Menilik Sistem Logistik NLE

1 Maret 2023
OLEH: Resha Aditya Pratama
Menilik Sistem Logistik NLE
 

Rumit dan ruwet. Persepsi ini mungkin pernah menjadi top of mind dari sistem logistik Indonesia. Namun kini, hal tersebut mulai dibenahi melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional. Setelah dua tahun berjalan, berbagai terobosan yang berdampak pada efisiensi dari sisi biaya maupun waktu mulai terlihat nyata. Seperti apa perkembangan penataan ekosistem logistik nasional sekarang? 

Simak petikan wawancara Media Keuangan Plus dengan Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selaku Ketua Pelaksana Harian Tim Teknis Pengembangan National Logistics Ecosystem (NLE) , Rudy Rahmaddi, berikut ini.

 

Apa yang melatarbelakangi pembentukan NLE?

Sebelum membuat desain inisiatif NLE, kita terlebih dahulu melihat dan menilai problem dari kinerja logistik kita. Indonesia sebagai negara kepulauan maka secara default biaya logistiknya pasti akan lebih tinggi karena daratan-daratan ini dihubungkan dengan laut. Biaya logistik Indonesia jika dibandingkan dengan total PDB berada di kisaran 24% di tahun 2020. Apabila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand sebesar 20%, Filipina sebesar 13%, Malaysia sebesar 13%, dan Singapura sebesar 8%, maka biaya logistik Indonesia menjadi yang paling tinggi. Ini yang melatarbelakangi kita untuk membuat terobosan di tengah tantangan geografis kita sebagai negara kepulauan.

Dari sisi identifikasi, ditemui beberapa hal yang menjadi penyebab tingginya biaya logistik Indonesia, seperti duplikasi atau repetisi dari dokumen yang harus dikumpulkan ke instansi pemerintah pada point of entry atau point of exit pelabuhan ataupun bandara. Lalu kita melihat ada informasi yang tidak simetris antara supply dan demand logistik di Indonesia. 

Sebelumnya, tidak ada platform yang mengintegrasikan seluruh pelaku logistik baik penyedia jasa logistik maupun pembeli jasa logistik. Di sisi lain, kita juga melihat bahwa infrastruktur masih ada yang perlu terus dibangun. Ternyata semua bottle neck dan masalah tadi akhirnya terakumulasi yang menyebabkan tingginya biaya logistik Indonesia. Ini yang menjadi pertimbangan utama bagi tim untuk mengembangkan desain terobosan yang nantinya diharapkan dapat mengefisienkan biaya logistik dan bisa meningkatkan keandalan, kecepatan, dan kualitas kinerja logistik Indonesia.

 

Apa saja ruang lingkup yang menjadi fokus dari NLE?

NLE merupakan hasil kolaborasi dari seluruh unsur Kementerian/Lembaga di Indonesia, termasuk kerja sama dengan BUMN-BUMN. Kinerja logistik Indonesia bukan hanya tanggung jawab satu atau dua pihak saja. Kita juga melibatkan pihak akademisi untuk memotret di mana letak simpul-simpul sumbatan logistik. Pada tahap evaluasi, kita bekerja sama dengan lembaga independen untuk mengukur kinerja logistik setelah adanya terobosan NLE ini.

Fokus dari NLE dikelompokkan menjadi empat pilar. Yang pertama simplifikasi proses bisnis layanan pemerintah. Dalam hal ini yang banyak berperan adalah dari rekan-rekan Lembaga Nasional Single Window (LNSW). Jadi prosesnya yang tadinya sequence atau berurutan, kemudian kita buat terobosan bisa dilakukan bersama-sama melalui teknologi informasi. 

Salah satu terobosan yang kita buat adalah single submission. Hanya satu kali submit dokumen, nanti dokumen itu langsung didistribusikan oleh rekan LNSW kepada Kementerian/Lembaga yang memerlukan. Sebelumnya proses ini dilakukan seperti ban berjalan dan harus bertemu fisik. Ketika pertemuan fisik, tentu saja ada waktu dan biaya yang harus dikeluarkan. Poin ini yang dipangkas dengan menggunakan teknologi informasi. 

Di pilar kedua, ada kolaborasi platform logistik. Ini untuk menjawab permasalahan informasi yang asimetris. Lalu di pilar berikutnya adalah inisiasi kemudahan pembayaran melalui keterlibatan bank-bank negara atau Himbara. NLE menyediakan platform pembayaran, payment gateway. Pilar keempat adalah penataan tata ruang logistik. Tidak hanya di kawasan pelabuhan, tetapi menghubungkan pelabuhan dan bandara dengan sentra-sentra produksi atau sentra-sentra logistik. Salah satunya pelibatan jalur kereta api. 

Dari empat pilar ini, yang sudah selesai sampai 2022 baru dua pilar yaitu pilar kedua dan pilar ketiga. Untuk pilar pertama dengan progres 87,5% dan pilar keempat dengan progres 50% yang akan kita kebut pada tahun 2023 ini.

 

Tantangan apa yang dihadapi dalam penerapan NLE?

Simplifikasi proses bisnis dan pembangunan infrastruktur membutuhkan waktu dan perlu banyak diskusi dari semua pihak. Namun, keduanya terus kita lakukan dan sekarang kita juga sudah melihat fakta bahwa NLE ini menghasilkan efisiensi-efisiensi dari sisi biaya dan waktu, termasuk testimoni dari pengguna jasa.

Tantangan berikutnya adalah membangunkan trust dari pelaku usaha, termasuk juga dari Kementerian/Lembaga. Keterlibatan seluruh pihak pada rantai pasok logistik nasional menjadi satu sistem ekosistem pada akhirnya akan menguntungkan semuanya. Itu value proposition dari ekosistem logistik nasional. Merubah dari tantangan kemudian menjadi peluang dengan mengidentifikasi value proposition dari masing-masing pilar tersebut. Ini yang kita sebut sebagai changes challenges to opportunity.

 

Sampai Desember 2022, implementasi dari NLE sudah dilakukan efektif di 14 pelabuhan seluruh Indonesia yaitu Belawan, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Merak, Batam, Tanjung Priok, Pontianak, Tanjung Emas, Balikpapan, Tanjung Perak, Samarinda, Bandara Juanda, Kendari, dan Makassar. (Foto:Shutterstock)

 

Setelah 2 tahun sejak NLE terbentuk, bagaimana tingkat efisiensi dan efektivitas layanan logistik di Indonesia saat ini?

Sampai Desember 2022, implementasi dari NLE sudah dilakukan efektif di 14 pelabuhan seluruh Indonesia yaitu Belawan, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Merak, Batam, Tanjung Priok, Pontianak, Tanjung Emas, Balikpapan, Tanjung Perak, Samarinda, Bandara Juanda, Kendari, dan Makassar. Ini yang kemudian akan kita perluas lagi di tahun 2023 dengan perluasan implementasi NLE ke 34 pelabuhan laut baru dan 12 bandara udara.

Untuk mengukur tingkat efisiensinya, secara paralel juga telah dilakukan survei. NLE bekerja sama dengan Tim Survei Independen (Prospera) yang berasal dari Australia. Prospera melakukan penelitian selama tahun 2022 dengan melakukan survei terhadap 1.041 responden pelaku logistik Indonesia. Pada saat ini, survei tersebut dilakukan pada 5 dari 15  layanan NLE yaitu layanan DO Online dengan efisiensi waktu 49,5% dan biaya 36,5%, layanan SP2 Online dengan efisiensi waktu 54,8% dan biaya 38,9%, layanan SSM QC dengan efisiensi waktu 28,9% dan biaya 24,6%, layanan Autogate dengan efisiensi 44,9% dan biaya 27%, dan yang terakhir layanan SSM Perizinan dengan efisiensi 33,48% dan waktu 22,37%. Tentu saja ini masih belum bisa mengukur keseluruhan kinerja dan dampak dari NLE. Seiring dengan waktu, kami bersama tim selalu memonitor, mengevaluasi, dan mengkalibrasi ekosistem logistik ini karena pekerjaan rumah kita masih banyak.

 

Apa target dan harapan dari penerapan NLE?

NLE sendiri sudah berjalan di tahun ketiga sejak diluncurkan di tahun 2020 melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2020. Tentu targetnya dalam jangka pendek adalah memperluas cakupan implementasi NLE ke berbagai pelabuhan laut dan bandara. NLE diharapkan akan melayani aktivitas internasional dan domestik sehingga manfaat dari NLE ini bisa segera inklusif dirasakan oleh semua pelaku usaha tidak hanya di pelabuhan dan bandara utama tetapi juga seluruh pelabuhan laut dan bandara  yang ada di Indonesia.

Tak hanya itu, kami juga memperluas cakupannya yang awalnya dari mempermudah atau memfasilitasi kelancaran pergerakan arus barang, sekarang kita mulai masuk pada kelancaran pergerakan penumpang. Kita juga kemudian terus meningkatkan utilisasi dari NLE ini terutama keterlibatan dari private sector. Harapannya semakin banyak yang memanfaatkan maka nanti juga akan menciptakan opportunity baru. 

Dari sisi financing, NLE ditargetkan akan terus menurunkan cost of fund karena yang terlibat semakin banyak. Semakin banyak pihak yang terlibat, efisiensi yang didapatkan diharapkan akan semakin luas. Sekarang pelaku logistik atau cargo owner bisa tracking posisi barangnya. Lalu, jika mereka ingin mengidentifikasi dan mendapatkan penyedia jasa logistik juga sudah ada di dalam satu platform yang informasinya ada semua di situ. Jadi akan lebih mudah dan lebih murah. Kalau itu semua bisa dilakukan maka dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama maka akan terakumulasi dalam komponen biaya logistik Indonesia yang semakin efisien dan lebih kompetitif dibandingkan negara-negara peers di kawasan Asia Tenggara. Harapannya seperti itu.

Target dari sisi angka biaya logistiknya, kita ingin jauh lebih kompetitif dibandingkan Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia atau minimal tidak menjadi yang terendah. Mungkin di kisaran 15%-20%. Itu menurut saya sudah sangat kompetitif dengan melihat bahwa kita merupakan negara kepulauan. Tentu ada ongkos “tambahan” logistik antar pulau dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain. Tetapi paling tidak dengan semua terobosan ini, target kita di bawah 20% dan harapannya di angka 15%.