Kenaikan Tarif PPN dalam Kerangka Reformasi Perpajakan

Laporan Utama
16 April 2022
OLEH: CS. Purwowidhu
Kenaikan Tarif PPN dalam Kerangka Reformasi Perpajakan

Pajak merupakan tulang punggung nasional. Hampir 80 persen penerimaan negara berasal dari penerimaan pajak. Penerimaan negara yang kuat dibutuhkan untuk menjaga kesinambungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sehat dalam membiayai pembangunan menuju Indonesia maju. Untuk itu fondasi sistem perpajakan perlu pembenahan berkelanjutan.  

Di sisi lain, rasio pajak (tax ratio) Indonesia masih tergolong rendah di antara negara-negara berkembang lain yang rata-rata mencapai 27,8 persen. Pada 2021 rasio pajak Indonesia tercatat sebesar 9,11 persen PDB. Untuk menjadi negara maju, kuat, dan mandiri tentunya penerimaan pajak yang memadai menjadi syarat penting.  

Upaya perbaikan berkelanjutan dalam sistem perpajakan baik dari sisi administrasi maupun kebijakan terus dilakukan dengan menyesuaikan dinamika dan situasi perekonomian. Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)  menjadi bagian penting dari reformasi perpajakan untuk membangun fondasi perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel, dalam jangka menengah dan panjang.  

Reformasi perpajakan melalui UU HPP diproyeksi mampu mendongkrak rasio pajak sebesar 0,8 persen terhadap PDB. Tanpa adanya reformasi dan UU HPP, rasio perpajakan 2021-2025 akan stagnan pada kisaran 8,4-8,6 persen PDB. Sedangkan dengan adanya reformasi dan implementasi UU HPP, rasio pajak diperkirakan mencapai 9,46-9,64 persen pada 2022 dan 9,76-10,12 persen PDB pada 2025.  

Penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen yang berlaku sejak 1 April 2022 merupakan salah satu amanat UU HPP.   

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan pengaturan terkait PPN merupakan bagian tak terpisahkan dari konsolidasi fiskal dan reformasi perpajakan, untuk mendukung penerimaan perpajakan yang optimal dan berkesinambungan.   

Urgensi perubahan  

Penyesuaian tarif PPN merupakan upaya optimalisasi penerimaan pajak untuk meningkatkan rasio pajak agar tercapai fondasi perpajakan yang kuat.  

Yustinus menerangkan sejak sistem PPN diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1984, belum pernah terjadi penyesuaian tarif. Data OECD Revenue Statistic menunjukkan 37 negara telah menaikkan tarif PPN dalam satu dekade terakhir.  

Sementara secara global tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia yang sebesar 15,4 persen dan juga lebih rendah dari negara lainnya seperti Philipina (12 persen), China (13 persen), Arab Saudi (15 persen), Pakistan (17 persen) dan India (18 persen).  

Direktur Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama menambahkan dari sisi efisiensi, masih tersedia ruang yang cukup besar untuk mengoptimalkan pemungutan PPN di Indonesia. Yoga menerangkan c-efficiency PPN Indonesia masih berkisar di 63,58 persen. Artinya Indonesia baru bisa mengumpulkan 63,58 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.   

Hal tersebut dikarenakan masih terdapat barang dan jasa yang belum tercatat ke dalam sistem pajak serta masih banyaknya fasilitas PPN yang diberikan.  

Adapun c-efficiency ratio berbeda dengan efficiency ratio. C-efficiency ratio tidak menggunakan seluruh PDB sebagai komponen perhitungan. Akan tetapi, menggunakan komponen konsumsi dalam PDB saja. Indikator ini dirasa lebih tepat untuk menggambarkan potensi penerimaan PPN yang sebenarnya.  

Perubahan UU PPN juga diperlukan lantaran tingginya tax expenditure (belanja perpajakan) yang didominasi oleh fasilitas PPN. Di 2019 saja fasilitas PPN tercatat mendominasi tax expenditure hingga 65 persen.   

Di samping itu, penyesuaian juga dibutuhkan untuk memperluas basis pemajakan baik melalui pengaturan kembali barang dan jasa non objek pajak serta pengurangan pengecualian dan fasilitas PPN, termasuk pengaturan kembali rincian kriteria fasilitas PPN. Namun proses ini dilakukan dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat dan dunia usaha. Tak lain agar lebih mencerminkan keadilan dan tepat sasaran.  

“Selama ini seluruh lapisan ekonomi masyarakat harus menanggung beban PPN yang sama, semestinya yang mengonsumsi barang atau jasa lebih banyak atau lebih eksklusif harus diatur secara terpisah agar tercipta keadilan dalam pemungutan pajak,” ujar Yustinus.  

Penyesuaian tarif PPN Yustinus berpendapat juga mencerminkan prinsip gotong royong, yaitu yang mampu membayar lebih besar dan yang tidak mampu dibantu. Masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku UMKM pun terus mendapat dukungan.   

Sesuai momentum 

Menurut Yustinus penyesuaian tarif PPN berlangsung pada momen yang tepat. Selama menghadapi hantaman pandemi Covid-19, APBN menjadi instrumen utama untuk melindungi masyarakat dan memulihkan ekonomi. Defisit anggaran diperlebar melampaui batas tiga persen PDB. APBN menjadi bantalan sehingga ekonomi nasional tidak terperosok dalam. Kerja keras APBN di 2021 terbukti mampu membawa ekonomi Indonesia bahkan lebih baik dari kondisi pra pandemi.   

Seiring momentum pemulihan ekonomi Indonesia yang terus bergerak positif, sangat penting untuk mempersiapkan landasan yang kondusif bagi konsolidasi fiskal di 2023, di mana APBN harus kembali kepada relnya dengan defisit anggaran kembali pada level maksimal tiga persen sesuai amanat UU 2/2020. 

Aspek kesehatan keuangan negara tersebut tidak boleh diabaikan. Sehingga APBN bisa berkelanjutan. Dalam mencapai struktur APBN yang kuat maka fondasi perpajakan juga harus terus dibangun. Implementasi penyesuaian tarif PPN ini dipastikan tidak akan mengganggu proses pemulihan ekonomi. 

Yustinus mengungkapkan waktu penyesuaian tarif PPN telah disepakati bersama antara pemerintah dan DPR dengan tetap berpegang pada kondisi ekonomi yang terjadi. Jika penundaan dilakukan, menurut dia hasilnya belum tentu akan sesuai dan seefektif jika aturan ini dilaksanakan sesuai kesepakatan. 

Yustinus juga menambahkan hilir kenaikan tarif ini adalah gotong royong untuk membantu masyarakat melalui berbagai bantuan sosial (bansos). 

 “Jika ditunda, program-program perlindungan sosial akan turut terimbas. Potensi penerimaan negara juga akan semakin rendah, sementara belanja perlindungan sosial masih menjadi kebutuhan utama di tengah pandemi,” jelasnya. 

Meniti keseimbangan 

Yustinus menyampaikan Pemerintah akan terus merumuskan kebijakan yang seimbang untuk menyokong pemulihan ekonomi, membantu kelompok rentan dan tidak mampu, mendukung dunia usaha terutama kelompok kecil dan menengah, dengan tetap memperhatikan kesehatan keuangan negara untuk kehidupan bernegara yang berkelanjutan. 

“Pemerintah tetap menganalisis dampak penyesuaian tarif ke kelompok berpendapatan rendah. Barang dan Jasa tertentu tetap diberikan fasilitas bebas PPN dan tidak dikenakan PPN,” tuturnya. 

Dalam melaksanakan UU HPP, Pemerintah sepenuhnya mempertahankan fasilitas PPN yang saat ini berlaku (existing). Barang/jasa yang semula non barang kena pajak/non jasa kena pajak dan menjadi barang kena pajak/jasa kena pajak menurut UU HPP, diberikan fasilitas pembebasan PPN. 

Sehingga meskipun merupakan barang dan jasa kena pajak, masyarakat berpenghasilan kecil dan menengah tetap tidak akan membayar PPN atas konsumsi barang dan jasa tersebut sebagaimana yang berlaku saat ini. 

Kriteria dan jenis barang kebutuhan pokok yang sebelumnya telah berlaku seluruhnya diberikan fasilitas bebas PPN. Jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja juga diberikan fasilitas dibebaskan. Begitu pula dengan minyak bumi, gas bumi (gas melalui pipa, LNG, dan CNG) dan panas bumi. Serta emas batangan dan emas granula.  

Kemudahan dan kesederhanaan dalam pemungutan PPN juga tetap akan diberikan kepada jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu melalui penerapan tarif khusus (PPN Final) 1 persen, 2 persen atau 3 persen dari peredaran usaha. Misalnya kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN 2,2 persen, hasil pertanian tertentu 1,1 persen, penyerahan kendaraan bermotor bekas 1,1 persen, jasa pengurusan transportasi 1,1 persen. 

Tetap berpihak pada masyarakat 

Sebagai bagian dari reformasi perpajakan, penyesuaian tarif PPN juga dibarengi dengan berbagai dukungan untuk masyarakat ekonomi rentan dan UMKM. Antara lain penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi atas penghasilan kena pajak Rp50 juta sampai dengan Rp60 juta dari 15 persen menjadi 5 persen. Lalu pembebasan pajak untuk wajib pajak orang pribadi pelaku UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta. Layanan restitusi PPN dipercepat sampai dengan Rp 5 miliar pun tetap diberikan. 

Sebaliknya, Yustinus menjelaskan Pemerintah juga memperkuat prinsip kegotong-royongan dengan menaikkan tarif PPh Orang Pribadi lapis tertinggi dari 30 persen menjadi 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar setahun. Sementara pemerintah juga tetap mempertahankan tarif PPh Badan di level 22 persen. Serta mengenakan pajak karbon untuk mendukung kelestarian lingkungan. 

Tak hanya itu, hingga saat ini Pemerintah juga terus memberikan dukungan berupa insentif perpajakan bagi pelaku usaha dan wajib pajak melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pada 2022 total anggaran PEN dialokasikan sebesar Rp455,62 triliun. 

Di samping dukungan perpajakan, Yustinus menambahkan Pemerintah melalui APBN juga tetap melanjutkan dan akan memperkuat dukungan bagi masyarakat berupa perlindungan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat dan kondisi perekonomian nasional. 

“Pemerintah terus mencermati dinamika geopolitik dan perekonomian global yang berdampak pada beban yang dipikul masyarakat. Maka program perlindungan sosial dilanjutkan dan diperkuat melalui berbagai skema sehingga menjadi bantalan pada masa pemulihan ekonomi,” kata Yustinus. 

Kerek penerimaan 

Yoga mengatakan kenaikan tarif PPN akan memberi ruang bagi peningkatan penerimaan pajak. Menurut Yoga kenaikan tarif PPN diproyeksi berpotensi menaikkan penerimaan pajak  dalam sembilan bulan ke depan sebesar Rp44 triliun yang terdiri dari PPN tarif umum sebesar Rp40,7 triliun dan PPN tarif khusus Rp 3,7 triliun.  

Sedangkan kenaikan tarif PPN diprediksi tidak berdampak signifikan terhadap inflasi, yaitu hanya sebesar 0,4 persen. 

“Bahwa mungkin nanti tingkat inflasi bisa di atas itu, nah ini yang kita lihat bahwa memang karena harga komoditas global segala macam juga meningkat. Mudah-mudahan inflasinya tetap terkendali. Tetapi dari sisi kenaikan tarif PPN sendiri ini tidak memberikan dampak yang signifikan,” beber Yoga.  

Senada, Yustinus menegaskan penyesuaian tarif PPN menjadi 11 persen di tahun 2022 merupakan amanat dari UU HPP. Penyesuaian ini sangat penting dan dibutuhkan untuk membangun fondasi pajak yang kuat dan adil pascapandemi. Serta menjaga kesinambungan fiskal jangka panjang.   

Penyesuaian tarif PPN ini Yustinus berujar diharapkan dapat mendongkrak rasio penerimaan pajak terhadap PDB. Serta rasio pajak di tahun 2022 diharapkan meningkat menuju 2 digit. 

“Penerimaan pajak ini tetap difokuskan untuk distribusi program-program sosial seperti program bantuan sosial pemerintah, penebalan perlindungan sosial, program vaksinasi, dan lain sebagainya,” pungkasnya. 


CS. Purwowidhu