Kinerja APBN Baik, Jadi Bantalan Redam Guncangan

1 November 2022
OLEH: Dara Haspramudilla
Kinerja APBN Baik, Jadi Bantalan Redam Guncangan
 

Saat ini ekonomi global sedang tidak baik-baik saja. Beberapa negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa mengalami inflasi yang tinggi. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia juga dikoreksi ke bawah. Untuk tahun 2022, proyeksi dari World Economic Outlook IMF hanya 3,2 persen dan tahun depan pertumbuhan ekonomi dunia juga diperkirakan akan semakin melemah di angka 2,7 persen. Dengan inflasi yang cenderung tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang menurun, ini memberikan sinyal bahwa situasi ekonomi dunia cukup tertekan.

Namun demikian, kondisi Indonesia masih relatif resilien dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2022 tetap di 5,3 persen dan proyeksi di tahun 2023 berada pada angka 5,0 persen. Dari kinerja APBN hingga kuartal ketiga ini pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kuat. Penerimaan negara masih tinggi dan ini memperlihatkan pemulihan ekonomi yang terus terjaga, kontribusi harga komoditas yang masih di level relatif tinggi serta dampak positif dari berbagai kebijakan pemerintah.

Hingga September 2022 penerimaan pajak tumbuh 54,2 persen atau mencapai Rp1.310,5 triliun (88,3 persen dari target). Mayoritas jenis pajak juga menunjukkan kinerja yang baik di mana beberapa diantaranya sudah hampir mendekati target 100 persen dari pagu. Untuk PPh nonmigas dan PPh migas berturut-turut berada pada angka Rp723,3 triliun (96,6 persen dari target) dan Rp62,3 triliun (96,4 persen dari target). Besar potensi kedua jenis pajak ini akan mencapai atau bahkan melebihi target. Sementara, untuk PPN & PPnBM sudah mencapai 78,9 persen serta PBB & Pajak Lainnya juga diperkirakan dapat mencapai target jika terus diakselerasi.

Penerimaan pajak hingga September 2022

“Di Perpres 98 tahun 2022 kita sudah menaikkan targetnya, tapi mungkin akan tetap lebih tinggi lagi. Optimisme penerimaan pajak yang sangat tinggi ini menggambarkan harga komoditas masih bagus, pertumbuhan ekonomi Indonesia momentumnya menggeliat yang menimbulkan penerimaan pajak, dan juga implementasi dari undang undang HPP kita yang cukup baik,” tutur Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN Kita yang digelar pada 11 Oktober 2022.

Hal senada juga diungkap oleh Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia. Menurutnya kemungkinan besar realisasi penerimaan negara akan jauh melampaui target, bahkan bisa 110 persen. Hal ini ditopang dari penerimaan pajak baik dari domestik maupun perdagangan internasional di mana keduanya mengalami peningkatan yang cukup tajam. Selain itu, Faisal menyatakan bahwa manufaktur juga turut berkontribusi dalam peningkatan penerimaan negara.

“Dari data perdagangan ekspor impor kita, value-nya memang naik ya karena harga-harga tahun ini untuk komoditas andalan ekspor kita naiknya luar biasa. Bahkan batubara itu sampai sekarang masih sangat tinggi. Walaupun sebetulnya tidak melulu dari harga komoditas saja. Beberapa manufaktur itu juga meningkat ekspornya, terutama manufaktur yang di-drive oleh investasi di industri hilir tambang. Salah satu manufaktur yang masih terus tinggi, terutama di ekspor logam dasar. Jadi ada dua ya harga komoditas yang paling utama, tapi yang manufaktur khususnya yang logam dasar itu memang masih tinggi sekali. Itu ekspornya, itu mempengaruhi penerimaan tentu saja,” tambah Faisal.

Meski demikian, Menkeu menambahkan bahwa di bulan September 2022 ini pertumbuhan penerimaan pajak hanya 28 persen. Angka ini cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan empat bulan terakhir levelnya tergolong rendah. Tren yang menurun ini juga patut diwaspadai.

Belanja negara: lindungi ekonomi dan masyarakat

Di tengah gejolak geopolitik Rusia Ukraina dan tekanan ekonomi global, ekonomi Indonesia saat ini masih dalam posisi yang relatif baik. Hal ini tidak terlepas dari peran APBN yang menjadi instrumen yang meredam dampak dari guncangan global sehingga ekonomi dan masyarakat terlindungi. Terlebih lagi saat ini Covid-19 sudah semakin terkendali sehingga alokasi belanja APBN dapat difokuskan untuk anggaran belanja yang dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat.

“APBN telah membelanjakan sebesar Rp1.913,9 triliun atau mencapai 61,6 persen dari total pagu. Hingga akhir September 2022, anggaran sebesar Rp307,1 triliun sudah disalurkan langsung kepada masyarakat penerima manfaat melalui berbagai program diantaranya program keluarga harapan (PKH), kartu sembako, BLT minyak goreng, subsidi bunga KUR, bantuan tunai untuk pedagang kaki lima dan BLT desa,” terang Menkeu.

Perkembangan penyaluran perlinsos tambahan BLT, BBM dan dukungan APBD

Menurut Faisal, dampak dari tekanan ekonomi global bisa bermacam-macam, tetapi yang paling terasa adalah dampak terhadap inflasi. Inflasi yang pertama terjadi karena disrupsi suplai. Lalu ketika harga barang dari negara asal sudah naik dan ketika barang tersebut diimpor, harganya pun menjadi lebih mahal lagi ketika dikurskan ke Rupiah. Jadi, dampak inflasi tersebut terasa hingga ke dalam negeri. Hal ini berarti importing inflation-nya besar.

“Dalam kondisi seperti ini, salah satu fungsi kebijakan fiskal adalah menjadi tameng atau shock absorber. Ini bisa berupa cash transfer sebab ketika harga naik, kalangan bawah yakni 40 persen masyarakat berpendapat paling rendah adalah yang paling terdampak. Kemampuan mereka memenuhi kebutuhan dasar seperti makan akan tergerus. Maka, dalam kondisi tersebut bansos berpengaruh besar,” ujar Faisal.

Meski demikian, ia menambahkan bahwa di luar bansos ada hal yang lebih penting untuk bisa dilakukan oleh kebijakan fiskal dalam perannya sebagai shock absorber. Menurutnya, kebijakan fiskal memiliki dua fungsi dalam shock absorber yakni curation dan prevention. Pemberian bansos lebih ke curation, sementara untuk sisi prevention yakni peran APBN untuk menghindari inflasi belum dioptimalkan.

Kalau bansos kan inflasi sudah terjadi, kemudian dikompensasi dengan bansos. Akan tetapi, sebelum itu terjadi, sebetulnya ada peran kebijakan fiskal untuk menghindari peningkatan dari sisi inflasinya. Sebetulnya memang ada opsi untuk itu, untuk menghindari inflasi yang lebih tinggi melalui kebijakan fiskal, yaitu menambah subsidi untuk supaya BBM-nya tidak naik harganya. Nah itu prevention,” tambahnya.

Namun demikian, dalam konpers APBN Kita, Menkeu menjelaskan bahwa belanja nonK/L didominasi oleh subsidi, kompensasi, dan berbagai program yang menggambarkan bagaimana APBN menjadi pelindung atau perisai terhadap gejolak global.

“Di tahun 2022, alokasi kompensasi melonjak dari hanya Rp18,5 triliun menjadi Rp293,5 triliun. Ini terutama untuk kompensasi listrik dan BBM, dua komoditas yang mengalami kenaikan sangat tinggi. Begitu juga dengan anggaran subsidi yang mengalami kenaikan dari Rp207 triliun ke Rp283,7 triliun,” jelas Menkeu.

Realisasi belanja non-K/L per 30 September 2022 

Selain untuk membiayai anggaran subsidi BBM, LPG, dan listrik, alokasi anggaran subsidi juga diberikan untuk subsidi perumahan, kartu Prakerja dan penyaluran kredit usaha rakyat (KUR). Penyaluran KUR yang sudah mencapai Rp269 triliun diberikan untuk mendorong dan membantu pemulihan ekonomi dari usaha-usaha kecil.

Strategi pemerintah turunkan utang, tepat!

Kondisi penerimaan negara yang sangat kuat dan dengan belanja negara yang masih perlu diakselerasi membuat defisit APBN mengalami penurunan. Hal ini juga turut mempengaruhi penerbitan surat utang negara yang juga turun signifikan. Hingga September 2022, realisasi pembiayaan melalui penerbitan utang turun 26 persen. Strategi ini sangat tepat dan sesuai dengan dinamika ekonomi global yang risikonya mulai bergeser.

“Ini merupakan strategi yang tepat karena tendensi dari kondisi global yang risikonya bergeser kepada inflasi yang tinggi, suku bunga yang cenderung tinggi, dan dolar yang menguat. Ini akan memberikan kecenderungan volatilitas di pasar keuangan, termasuk pasar surat berharga. Cost of fund menjadi naik. Jadi kalau kita responsnya adalah dengan menurunkan penerbitan surat berharga ini berarti kita menghindarkan dari risiko gejolak global yang sangat tinggi,” tutur Menkeu.

Hal senada juga disampaikan oleh Faisal. Menurutnya langkah menurunkan penerbitan utang tepat dilakukan dalam kondisi dan situasi saat ini. Selain itu, penurunan utang ini juga tidak terlepas dari kinerja penerimaan APBN yang sangat baik tahun ini.

“Tepat menurut saya sebab risiko sedang meningkat. Jika utang bertambah maka risiko utang dan pembiayaan utang menjadi lebih mahal. Jadi penurunan utang memang hal yang semestinya dilakukan. Namun, ini juga sebetulnya sejalan dengan kinerja penerimaan APBN yang pada tahun ini yang mengalami peningkatan luar biasa. Jadi konsekuensi logisnya, ketika ada tambahan penerimaan, kebutuhan utang juga jadi lebih rendah kan sebetulnya,” pungkas Faisal.