Kadang sekolah menjadi satu-satunya tempat mereka untuk bebas berekspresi, benar-benar belajar. Karena begitu mereka pulang, kita tidak tahu kehidupan seperti apa yang mereka jalani. Dan apakah keterlibatan orangtua dalam pendidikan itu berperan atau tidak,” terangnya. Galih percaya sebenarnya pendidikan itu bukan hanya pekerjaan guru di sekolah, namun orang tua dan masyarakat punya peran besar di dalamnya.

Tantangan Pendidikan

Menjadi guru SD menurut Galih memiliki banyak sekali tantangannya. “Bagaimana memfasilitasi anak-anak yang datang dari beragam latar belakang yang punya kemampuan beda-beda, yang juga kemampuan kritisnya juga bermacam-macam, beragam, terus kita fasilitasi di satu kelas agar diskusi-diskusi yang kita berikan di kelas lebih semakin hidup lagi,” ucapnya, “perlu tahu trend-nya apa yang lagi anak-anak sukai itu apa, masuk dari sana sehingga bisa lebih dekat juga sama anak-anak,”lanjut Galih.

Pemikiran Galih juga sedikit banyak berubah setelah dia pulang dari London. Galih yang dulunya meng-glory-fikasi pendidikan barat mengaku saat ini banyak belajar tentang pentingnya mengkontekstualisasikan sesuatu. Indonesia yang terdiri dari beragam kondisi geografis dan budaya yang kaya menyadarkannya jika tidak semua ilmu bisa diterapkan serta merta, namun kita perlu pelajari dulu apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan, apa yang menjadi karakteristiknya dan bagaimana memanfaatkan karakteristik tersebut untuk menjawab tantangan dan kebutuhan yang ada. “Kenapa namanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan? Karena ada korelasi antara pendidikan dan budaya. Bagaimana pendidikan itu menciptakan budaya yang berikutnya. Jadi pasti ini juga tidak boleh melupakan budaya-budaya yang sudah ada,” jelas Galih.

Galih menambahakan saat ini pendidikan Indonesia sudah di jalan yang benar, namun terkadang masih terdapat ketidakselarasan antara pemangku kepentingan. Banyaknya layer dalam pemerintahan dari pusat sampai ke daerah hingga menyentuh langsung ke sekolah menyebabkan sering terjadinya perbedaan apa yang disampaikan di pusat dengan apa yang daerah sampaikan ke sekolah. “Dan masih ada kultur patuh itu lebih baik daripada merdeka sendirian,” kata Galih. Merubah paradigma dan mindset kita dari belajar untuk ujian menjadi belajar untuk mempersiapkan anak-anak menghadapi kehidupan juga jadi salah satu pekerjaan rumah untuk kita semua ungkap Galih.

Selain itu, beban administrasi adalah momok menakutkan bagi para pengajar saat ini. Guru yang harus berhadapan dengan anak-anak setiap harinya, bahkan di beberapa sekolah negeri satu kelas memiliki 30 sampai 35 siswa di dalamnya, sudah cukup membuat energi terkuras. Guru masih harus mengerjakan berbagai administrasi yang ada. Waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk istirahat serta mengevaluasi dan mempersiapkan bahan ajar di esok hari harus rela terbagi dengan segala dokumen pertanggungjawaban. Galih berharap hal itu bisa diperbaiki lagi untuk bisa membuat pendidikan lebih baik lagi.

Foto: Tangkapan Layar Bekal Pendidik

Bekal Pendidik

Masih banyak yang beranggapan jika sarjana saja sudah cukup untuk menjadi seorang guru SD, padahal itu tidak sepenuhnya benar. Galih percaya peradaban bangsa dimulai dari pendidikan. Sebagai guru pasti ingin menciptakan pendidikan yang transformatif, bukan hanya sekadar mentransfer ilmu ke murid saja tanpa mempertanyakan apakah sebenarnya murid itu membutuhkannya atau tidak, apakah itu relevan dengan kehidupannya atau tidak, dan untuk bisa mencapai pemikiran tersebut salah satu jalannya adalah sebagai guru harus belajar setinggi-tingginya. S2 menurutnya bukan masalah title, tapi bagaimana dalam memperolehnya kita dipaksa untuk lebih banyak membaca literatur, membandingkan teori pendidikan satu dengan yang lain, bisa berpikir kritis, mengolah essay, mempertanggungjawabkan argumen, mencari landasan. Itu semua menurut Galih adalah skill yang dibutuhkan untuk dibawa ke kelas, sehingga pembelajaran tidak monoton dan hanya berorientasi pada ujian saja. “Dan kemampuan itu saya rasa baru bisa kita capai kalau kita kritis. Salah satu cara untuk kita bisa kritis adalah belajar dan terus belajar,” kata Galih.

Galih juga merupakan founder dari Bekal Pendidik. Bekal pendidik lahir dari keresahan Galih ketika dia menempuh study di Inggris. Banyak hal baru yang dia pelajari yang menurutnya sangat fundamental untuk pendidikan guru. Salah satunya tentang buah pemikiran Ki Hajar Dewantara, yang juga saat ini digunakan sebagai dasar kebijakan pendidikan di Indonesia. Namun Indonesia baru menerapkannya baru-baru ini, sedang Galih sendiri malah mempelajarinya di London. Banyak hal tentang paradigma pembelajaran yang juga dibahas dalam bekal pendidik. “Diskusi-diskusi kritis yang tematik yang memang kita hadirkan beberapa narasumber yang mumpuni di bidangnya. Pada saat itu kita membicarakan juga tentang rasisme di pendidikan. Jadi hal-hal yang sifatnya mungkin terlalu “revolusioner” untuk dipelajari di kuliah, itu kita bawa di Bekal Pendidik,” terang Galih. Saat ini Bekal Pendidik masih memanfaatkan media sosial dan platform digital lain untuk menyebarkan praktik-praktik baiknya. Harapannya sebelum mereka menjadi guru, mereka sudah terbekali, bagaimana hal-hal yang sifatnya teknis di lapangan dan bagaimana kemudian membawa itu di ruang kelas.

Mimpi Galih

Galih mengakui bahwa profesi gurunya saat ini adalah sebuah kendaraan untuknya bisa mencapai mimpi besarnya. Galih ingin bisa lebih berdampak lagi pada level kebijakan. Namun Galih percaya untuk bisa membuat suatu kebijakan yang tepat, pertama dia harus mengatahui dulu relaita dan keadaan sebenarnya di akar rumput. Karena jika berbicara tentang pendidikan sebagai barang publik, maka sekolah dasar negeri adalah tempat yang mampu merepresantasikan hal tersebut. “Jadi saya mungkin cita-cita yang belum tercapai adalah menjadi pemangku kepentingan nantinya. Tapi saya percaya menjadi guru saat ini adalah sesuatu yang harus saya lewati dulu untuk mencapai ke sana. Jadi mungkin memang saya harus merasakan ini dulu supaya nanti apa yang saya lakukan itu benar-benar lebih berdampak dan menjawab tantangan sebenarnya gitu,” terang Galih diikuti senyum ramahnya.

Guru memang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, namun sepertinya pemikiran tersebut harus segera kita ubah. Bagaimanapun, tidak akan ada profesi lain jika tidak ada profesi guru, oleh karena itu sudah sepatutnya kita lebih mengapresiasi seorang guru. Saat ini masih banyak guru yang belum merdeka dari sisi finansialnya. Karena gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan, mereka terpaksa mencari pekerjaan lain. Dan bagaimanapun, kita baru bisa mengaktualisasikan diri ketika kebutuhan telah terpenuhi. “Tentunya kita berharap di kemudian hari sudah tidak perlu ada lagi guru-guru untuk terus berdiri di berbagai macam kaki gitu ya untuk kemudian memenuhi kesejahteraannya,” harap Galih. Walaupun hal tersebut memang cukup rumit, kita semua berharap akan ada jalan keluar untuk bisa mengatasi masalah tersebut. Saat ini yang tak kalah penting yaitu bagaimana merubah stereotype di tengah masyarakat bahwa menjadi guru bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, hal itu menurut Galih sebenarnya sudah membantu guru untuk lebih merasa “sejahtera” terhadap dirinya.

Foto: Tubagus P.

Pesan Galih

Galih melihat banyak guru mengalami kebimbangan. Di satu sisi dia ingin terus belajar, namun di sisi lain ada kewajiban yang tak bisa dia tinggalkan. Namun saat ini sudah banyak berbagai media yang bisa dimanfaatkan untuk meng-upgrade diri. “Menurut saya, jangan jadikan tantangan itu sebagai sesuatu yang kemudian menghambat kita, tapi bagaimana kita bisa memanfaatkan tantangan itu untuk menjadikan diri kita lebih bertumbuh. Semangat! Pekerjaan ini memang berat, tapi semoga kita dimudahkan kalau memang niat dan tujuan kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” pesan Galih.

“Saya benar-benar sangat terinspirasi dengan Paulo Freire dan tentunya Bapak Pendidikan kita. Saya percaya bahwa pendidikan adalah alat kebebasan sebenarnya. Jadi dengan kita menghadirkan, menciptakan pendidikan yang berkualitas, dan berkeadilan buat anak-anak kita, kita membukakan pintu untuk anak-anak memahami apa yang menjadi hak dasarnya dia sebagai manusia. Jadi ketika mereka mendapatkan pendidikan yang berkualitas, mereka kemudian akan bisa mendapatkan kesehatan yang layak dan meningkatkan juga kesejahteraan mereka sebagai seorang manusia. Jadi tetap semangat sekali lagi untuk bapak ibu guru di manapun itu. Semoga apa yang kita tabur saat ini buat anak-anak kita bisa kita tuai nantinya dan berbuah manis untuk anak-anak di seluruh Indonesia,” pungkas Galih.