Optimisme Kerangka Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal 2024

1 Juni 2023
OLEH: CS. Purwowidhu
Optimisme Kerangka Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal 2024
 

Perencanaan merupakan bagian terpenting dari proses konstruksi. Sebelum membangun sebuah rumah misalnya, kita perlu merancang desain bangunan, mengatur anggaran, dan sebagainya. Perencanaan yang matang menjadi kunci dalam membangun apapun. Benjamin Franklin satu waktu pernah berkata “If you fail to plan, you are planning to fail.”

Sama halnya dengan proses membangun sebuah rumah, Pemerintah pun setiap tahun menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk melaksanakan agenda pembangunan di sepanjang tahun berikutnya.

Sebelum memulai penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan terlebih dahulu merancang Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF). Dokumen KEM-PPKF memberikan perkiraan antara lain untuk pertumbuhan ekonomi, inflasi, defisit, penerimaan dan pengeluaran negara, serta arah kebijakan fiskal.

Estimasi yang kuat dan kredibel dalam KEM-PPKF menjadi acuan untuk menyusun perencanaan dan pengeluaran negara guna memastikan APBN dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat.

Pada 19 Mei 2023 lalu Pemerintah telah menyerahkan dokumen KEM-PPKF Tahun 2024 kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan Pembicaraan Pendahuluan Penyusunan RAPBN 2024, yang juga merupakan RAPBN terakhir di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Arsitektur kebijakan fiskal 2024 diarahkan untuk “Mempercepat Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan.”

Tantangan global

Pemerintah memperkirakan ketidakpastian masih mewarnai perekonomian global di 2024. Setidaknya ada empat tantangan besar yang sedang dan akan dihadapi perekonomian global ke depan yakni tensi geopolitik, arus digitalisasi, perubahan iklim, dan risiko pandemi.

Tensi geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan memanasnya hubungan dagang Amerika Serikat-Tiongkok menyebabkan kebijakan negara-negara besar cenderung “inward looking”. Akibatnya, dunia semakin terfragmentasi, tren globalisasi berubah menjadi deglobalisasi. Kondisi ini akhirnya berimbas pada penurunan volume perdagangan global sehingga laju pertumbuhan ekonomi dunia terhambat.

Di samping itu, tekanan berat juga masih menghadang perekonomian global di tahun 2023 seperti laju inflasi global yang masih belum kembali ke level prapandemi sehingga suku bunga acuan global masih bertahan “higher for longer”. Akibatnya, likuiditas global masih akan ketat sehingga ‘cost of fund’ juga masih tetap tinggi. Di sisi lain, ruang fiskal di banyak negara juga semakin terbatas dengan meningkatnya utang akibat pandemi. Gejolak perbankan di AS dan Eropa juga menambah risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global.

“Dengan berlanjutnya (kondisi) ini, maka kemudian potensi untuk arus investasi jadi semakin terhambat,” ujar Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky.

Kendati cukup tertekan di 2023, perekonomian global diprediksi sedikit lebih meningkat di 2024 seiring normalisasi harga komoditas. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan mengalami akselerasi dari sebelumnya 2,8% di tahun 2023 menjadi 3,0% di 2024. Pertumbuhan volume perdagangan dunia juga turut diperkirakan meningkat dari 2,4% di tahun 2023 menjadi 3,5% tahun 2024.

Indonesia masih tangguh

Ketahanan perekonomian Indonesia sendiri tetap terjaga meskipun menghadapi gejolak perekonomian dunia. Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2023 mencapai 5,0% (yoy). Pertumbuhan ekonomi terus di atas 5% dalam enam kuartal berturut-turut. Laju inflasi dalam tren yang menurun utamanya karena keberhasilan pemerintah dalam menurunkan inflasi bahan pangan. Tingkat inflasi tercatat sebesar 4,33% (yoy) pada bulan April 2023.

Pertumbuhan ekonomi dan inflasi Indonesia merupakan salah satu yang terbaik di antara negara-negara G20 dan ASEAN. Sementara itu, indikator dini lainnya juga menunjukkan tren yang relatif kuat. Purchasing Managers’ Index (PMI) nasional bulan April 2023 mencapai 52,7, terus berada pada zona ekspansif sejak awal tahun hingga saat ini.

Di tengah menguatnya fondasi ekonomi domestik serta membaiknya prospek pertumbuhan ekonomi global, pemerintah mengestimasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 berada di kisaran 5,3-5,7%.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memandang positif optimisme asumsi makro pemerintah yang menurutnya penting dalam menjaga momentum pemulihan ekonomi Indonesia. Josua menilai target pertumbuhan ekonomi yang dipatok Pemerintah tersebut masih memungkinkan untuk dikejar namun tentunya membutuhkan ekstra kerja dari Pemerintah.

“Kami melihat dengan kondisi tantangan global, dari sisi feasibility-nya mungkin masih akan mendekati batas bawah dari target (pertumbuhan) ataupun dari asumsi KEM-PPKF 2024 tersebut,” prediksi Josua.

Riefky pun berpendapat sama. Menurut dia, melihat tren normal pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun lima tahun sebelum pandemi di kisaran 5%, lalu pascapandemi saat ini bisa kembali ke tren jangka panjang di kisaran 5%, maka pemerintah membutuhkan upaya luar biasa untuk bisa mencapai target pertumbuhan 5,3-5,7% dalam jangka pendek. Alih-alih mematok pertumbuhan yang terlalu drastis, Riefky menyarankan pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan secara konsisten dari waktu ke waktu.

“Realisticly saya akan melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan mungkin berada di kisaran 5,1 sampai 5,3. Karena kalau kita mau mengalami pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi dari tren normalnya, maka kita perlu investasi yang sangat besar, perlu peningkatan produktivitas yang sangat besar, dan itu nggak terjadi secara singkat,” papar Riefky.

(Infografis: Tubagus P.)

Kerja ekstra

Untuk mengejar target pertumbuhan, Pemerintah menurut Josua perlu fokus menjaga momentum pertumbuhan konsumsi dan investasi. Konsumsi rumah tangga yang notabene masih menjadi pendorong utama perekonomian kita bisa dijaga dengan melindungi daya beli masyarakat, menjaga stabilitas harga, mendorong penurunan angka kemiskinan dan prevalensi stunting, serta melanjutkan program bansos bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

Upaya menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga tidak lepas dari upaya pengendalian inflasi. Berkaitan dengan target inflasi yang disasar pemerintah pada kisaran 1,5-3,5%, Josua optimis bahwa inflasi akan kembali kepada target sasaran mengingat dampak penyesuaian harga BBM di 2022 akan hilang di tahun ini.

Meski demikian, Pemerintah perlu mengantisipasi risiko El Nino yang berpotensi mempengaruhi tingkat inflasi pangan di paruh kedua 2023.

Dengan koordinasi yang semakin kuat antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam pengendalian inflasi pusat dan daerah, Josua meyakini inflasi di tahun 2024 akan tetap terkendali.

Sementara dari sisi investasi, Josua berpendapat pemerintah perlu mensinkronisasi momentum pertumbuhan investasi di tengah tantangan dinamika Pemilu 2024 dan proses implementasi Undang-Undang Cipta Kerja serta peraturan turunannya. Investasi juga perlu diarahkan kepada sektor-sektor yang produktif dan padat karya guna meningkatkan kualitas SDM dan produktivitas ekonomi.

Meski dinamika politik yang mewarnai Pemilu di berbagai negara biasanya cenderung menahan laju investasi asing serta mencermati penyelenggaraan Pemilu di Indonesia beberapa periode ke belakang, Josua menilai dengan stabilitas politik yang tetap terjaga maka fenomena Pemilu tahun mendatang hanya akan berdampak temporer terhadap laju investasi.

Pemilu tentunya ini akan memberikan dampak sementara atau temporer pada wacana ‘wait and see’ dari investor asing, itu biasanya satu kuartal sebelum pelaksanaan Pemilu,” ucap Josua.    

Di lain sisi, momentum Pemilu menurut Josua justru membawa dampak positif bagi pertumbuhan konsumsi yang bisa dimanfaatkan oleh investor domestik untuk menggerakkan perekonomian khususnya di daerah.

Sementara Riefky juga sepemikiran bahwa di tahun Pemilu, investor cenderung ‘wait and see’ akan kepastian fokus dan komitmen pemerintahan di rezim mendatang.

Nah, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kemudian pemerintahan di rezim mendatang itu bisa melanjutkan kira-kira apa yang sudah baik di pemerintahan sekarang dan kemudian bisa meng-improve apa yang memang belum selesai atau belum ditangani oleh pemerintahan sebelumnya,” jelas Riefky.

Riefky melanjutkan masih terdapat ruang perbaikan untuk menciptakan iklim investasi yang kredibel di Indonesia. Menurut dia investor membutuhkan kepastian hukum serta tenaga kerja yang produktif dan berdaya saing tinggi dengan biaya yang terjangkau. Ia berharap baik implementasi maupun enforcement dari regulasi yang ada seperti Undang-Undang Cipta Kerja bisa dilaksanakan seoptimal mungkin.

(Infografis: Tubagus P.)

Hilirisasi percepat transformasi 

Keberhasilan transformasi ekonomi menjadi prasyarat penguatan performa perekonomian nasional terlebih di tengah ketidakpastian global yang berdampak langsung pada kinerja ekspor dan investasi.

Josua mengapresiasi upaya pemerintah dalam mentransformasi perekonomian misalnya dengan mendorong hilirisasi sumber daya alam (SDA). Pelarangan ekspor bijih nikel misalnya berdampak signifikan bagi investasi khususnya di Indonesia bagian timur seperti Maluku Utara dan Sulawesi Tengah. Peningkatan investasi juga turut meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Senada, Riefky juga menilai pemerintah saat ini sudah lebih maju dalam mendorong hilirisasi, terutama sektor manufaktur. Hilirisasi menurut Riefky dan Josua sangat penting dalam mengurangi ketergantungan Indonesia yang relatif tinggi terhadap komoditas.

“Ketergantungan pada SDA secara berlebihan akan mengurangi ketahanan kinerja ekonomi kita dan ketahanan kinerja perdagangan kita, khususnya ekspor kita,” ungkap Josua.

Sebagai salah satu negara eksportir utamanya komoditas kelapa sawit dan batu bara misalnya, Indonesia mengalami windfall profit akibat periode kenaikan harga komoditas (commodity boom). Fenomena tersebut menjadi salah satu pendorong perekonomian Indonesia terlebih dalam kurun dua tahun belakangan. Namun, di saat harga komoditas termoderasi, perlambatan pun mulai terlihat baik dari sisi penerimaan negara maupun performa ekspor.

“Kalau negara mau lepas dari ketergantungan komoditasnya, tentu perlu membangun sektor-sektor atau industri yang bernilai tambah lebih tinggi dan tidak terlalu terpengaruh oleh siklus harga seperti komoditas,” tutur Riefky.

Riefky berpendapat pengimplementasian hilirisasi membutuhkan komitmen dan konsistensi yang kuat antarrezim pemerintahan. Karena membangun sektor yang bernilai tambah tinggi membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bahkan beberapa negara bisa membutuhkan beberapa dekade untuk tidak lagi mengandalkan komoditas sebagai penggerak tercepat perekonomian dalam negeri.

“Nah, ini biasanya enggan dilakukan oleh politisi atau ‘policy maker’ karena bisa jadi saat mereka mendorong kebijakan terhadap industri yang bernilai tambah, ini mungkin dinikmati rezim berikutnya. Sehingga butuh ada konsistensi dan komitmen yang persisten antarrezim untuk kemudian kita bisa keluar dari siklus ketergantungan komoditas tadi,” papar Riefky.

Adapun hilirisasi merupakan strategi suatu negara untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki. Melalui hilirisasi, komoditas yang sebelumnya diekspor dalam bentuk bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Sehingga nilai ekspor negara tersebut menjadi lebih tinggi.

Sejak tahun 2014, pemerintah mencanangkan kebijakan hilirisasi dengan mewajibkan pembangunan smelter secara bertahap bagi perusahaan-perusahaan tambang mineral, dan memberikan berbagai dukungan fiskal, baik berupa insentif maupun melalui perbaikan ekosistem perpajakan.

Selain karena faktor harga komoditas yang meningkat tajam, upaya penciptaan nilai tambah tinggi juga berperan penting dalam peningkatan ekspor dan neraca perdagangan Indonesia yang signifikan. Nilai ekspor Indonesia di tahun 2022 melonjak tajam dan mencatatkan rekor tertinggi dalam sejarah, mencapai USD292 miliar, atau meningkat sekitar 66% dari posisi USD176 miliar pada tahun 2014. Pada tahun 2022, neraca perdagangan juga mencatatkan rekor tertingginya, mencapai sebesar USD54,5 miliar. Hingga April 2023, neraca perdagangan Indonesia sudah mencatatkan surplus selama 36 bulan secara berturut-turut.

Sementara itu, dari sisi lapangan usaha Josua memandang revitalisasi sektor manufaktur harus ditingkatkan. Untuk itu dibutuhkan peningkatan kualitas SDM dan infrastruktur serta efisiensi biaya logistik.

“Hal-hal tersebut harus segera dikawal sehingga harapannya investasi ke sektor-sektor padat karya akan kembali meningkat. Dan itu akan memiliki efek berganda yang besar sekali pada konsumsi dan juga perekonomian kita secara umum,” kata Josua.

Riefky menambahkan selain konsisten membangun hilirisasi, menjaga iklim investasi, dan pertumbuhan ekonomi, Pemerintahan mendatang juga perlu semakin fokus menangani isu perubahan iklim yang sangat berdampak bagi eksistensi kehidupan manusia. Partisipasi seluruh komponen masyarakat juga diperlukan agar Pemerintah lebih aware terhadap isu perubahan iklim.  

"Walaupun banyak debat antara komitmen yang diberikan negara berkembang dan negara maju, tapi saya rasa Indonesia berada di posisi strategis kalau mereka mau memfokuskan isu climate, ini akan memberikan opportunity dan benefit yang cukup besar untuk growth, tidak hanya di kondisi sekarang tapi juga di kondisi mendatang," terang Riefky.

Genjot penerimaan, Spending better

Berdasarkan dokumen KEM-PPKF 2024, tahun depan Pemerintah akan melanjutkan penguatan reformasi fiskal secara holistik untuk mendukung percepatan transformasi ekonomi. Langkah tersebut dilakukan melalui optimalisasi penerimaan negara, penguatan spending better di sisi pengeluaran atau belanja, serta mendorong pembiayaan yang inovatif, pruden, dan berkelanjutan.

Pada 2024, penerimaan negara diperkirakan mencapai 11,81% hingga 12,38% dari produk domestik bruto (PDB), sementara pengeluaran atau belanja negara pada rentang 13,97% hingga 15,01% dari PDB. Keseimbangan primer terus diupayakan bergerak menuju positif, pada kisaran defisit 0,43% hingga surplus 0,003% dari PDB.

Baik Josua maupun Riefky memandang positif arah kebijakan fiskal tahun 2024. Mereka sama-sama menggarisbawahi dengan kembalinya defisit ke level di bawah 3% maka Pemerintah harus menggenjot penerimaan dan konsisten menerapkan spending better.

Meskipun ada tantangan di sisi penerimaan negara dengan berlangsungnya normalisasi harga komoditas sejak 2022, namun Josua berharap implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) dapat menjaga momentum peningkatan penerimaan negara.

“Apabila memang sekiranya tadi dampak dari normalisasi harga komoditas ini terus berlanjut, dan juga pertumbuhan ekonomi tahun depan cenderung tidak lebih baik dari perkiraan, tentunya nanti perlu ada kalibrasi dari sisi pemerintah. Dan saya tetap yakin bahwa APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal memiliki peran sebagai shock absorber,” ungkap Josua.

Sementara, Riefky berpendapat selain menerapkan UU HPP dan reformasi perpajakan lainnya, Pemerintah perlu mendorong transformasi sektor informal menjadi formal agar tax ratio bisa terus ditingkatkan. Potensi-potensi penerimaan yang belum optimal seperti pajak karbon, cukai rokok, dan minuman berpemanis juga penting untuk digali lebih optimal. Kualitas dan produktivitas masyarakat pun perlu ditingkatkan baik dari sisi kesehatan maupun pendidikan untuk mendukung peningkatan penerimaan jangka panjang.

Konsistensi membangun kredibilitas dan kepercayaan publik juga menjadi aspek lainnya yang diperlukan untuk mendorong revenue kita ini bisa terus ditingkatkan secara konsisten,” ucap Riefky.

Di sisi pengeluaran atau belanja, Josua dan Riefky senada menegaskan agar Pemerintah tetap fokus mempertahankan semangat spending better melalui belanja yang produktif, berkualitas, dan tepat sasaran. Baik itu belanja infrastruktur, perlinsos, kesehatan, pendidikan, proyek strategis nasional, termasuk pembangunan IKN serta pelaksanaan Pemilu 2024.

“Pemerintah perlu kembali lagi menyisir belanja-belanja, yang sekiranya memang belum memiliki multiplier effect yang besar dalam jangka pendek untuk bisa di carry over ke tahun-tahun berikutnya. Ataupun program-program multi years saya pikir mungkin bisa di-hold dulu,” papar Josua.

Sementara itu, Riefky menambahkan di tahun politik yang menurut dia cenderung tersedia sedikit momentum untuk melakukan reformasi, dia berharap pemerintah tidak menerapkan kebijakan-kebijakan populis yang kontraproduktif terhadap reformasi fiskal.

 “Jadi, ini perlu terus menjadi fokus. Tidak hanya dari pemerintah, tapi juga dari masyarakat dalam mengawasi sesedikit mungkin atau seminimum mungkin terjadinya kebijakan populis di fase-fase (tahun politik dan transisi pemerintahan) ini,” tutur Riefky.

Jaga disiplin fiskal

Untuk mendukung kebijakan fiskal yang tetap ekspansif, terarah, dan terukur dalam rangka percepatan transformasi ekonomi, Pemerintah dalam KEM-PPKF tahun 2024 merencanakan defisit pada kisaran 2,16% hingga 2,64% dari PDB. Upaya untuk mendorong pembiayaan yang pruden, kreatif, inovatif, dan berkesinambungan ditempuh antara lain dengan mengendalikan rasio utang dalam batas manageable di kisaran 38,07% hingga 38,97% dari PDB.

"Kalau kita lihat dari berbagai indikator kesehatan utang, seperti misalnya dari tenornya, dari tingkat bunganya, lalu kemudian dari komposisi utang asing dan domestik, ini semuanya menunjukkan kondisi yang sangat sangat-sangat aman utang Indonesia," papar Riefky.

Mencermati tren global dimana suku bunga sedang dalam kondisi amat tinggi, Riefky berpendapat urgensi untuk mengelola utang secara lebih prudent menjadi lebih penting saat ini. Mengingat biaya utang yang relatif lebih mahal ketimbang periode-periode sebelumnya.

Dia juga menekankan agar utang dapat digunakan untuk kebutuhan yang produktif dan pembangunan jangka panjang.

Josua pun berpandangan sama. Dia mengatakan yang terpenting adalah mengedepankan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang produktif. Dia mencermati kinerja Pemerintah dalam mengelola utang terbilang pruden. Hal ini tercermin salah satunya dari postur utang Pemerintah yang didominasi oleh penerbitan surat berharga negara (SBN) sehingga rambatan risiko global kepada kondisi fiskal kita relatif terbatas.

Adapun Buku APBN Kita edisi Januari 2023 mencatat, rasio utang Indonesia terhadap PDB per akhir 2022 mencapai 39,57%. Berdasarkan jenisnya, utang Pemerintah didominasi instrumen SBN yang mencapai 88,53% dari seluruh komposisi utang. Ini menunjukkan upaya Pemerintah untuk meningkatkan kemandirian pembiayaan. Sedangkan berdasarkan mata uang, utang Pemerintah didominasi oleh mata uang domestik (Rupiah) sebesar 70,75% untuk meminimalkan risiko terhadap fluktuasi nilai tukar.

Pengelolaan utang secara produktif juga bisa dilihat khususnya di masa krisis pandemi. Pada 2020 defisit meningkat drastis ke level 6,34% dan 2021 5,7% karena menurunnya penerimaan dan membengkaknya belanja untuk keluar dari tekanan pandemi seperti pengeluaran negara untuk kesehatan, perlinsos, serta pemulihan ekonomi.

Pemulihan ekonomi pun menunjukkan penguatan performa di 2022. Bahkan di tahun 2022 defisit APBN sudah bisa dikembalikan ke level di bawah 3%, lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Alhasil, Indonesia bisa lebih cepat pulih daripada negara-negara lain di dunia.

“Dari sisi pengelolaan utang pun, kita sangat produktif. Artinya kita sangat pruden,” ucap Josua.

Josua dan Riefky meyakini dengan menerapkan spending better di sisi belanja dan optimalisasi penerimaan maka defisit dapat tetap terjaga di bawah level 3%.

Menurut Josua dengan defisit tetap terjaga di bawah level 3%, akan menjadi momentum yang sangat baik bagi Indonesia untuk meningkatkan iklim investasi di tengah kondisi global saat ini, khususnya di tengah momok pasar keuangan global akibat krisis plafon utang pemerintah Amerika Serikat. 

Di lain sisi, Riefky berharap pemerintahan di tahun-tahun mendatang tetap aware untuk melanjutkan disiplin fiskal serta menjaga stabilitas makro ekonomi yang sudah terbangun dengan baik dalam satu dekade ini.

Josua dan Riefky berpendapat kinerja disiplin fiskal yang baik akan berimplikasi kepada iklim investasi yang semakin kondusif serta bisa meng-upgrade outlook sovereign credit rating Indonesia oleh lembaga pemeringkat internasional. Sebagaimana capaian upgrade sovereign credit rating Indonesia yang terjadi dua kali dalam kurang lebih 10 tahun terakhir. Meningkatnya rating menandakan optimisme dunia internasional atas prospek kinerja ekonomi Indonesia di tengah tantangan domestik maupun global.

“Banyak orang, terutama di domestik, tidak menyadari pentingnya disiplin fiskal untuk isu kredibilitas dan confidence oleh investor karena mungkin nggak kelihatan dari luar gitu. Padahal dengan disiplin fiskal lah kita bisa afford untuk terus menurunkan tingkat suku bunga dari obligasi kita, yang membuat kita bisa meminjam uang dengan lebih murah untuk pembangunan investasi dan pembangunan produktif di jangka panjang. Jadi, saya harapkan disiplin fiskal ini bisa terus dilanjutkan,” pungkas Riefky.


CS. Purwowidhu