Kabar dari Sisi Selatan

1 April 2021
OLEH: Aditya Wirananda
Kabar dari Sisi Selatan
 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati suatu ketika dalam pidatonya mengatakan, "Seluruh entitas baik individu maupun perusahaan selalu menghadapi trade off. Tidak ada orang yang tidak mengalami trade off." Demikian pula yang dihadapi personel Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Waingapu. Mereka seolah mempertukarkan privilese atas fasilitas dan kenyamanan ibu kota dengan alam yang permai.

Luas Wilayah dan Potensi Perpajakan

Waingapu adalah ibu kota kabupaten Sumba Timur. Lokasinya berada di pulau Sumba, salah satu pulau terluar di sisi selatan Indonesia. Letaknya sekitar dua ribu kilometer di sisi timur Jakarta dan delapan ratus kilometer di sebelah barat Timor Leste. Di kota ini, Frans A. Hutagaol selaku kepala KPP Pratama Waingapu dan timnya didapuk untuk melakukan tugas penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan di bidang perpajakan. Wilayah kerja kantor yang dibentuk pada 2008 ini meliputi Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. "Penguasa satu pulau ya. Satu pulau Sumba," ujar Frans berseloroh. Luas wilayah pulau Sumba mencapai 11.000 kilometer persegi dengan titik tertinggi berada di Gunung Wanggameti.

Pulau Sumba, belakangan sering dibicarakan sebagai salah satu destinasi wisata dengan berbagai pilihan menarik. Mulai dari wisata pantai, bukit, sampai air terjun. Namun, menurut Frans, saat ini penerimaan perpajakan di pulau Sumba justru didominasi oleh penerimaan dari wajib pajak di sektor administrasi pemerintahan, konstruksi dan perdagangan. Sektor pariwisata justru belum menjadi sektor yang dominan memberikan kontribusi pada penerimaan. Pria kelahiran Balige, Sumatera Utara ini mengatakan, "Sumba itu adalah masa depan, kalau Labuan Bajo itu masa kini." Frans, dalam konteks ini menyampaikan bahwa potensi Sumba cukup besar di bidang pariwisata. Saat ini, potensi tersebut masih belum optimal, terlebih karena adanya pandemi Covid-19 yang melanda dunia.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP), menurut Frans, telah memulai langkah awal untuk mengoptimalkan potensi yang ada. Salah satunya adalah dengan pengembangan organisasi KPP Pratama Waingapu. Kantor yang semula dibekali lima kepala seksi ini diperkuat dengan penambahan menjadi delapan kepala seksi. "Kita mendapatkan lima seksi waskon (pengawasan dan konsultasi) nantinya," ia melanjutkan, "Pak Dirjen memang melihat kesulitan-kesulitan untuk melakukan pengawasan di wilayah yang cukup luas." Penambahan tiga kepala seksi ini menurut Frans sangat memberikan dampak baik bagi kantornya. "Itu menurut saya blessing juga ya, jadi nanti ada lima kasi (kepala seksi) waskon dan otomatis pembagian serta pengawasan wilayahnya jadi cukup (memadai)," ujarnya.

Ihwal penerimaan perpajakan, salah satu yang diam-diam punya dampak cukup signifikan adalah sektor perkebunan. "Di sini ada komoditi (kacang) mete. Itu di daerah Sumba Barat dan Sumba Barat Daya," ujarnya. Dari hasil pemeriksaan dan pengawasan, rupanya komoditas ini punya potensi yang cukup besar. Di tahun 2019-2020, berbekal kerja sama dengan Balai Karantina di dua wilayah pelabuhan, yakni Waingapu dan Waikelo, pihak KPP Pratama Waingapu berhasil mencatatkan penerimaan mencapai 30 miliar rupiah dari komoditas ini. "Itu cukup unik. Ternyata hasil penjualan mete di sini cukup luar biasa dan memberikan penerimaan yang cukup besar," ujar alumni magister manajemen Universitas Indonesia ini.

Menjaga Kewarasan

Penempatan di wilayah-wilayah terluar Indonesia memang seringkali berdampak pada kondisi psikologis. Cerita-cerita tentang keterbatasan atas berbagai fasilitas masih saja berlangsung hingga hari ini. Hal yang sama terjadi dengan pegawai-pegawai yang baru ditempatkan di Waingapu. Frans, sebagai orang yang punya kesan periang, berupaya membangkitkan semangat timnya dengan perspektif berbeda. Ia mengangkat alam yang permai sebagai salah satu hal untuk memotivasi timnya. "Saya katakan kepada para pegawai, 'Orang yang bisa ke Sumba itu orang kaya atau orang kaya banget,'" ia melanjutkan, "Mumpung ditempatkan di Sumba, kita sambil kerja sambil menikmati keindahan alam Sumba ini. Itu cara kita memotivasi pegawai," ujarnya sambil berseloroh.

Selain itu, ia dan tim juga sering memanfaatkan akhir pekan mereka untuk berpetualang mengeksplorasi keindahan alam Sumba. Di tengah keterbatasan jarak, batasan ruang gerak selama pandemi, plus berada jauh dari keluarga, membuat kegiatan di akhir pekan menjadi salah satu ramuan penting untuk menjaga kewarasan. "Karena di sini waktu terasa berjalan sangat lambat kalau kita nggak ngapa-ngapain. Kalau kita di Jakarta, waktu kan terasa sangat cepat," ujarnya. Terlebih, mayoritas pegawai di KPP Waingapu adalah pendatang. Frans mengatakan, "Hampir semuanya dari pulau Jawa," lanjutnya, "satu orang asli (dari) Sumba, itupun sudah mau pensiun."

Selain itu, dari perspektif masa kerja, KPP Pratama Waingapu juga didominasi oleh pegawai yang relatif baru. Frans sendiri mulai berdinas di Waingapu pada September 2020. Sedangkan delapan kepala seksi di bawahnya, seluruhnya baru. Lantas di tingkat pelaksana, setengahnya memiliki masa kerja--di Waingapu--di bawah dua tahun. Selain kondisi psikologis seperti diceritakan sebelumnya, hal yang menjadi sorotan mayoritas pegawai pendatang--terlebih baru--adalah ketersediaan tempat tinggal. Frans mengatakan, KPP Pratama Waingapu saat ini belum memiliki rumah dinas. Kendati ketersediaan hunian sewa berupa rumah kontrakan atau indekos di Waingapu cukup memadai, Frans berharap dalam waktu dekat, kantor ini bisa memiliki rumah dinas bagi para pegawainya.