Lulusan MIT yang jadi Enterpreneur, Nyoman Anjani, Founder Gently Indonesia

16 Maret 2023
OLEH: Irfan Bayu
Lulusan MIT yang jadi Enterpreneur, Nyoman Anjani, Founder Gently Indonesia
 

Nyoman Anjani, lulusan awardee LPDP dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini mengembangkan sebuah bisnis skin care untuk bayi lewat Gently Indonesia yang ia rintis bersama suaminya dengan tujuan memberikan manfaat yang lebih luas sesuai prinsipnya “bukan lagi tentang aku".

Darah teknik dari bumi parahyangan

 Nyoman Anjani, lebih dikenal dengan Nyoman, merupakan wanita jelita khas bumi parahyangan. Nama Nyoman disematkan ayahnya yang keturunan Bali, tapi Nyoman sendiri adalah asli Bandung yang lahir dan tumbuh di kota kembang. Nyoman kecil sudah dibekali ajaran bab teknik oleh ayahnya. ‘Jika ingin Indonesia Maju, industrinya juga harus maju’. Kata-kata itu yang membuatnya seperti jatuh cinta pada dunia teknik. Tak heran, orang tua Nyoman adalah insinyur lulusan ITB (Institut Teknologi Bandung). Sang Ibu di teknik industri, sementara Ayahnya seorang pensiunan profesor di ITB  teknik mesin. Seperti telah digariskan, Nyoman waktu itu memilih teknik mesin ITB selepas menyelesaikan bangku SMA-nya.

 “Jadi daripada saya terlalu spesifik, saya ambil saja teknik yang bisa masuk ke industri manapun. Akhirnya saya SNMPTN, (dan) akhirnya keterima di ITB,” terang Nyoman saat ditanya mengapa memilih teknik mesin. Saat Nyoman menimba ilmu sarjananya di jurusan yang didominasi lelaki, bukan berarti Nyoman menjadi inferior. Kehidupan studinya tak surut dari prestasi, salah satunya Nyoman didaulat menjadi Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (K3M) ITB 2013/2014.

 Setelah mendapat gelar sarjananya 2014 silam, Nyoman diterima bekerja di perusahaan yang namanya sudah cukup kondang di Indonesia. Nyoman bekerja selama 5 tahun dengan posisi yang berbeda-beda, mulai dari manufacturing sampai di bagian supply chain. “Di tahun ketiga saya bekerja, saya sudah merasakan saya sepertinya butuh S2 nih untuk bisa meningkatkan kemampuan saya dan juga meningkatkan karier saya. Saya berpikir kalau S2 harus sekalian dapat sekolah terbaik di dunia. Saya cari-cari dan memutuskan untuk ke Amerika,” jelas wanita kelahiran 1990 ini.

 Nyoman memilih melanjutkan pendidikan lewat LPDP. Nyoman mempersiapkan pendaftarannya sembari paralel bekerja. “Saya meluangkan waktu kosong pulang kerja di malam hari dan subuh sebelum kerja untuk belajar, untuk preparation,” terangnya. Nyoman mencoba pada tahun 2018, namun masih gagal. Skor bahasa Inggris yang belum mencukupi menjadi persoalan. Tak putus asa, di tahun berikutnya Nyoman kembali mendaftar dan berhasil mendapatkan beasiswa, seperti impiannya, MIT (Massachusetts Institute of Technology) yang merupakan salah satu sekolah terbaik di dunia menjadi candradimuka baru untuknya. Master of Science in Engineering and Management menjadi pilihannya di MIT.

 Tak melulu kesulitan, banyak pula benefit yang ia rasakan saat menimba ilmu di negeri Paman Sam. MIT yang merupakan universitas ranking wahid di dunia memiliki fasilitas, tenaga pengajar, dan kurikulum yang jauh di atas rata-rata. Berada di lingkungan orang cerdas juga meningkatkan semangat belajarnya. (Foto: Dok.Pribadi)

Culture shock dan sekolah terbaik di dunia

 Dengan predikat salah satu universitas terbaik dunia, perkuliahan pun tidak main-main. Tugas, paper, case study, serta rumus-rumus khas engineering menjadi makanan sehari-hari Nyoman. “Berat banget S2 itu, bahkan lebih capek dari kerja kalau yang saya rasakan,” kata Nyoman yang juga mengikuti cross registration di Harvard Bisnis School. “Saya bisa mengerjakan itu (tugas) sampai tengah malam jam 1 baru tidur, jam 2 baru tidur, terus jam 7 harus ke kampus lagi buat kuliah,” sambungnya.

 Menurutnya bersekolah di luar negeri sangat menantang. Nyoman juga menyebutkan jika ada gap knowledge antara apa yang dipelajari di Indonesia dengan pendidikan di sekolah besar seperti MIT dan Harvard, mahasiswa harus belajar dan membaca lebih banyak untuk mempersempit gap tersebut.

 Saat berkuliah Nyoman juga sempat terkena imbas pandemi Covid-19. Selain pandemi, culture shock juga menjadi hal yang harus dihadapinya. Nyoman yang merasa sudah sangat aktif berbicara selama pendidikan sarjananya dibuat kaget dengan kebiasaan orang “bule” yang ternyata lebih aktif dan lebih percaya diri darinya.

 ”Mereka tidak takut dianggap (melontarkan) pertanyaannya bodoh. Jadi ketika kuliah tuh, dosen lagi ngajar, mereka akan angkat tangan buat bertanya. Kalau di Indonesia kan biasanya di akhir kuliah, dosen tanya “ada yang mau bertanya?” Kita kan biasanya diam,” jelas Nyoman sambil melontarkan senyum. Orang barat yang lebih individualis berbeda dengan mahasiswa Indonesia yang guyub dan memiliki banyak perhimpunan. Menurut Nyoman hal ini juga menjadi salah satu culture shock yang ia rasakan.

 Tak melulu kesulitan, banyak pula benefit yang ia rasakan saat menimba ilmu di negeri Paman Sam. MIT yang merupakan universitas ranking wahid di dunia memiliki fasilitas, tenaga pengajar, dan kurikulum yang jauh di atas rata-rata. Berada di lingkungan orang cerdas juga meningkatkan semangat belajarnya. 

 Nyoman merasa bersyukur bisa merasakan semua itu lewat beasiswa LPDP. Namun favoritnya adalah ajang business conference. “Business conference itu suatu konferensi di mana si student bisa bertemu dengan investor. Dan ternyata yang saya temukan di sana itu banyak sekali investor asing ingin bisa invest ke Indonesia dan mencari orang Indonesia yang sekolah ke Amerika dan ingin balik ke Indonesia untuk membangun startup atau perusahaan,” jelas Nyoman.

 Menariknya lagi jika mahasiswa itu memiliki ide startup dan mengajukan proposal, mereka akan diberi modal $2500 sampai $5000 untuk mengaktualisasikan idenya, beserta mentor dari profesor atau alumnus MIT. “Jadi ekosistemnya itu sangat mendukung mahasiswa untuk berinovasi dan membuat wirausaha”, tambah Nyoman yang berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 2021 gelar Master of Science in Engineering and Management.

Dalam masa pencarian ide usahanya, Nyoman dihadiahi dengan sebuah kehamilan. Dia kemudian terpikir sulitnya mencari produk-produk skin care atau personal care untuk merawat bayi atau anak-anak dengan kualitas baik, berkhasiat, namun dengan harga terjangkau. (Foto: Dodi Ahmad)

Menjadi entrepreneur

 Semua hal yang berjalan pastilah memiliki sebuah makna di dalamnya, Nyoman mengaku terbuka wawasannya ketika berjuang di negeri seberang. “Oke saya sudah punya gelar master dari Amerika terus saya kerja jadi karyawan, saya bisa aja. Tapi kan impact yang dihasilkan ke masyarakat nggak ada. Kita cuma dapat gaji besar buat kita sendiri”, jelas wanita berhijab ini. Indonesia juga dikenal mempunyai market sangat besar, serta menjadi dambaan para investor yang ingin menyebar benih-benih bisnisnya. 

 Selain itu, Nyoman yang saat itu telah menikah dan merasakan LDM (long distance mariage) ingin bisa bekerja dengan tidak banyak meninggalkan keluarga. “Saya masih S2 di Amerika, nelpon suami saya ‘udah kamu berhenti (dari usaha saat ini), kamu wirausaha yang sekarang silakan kerjain, tapi habis ini bantuin aku ya bikin usaha bareng,” kenangnya menirukan keadaan saat itu.

 Dalam masa pencarian ide usahanya, Nyoman dihadiahi dengan sebuah kehamilan. Dia kemudian terpikir sulitnya mencari produk-produk skin care atau personal care untuk merawat bayi atau anak-anak dengan kualitas baik, berkhasiat, namun dengan harga terjangkau. Maklum saja untuk produk-produk tersebut kebanyakan masih didominasi brand premium dengan harga melejit dari luar negeri. Sementara brand lokal yang ada dengan harga murah belum bisa maksimal memberikan efikasi atau khasiat pada penggunanya. “Akhirnya saya lihat di situ ada opportunity, ada gap. Akhirnya saya menggunakan experience (ketika bekerja), network pabrik yang saya wawancara ketika (mengerjakan) master thesis, kenapa saya nggak bikin sendiri brand saya? Akhirnya saya bangun Gently (Gently Indonesia),” jelas ibu satu anak ini.

 Tak mudah untuk bisa sampai di tahap saat ini. Nyoman butuh waktu lama untuk melakukan RnD (research and development) produknya, mencari pabrik untuk produksi, supplier, serta berbagai persyaratan lain untuk sebuah produk. “Akhirnya saya launching produk di April 2022 kemarin. Jadi cukup panjang perjalanannya”, ucap CEO Gently Indonesia ini. Setelah anaknya lahir, Nyoman seperti punya motivasi baru lagi untuk bisa lebih mengembangkan usahanya, apalagi saat ini suaminya juga ikut membantunya.

 Nyoman menjelaskan, Gently Indonesia adalah Indonesia first health conscious direct to consumer brand for mom and baby care. “Kita tidak hanya natural dan save, tapi juga ada health benefit kepada si pengguna atau user,” terang wanita yang saat ini menjadi seorang wirausaha. Saat ini Nyoman telah memiliki 8 orang karyawan yang membantu operasionalnya.

 Nyoman walaupun memiliki background teknik mesin merasa semua yang telah diperjuangkan selama menempuh pendidikan tidaklah sia-sia. Logika berpikir dalam produksi menjadi bekalnya dalam mengembangkan usaha. Namun tetap saja ada hambatan dalam sebuah usaha, menurut Nyoman, hal yang menantang untuknya adalah tentang marketing, talent, serta distribusi barang yang masih harus ia pelajari.

Terbang bebas menuju dunia wirausaha dan meninggalkan sarang di dunia teknik bukanlah hal mudah. Namun di belakangnya Nyoman mengakui jika peran keluarga sangatlah penting untuk menguatkan sayapnya agar bisa terbang lebih tinggi lagi. (Foto: Dodi Ahmad)

Raja di tanah sendiri

 Terbang bebas menuju dunia wirausaha dan meninggalkan sarang di dunia teknik bukanlah hal mudah. Namun di belakangnya Nyoman mengakui jika peran keluarga sangatlah penting untuk menguatkan sayapnya agar bisa terbang lebih tinggi lagi. “Yang pasti bantuin ngurus anak kalau saya harus kerja keluar rumah lama, terus juga bahkan ayah saya juga suka ngasih modal dikit-dikit dulu di awal-awal buat ngejalanin usaha ini. Karena kita masih semua serba modal sendiri, bahkan rumah masih numpang orangtua, orangtua sangat perhatian terutama di tahap-tahap awal. Berwirausaha kan penghasilannya ‘nggak segede ketika jadi karyawan ya karena kita lebih mendahulukan gaji karyawan dibanding gaji diri sendiri,” ucap Nyoman. Menurutnya support keluarga sangat penting karena dengan itu Nyoman bisa fokus dan tenang dalam bekerja. Selain itu, sang suami yang juga membantu usahanya sekaligus menjadikan nilai positif bagi Nyoman.

 Nyoman berharap usahanya akan berkembang lebih besar. Dengan begitu, bisnisnya akan bisa menyerap lapangan kerja lebih luas. Dari sisi produk, Nyoman berharap bisa memberi khasiat yang baik serta health benefit hingga bisa dicintai konsumen khususnya untuk seluruh ibu dan anak Indonesia. “Jadi tentang manfaat, bagaimana memberi manfaat buat masyarakat luas, bukan cuma dari lapangan pekerjaan, tapi juga dari produk yang kita ciptakan,” ujar istri dari Ramadhan Satrio.

 Tak lupa Nyoman memberi pesan pada kita semua untuk bisa jadi raja di tanah sendiri. Berani berwirausaha selalu ia tekankan. Indonesia sendiri sebenarnya memiliki potensi besar. “Di Indonesia kita bisa ngasih lebih banyak manfaat buat keluarga kita, buat masyarakat yang lebih luas, memajukan Indonesia juga ketika kita bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru,” kata Nyoman. 

 ”Ini semua tentang manfaat yang bisa kita berikan selama kita hidup kepada orang di sekitar kita. Apa sih yang bisa kita tinggalkan atau berikan ke lingkungan kita setelah kita nggak ada di dunia ini?,” sambungnya lagi.

Untuk teman-teman yang sedang berusaha menggapai cita-cita melanjutkan pendidikan, Nyoman juga mengingatkan untuk tidak mudah menyerah. Semua orang punya kesempatan yang sama, siapa yang bisa memanfaatkan waktu dengan baik mereka akan berhasil.

 “Jangan cepat putus asa, kalau gagal coba evaluasi diri apa yang bisa diperbaiki lalu bangkit lagi. Jadi kalau sedih jangan berlarut-larut. Bangkit lagi aja dan yakin ketika kita usahanya keras dan berdoanya juga sungguh-sungguh, kita pada akhirnya pasti akan dapat hasil terbaik. Jadi usaha tidak pernah membohongi hasil, saya percaya banget itu”, pungkas Nyoman.