Melihat Lebih Luas Lewat Mata Sri Melati, Difabel Netra Peraih Master dari University College London

Generasi Emas
16 Mei 2023
OLEH: Irfan Bayu
Melihat Lebih Luas Lewat Mata Sri Melati, Difabel Netra Peraih Master dari University College London

 

Dari sebuah semesta penuh warna dalam sekejap menjadi sebuah celah redup, itulah perjalanan hidup Sri Melati. Dari seorang dokter yang baru selesai mengabdi di pulau indah bernama Alor, sebuah penyakit yang menyerang membuat Imel, panggilannya, harus rela mengikhlaskan kedua matanya yang kini tak bisa melihat secara normal. Namun, Imel percaya dengan keadaannya saat ini dia mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk bisa berbagi dan melakukan hal benar lainnya. Dia bisa melihat hal baru sekaligus membuktikan bahwa dia bisa. Kehilangan salah satu indra utamanya tak membuat Imel berhenti menjadi diri terbaiknya dan tak pernah puas untuk belajar dan terus belajar.

Imel adalah wanita berhijab yang penuh semangat dan keramahan. Imel lahir 35 tahun lalu di Medan. Walaupun dia lahir di kota multikultural, Imel mengklaim jika dia adalah seorang pujasera atau Putra Jawa kelahiran Sumatra, karena keturunannya memang dari Jawa. (Foto: Irfan Bayu P.)

Menjadi Dokter di Alor

Jam masih menunjukkan pukul 10 pagi namun mentari sudah menusuk ketika kami tiba di sebuah rumah yang terlihat biasa dari luar dengan gerbang tertutup di jantung kota Medan. Tertulis di papan putih nama Yayasan Pendidikan Dwituna Haran Baru. Setelah dipersilahkan masuk dan menunggu beberapa saat, datang seorang wanita yang terlihat sedang mencari letak pintu di depannya dengan mata memandang jauh ke depan. Dia adalah Sri Melati, sosok yang kami tunggu sedari tadi. Bu Imel adalah panggilan yang biasa anak-anak lontarkan untuknya.

Imel adalah wanita berhijab yang penuh semangat dan keramahan. Imel lahir 35 tahun lalu di Medan. Walaupun dia lahir di kota multikultural, Imel mengklaim jika dia adalah seorang pujasera atau Putra Jawa kelahiran Sumatra, karena keturunannya memang dari Jawa. Imel adalah putri ke tiga dari empat bersaudara. Imel kecil tumbuh dalam kesederhanaan. Bisa dibilang Imel adalah anak yang cerdas. Di bangku SMA, ia menyelesaikan studinya hanya dalam waktu 2 tahun.

Lulus SMA, Imel berkuliah kedokteran di Universitas Sumatra Utara (USU). Imel sadar bahwa orang tua dan keluarganya punya harapan besar padanya, seorang dokter, pertama dan satu-satunya di keluarga besarnya. “Keluarga saya bukan dari keturunan dokter. Keluarga saya petani, bapak saya buka toko, abang saya kerja biasa, kakak saya guru. Makanya ketika saya (menjadi) dokter, harapan keluarga itu pasti besar”, terang Imel. Imel menjawabnya dengan lulus dalam kurun waktu 5 tahun, tepatnya di tahun 2009, waktu yang cukup cepat untuk jurusan ini. Dokter muda Imel sempat merasakan mengabdi di sebuah kota kecil di sebuah pulau di Alor sana. Pulau indah di timur Indonesia yang pesonanya saat ini sudah masyhur di telinga dunia. Saat itu tahun 2010, Imel menjadi seorang dokter di salah satu puskesmas di Pulau Pantar salah satu pulau kecil yang membentuk Alor. Hanya ada empat puskesmas di pulau itu dan hanya ada satu dokter di setiap areanya, Imel salah satunya. Dia mengabdi disana selama satu tahun sampai akhirnya dia harus kembali ke Medan.

Kini mata kiri Imel mengalami buta total, sedangkan mata kanannya masih bisa melihat cahaya seperti melihat layar laptop atau layar gawai. Imel masih mampu melihat, masih bisa membaca walaupun sangat sulit dan terbatas. (Foto: Irfan Bayu P.)

Menuju Cahaya Redup

Awan biru yang indah juga terkadang bisa berubah menjadi mendung dan hujan dalam sekejap. Tanpa aba-aba Imel merasa ada yang tak beres di kepalanya yang membuatnya harus dibawa ke rumah sakit. Seperti petir yang menyambar dalam kemelut awan hitam, pada 2011 dokter memvonis Imel menderita tubercolosis (TB). “Jadi saya kena yang namanya meningitis tuberkulosis. Jadi kuman TBC biasanya di paru, saya tidak di paru, saya nemplok kumannya di otak. Jadi meningitis jatuhnya. Jadi infeksi di otak gara-gara tuberkulosis”, cerita Imel. Hal itu pula yang membuat Imel tak berasa sedang sakit, tidak seperti TB biasa yang membuat batuk. Akibatnya, Imel terlambat memeriksakannya. Ternyata virus berbahaya itu sudah banyak merusak syaraf dalam kepala Imel. Operasi menjadi langkah selanjutnya. Tak berhenti seperti kisah dongeng yang berakhir bahagia, pasca operasi, Imel sempat mengalami koma selama 3 minggu. Ketika dia diberi kesempatan untuk terus melanjutkan hidupnya, bangun dari koma Imel tak mampu menggerakkan separuh badannya. Penglihatannya juga semakin buruk.

Karena kan saya koma, tekanan intrakranial saya meningkat mendesak ke rongga mata. Rongga mata saya terdesak, saraf di belakangnya itu juga terdesak, aliran darahnya terputus, mati. Syaraf nggak pakai darah, matilah saraf ini”, terang imel. Tak jelas apa yang dirasa dalam dadanya yang kian sesak mengetahui hal itu.

Sepintas mimpi yang sudah dia rangkai, harapan yang sudah tinggi, seperti dihempaskan ke bumi terdalam. “Jadi saya nggak bisa apa-apa, di tempat tidur aja lama itu, bingung. Sampai pada akhirnya, ya kebingungan ya sedih gitu lah ya. Saya nggak tahu. Mungkin keluarga lebih-lebih ya”, kenang Imel dengan raut muka yang berbeda dari sebelumnya.

Setelah Imel mampu bangun dan bergerak, dia berpikir jika hidup harus terus berjalan. Imel cukup lama di rumah, lima tahun dia habiskan. Dalam kurun waktu itu, Imel belajar bermacam masalah domestik rumahnya.

Saya bisa bangun dari tempat tidur, saya bisa mulai jalan segala macam, saya pegang sapu. Karena saya yakin kalau saya pegang sapu, otot saya akan gerak gitu, karena itulah mau saya, saya mau jalan, saya mau berdiri lagi, saya mau segala macam. Jadi saya harus kerja. Saya pegang sapu, saya sapu aja, gak ngerti saya itu mau ke mana. Mulai dari situ, saya pelan-pelan kerja rumah, itu tadi saya bilang belajar segala macam sambil jalan, saya bersihin rumah, ngepel, nyapu, nyuci, segala macam”, cerita Imel sambil diselingi senyum dan tawa kecil.

Kini mata kiri Imel mengalami buta total, sedangkan mata kanannya masih bisa melihat cahaya seperti melihat layar laptop atau layar gawai. Imel masih mampu melihat, masih bisa membaca walaupun sangat sulit dan terbatas. Bisa dibilang mata kanannya kini mengalami apa yang disebut dengan tunnel vision, seperti terowongan kecil. Diibaratkan jika orang tanpa disabilitas mampu melihat ke depan dengan diameter 100 meter, dia hanya bisa melihat seluas 10 centimeter saja. Dengan bantuan teknologi seperti screen reader, speech to text serta mode tunanetra yang ada di dalam gawainya, Imel masih bisa mengoperasikan dengan mulus.

Sudah cukup banyak obat dari dokter, pengobatan alternatif, sampai “orang pintar” yang Imel dan keluarga datangi, hingga Imel mencapai satu titik untuk selesai dengan masa lalu. “Kalau sudah ditentukan, sudah jalannya, mau nangis sampai berdarah mau gimana pun guling-guling nggak akan berubah”, kenang Imel.

‘Maju’ adalah kalimat dari seorang pendakwah yang membuatnya sadar untuk maju dan memulai hal baru dalam hidupnya. Namun, keluarganya ingin melakukan satu usaha terakhir untuknya. Dibawanyalah Imel ke Singapura. Sebelum berangkat, Imel sempat berkata seolah menegaskan jika ini adalah yang terakhir. Ia tidak akan mau untuk minum obat lagi. Imel merasa sudah cukup dengan semua itu dan ingin membuat hal baru. Seperti tahu keinginannya, dokter hanya memberi Imel tongkat untuk dia pelajari, serta wejangan untuk berkumpul dengan teman-teman tunanetra lainnya sebagai “obatnya”.

Pada 2016, Imel bergabung dengan Linda dan satu tahun setelahnya Imel, Linda serta tiga orang kawan tunanetra lainnya mendirikan sebuah SLBG (Sekolah Luar Biasa Ganda). Awalnya belum berbentuk sebagai yayasan ketika awal mereka merintisnya, dan baru pada 2019 terbentuklah Yayasan Dwituna Harapan Baru. (Foto: Tubagus P.)

Melihat Lebih Luas

Setelah lima tahun yang panjang ia habiskan di rumah, Imel mencoba hal baru dengan masuk ke Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) cabang Medan. Disana Imel bertemu Linda, seorang tunanetra dengan gelar sarjana, yang membuka gambaran baru untuknya. Linda saat itu membuka penitipan anak untuk anak dengan disabilitas serta menjadi guru disana sejak 2015. Imel yang sebelumnya berfikir bahwa tunanetra hanya sekedar menyanyi atau memijat, terbukti tidak sepenuhnya benar. Menjadi seorang guru menarik minatnya.

Pada 2016, Imel bergabung dengan Linda dan satu tahun setelahnya Imel, Linda serta tiga orang kawan tunanetra lainnya mendirikan sebuah SLBG (Sekolah Luar Biasa Ganda). Awalnya belum berbentuk sebagai yayasan ketika awal mereka merintisnya, dan baru pada 2019 terbentuklah Yayasan Dwituna Harapan Baru.

Saat ini Imel menjadi staf sekaligus guru di sana. “Jadi yayasan kami ini adalah sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki disabilitas ganda. Jadi satu anak itu bisa memiliki lebih dari satu disabilitas. Terkhusus lagi sebenernya itu fokusnya ke anak-anak dengan MDVI (Multiple Disability with Visual Impairment). Jadi anak-anak kami itu semuanya tunanetra, berbagai macam tunanetra. Mulai dari yang low vision sampai yang total. Kebanyakan sih yang total ya, dan ada pula yang memiliki disabilitas tambahan autisme, retardasi mental. Ada yang tidak bicara, ada yang kurang mendengar, ada yang jalannya kurang enak gitu. Jadi macam-macam jenis disabilitas. Kalau yang ganda, kita di sini pendidikannya berjenjang SD-SMP-SMA”, terang Imel dengan semangat.

“(Bayangkan) lima orang tunanetra ngajar anak tunanetra autis”, kata imel diikuti gelak tawanya. “Saya (awalnya) enggak pernah melihat ada anak dengan disabilitas ganda. Disabilitas ganda saya aja nggak paham itu apa? Ini ada guru tunanetra ngajarin anak tunanetra autis. Gimana caranya? Jadi kebukalah, oh (ternyata) bisa. Jadi saya (juga) belajar sama teman-teman di sini cara menjadi tunanetra yang baik. Saya belajar cara jalan, orientasi mobilitas, pakai tongkat, sekaligus cara mengajari anak-anak di sini. Sunguh di luar dugaan memang, namun hal itu benar adanya”, lanjutnya.

Awalnya hanya ada 5 orang guru sekaligus pendiri yayasan yang ada disitu, baru dua tahun terakhir mereka merekrut guru melihat untuk membantu mereka. Mereka menggunakan rumah di tengah perumahan sebagai yayasan. Rumah tiga lantai itu telah dimodifikasi sedemikian rupa agar ramah dengan penyandang disabilitas. Kamar-kamar yang lumayan banyak disulap menjadi ruang kelas kecil, studio musik hingga kantor administrasi. Kelima orang itu juga yang mengurus segala kebutuhan dan pekerjaan rumah, mulai dari menyapu, mengepel, cuci piring hingga memasak.

Semua perjuangan Imel di London berbuah manis, pada 2021 Imel berhasil menyabet gelar Master of Art dari UCL pada bidang special and inclusive education. (Foto: Dok. Pribadi)

Terbang ke Inggris

Pada 2018, Imel mencoba mendaftar beasiswa, yaitu untuk belajar bahasa Inggris dalam rangka persiapan IELTS dari Australia Award for Indonesia di Bali. Salah satu tahapannya adalah proses wawancara di Jakarta. Sebenarnya untuk tunanetra bisa membawa pendamping. Namun, bukan Imel jika tidak nekat. Dia ingin pergi sendiri ke Jakarta. Menurutnya jika tidak pada kesempatan ini, kapan lagi mengambil kepercayaan orangtua dan keluarganya bahwa dia bisa.

Berbekal dengan segala drama tangis dan ketakutan dari keluarganya, Imel nekat berangkat seorang diri. “Saya telepon orangtua waktu saya sudah di jalan lagi naik taksi. Saya baru bilang saat saya udah di jalan mau pulang. Jadi begitu nyampe di rumah, saya dipeluk, bisa pulang sendiri rupanya. Dari situ ketika saya bilang saya mau ke Jakarta (lagi), nggak ada lagi pertentangan. Udah pergi saya, pergi saja sendiri, jadi ya udah terima aja orangtuanya, sudah selesai begitu”, ucap Imel dengan bangga. Dan pada akhirnya Imel berhasil mendapatkan beasiswa itu.

Belum cukup, pada 2019 Imel mendaftar LPDP, tak tanggung dia memilih 3 kampus di Inggris sebagai target untuknya mendapat gelar master. Saat itu ujian dibagi tiga tahap, seleksi berkas, kemudian ujian tulis serta wawancara. Ujian tulis adalah tahap yang menurutnya sangat berat karena dia disamakan dengan orang tanpa disabilitas. Untuk soal gambar sudah pasti dia tak bisa, namun pada akhirnya dia berhasil lolos seleksi. Karena pengalamannya itu juga dia mencoba usul ke LPDP untuk menyesuaikan ujian bagi disabilitas yang berujung saat ini hanya ada seleksi berkas dan wawancara saja bagi para disabilitas.

Setelah dinyatakan lolos seleksi, Imel menuju University College London (UCL). Bukan tanpa halangan, tahun 2020, tahun pertama Imel kuliah, langsung dibuka dengan pandemi yang merebak di seluruh dunia yang menyebabkan Imel hanya mengikuti kuliah secara daring. Ketika pandemi sedikit mereda Imel berangkat sendirian ke Inggris. Sampai di sana Imel mendapatkan sedikit masalah di mana rumah yang akan dia tempati tidak mengijinkan tunanetra tinggal sendiri tanpa pendamping. Imel yang datang sendiri dibuatnya bingung. Namun akhirnya salah satu kenalan Imel saat wawancara di Jakarta yang kebetulan juga satu rumah dengannya membuat si pemilik melunak.

Tak hanya sampai disitu, Imel juga harus rela berlebaran sendiri di negeri orang. Silaturahmi daring serta bumbu rendang yang dibawanya dari tanah air saja yang sedikit menghiburnya. Dalam kehidupan sehari-harinya disana, Imel hampir melakukan semuanya sendiri, mulai dari mencari referensi, mengoperasikan komputer, mencuci, sampai memasak. Semua perjuangan Imel di London berbuah manis, pada 2021 Imel berhasil menyabet gelar Master of Art dari UCL pada bidang special and inclusive education.

Salah satu proyek utama yang dibawa Imel adalah Disability Inklusif Training, yaitu bagaimana cara berkomunikasi serta berinteraksi dengan penyandang disabilitas dengan baik. Karena menurut Imel, terkadang yang menjadi hambatan para penyandang disabilitas untuk move on adalah bagaimana orang berkomunikasi dengan mereka. (Foto: Irfan Bayu P.)

Disability Inklusif Training

Salah satu proyek utama yang dibawa Imel adalah Disability Inklusif Training, yaitu bagaimana cara berkomunikasi serta berinteraksi dengan penyandang disabilitas dengan baik. Karena menurut Imel, terkadang yang menjadi hambatan para penyandang disabilitas untuk move on adalah bagaimana orang berkomunikasi dengan mereka. Terkadang orang takut menyakiti sehingga mereka melebih-lebihkan, seperti kata “bentar lagi sembuh kok”, atau “sabar ya”, padahal para difabel lebih membutuhkan hal yang sifatnya melihat ke masa depan, bukan kata harapan yang mengembalikan ke mimpi masa lalu yang sebenarnya sudah selesai.

“Orang-orang dengan disabilitas itu dianggapnya belum setara. Masih dianggapnya itu lebih ke  charity. Dikasih bantuan, dikasihani. Belum dikasih kesempatan untuk bisa memberikan apa yang seharusnya bisa kami berikan. Memang ada hal-hal yang perlu diubah, hal-hal yang perlu ditambah dalam berkomunikasi berinteraksi dengan penyandang disabilitas, tapi saya harapannya itu bukan sebagai bentuk kasihan. Anggap saja seperti manusia biasa”, jelas Imel. Menurutnya difabel tidak perlu terlalu ditinggikan atau direndahkan. Mereka juga manusia biasa. Namun, komunikasi ke mereka yang mungkin agak berbeda, seperti menjelaskan ke tunanetra harus lebih mendetail dan tidak seperti pada orang tanpa disabilitas. Selain itu, hal lainnya menurutnya sama saja.

Sering Imel merasa jika disabilitas kurang diberi kesempatan. Sebagai contoh ketika dia ingin bersekolah lagi. Banyak yang berkata jika nanti Imel akan capek, Imel nanti akan kesusahan, nanti sakit, mau jadi apa sih dan sebagainya. Padahal yang mereka butuhkan hanya kesempatan untuk mencoba.

“Itu juga yang mau saya bawa di disability inklusif training itu. Kalau orang-orang yang menjadi disabilitas di usia dewasa bukan akhir segalanya, bukan kemudian di rumah saja. Lakukan sesuatu. Kalau dulunya dia kuliah, lanjut kuliah bisa. Kalau dulunya dia kerja, masih bisa kerja. Masih banyak tempat kerja yang bisa menerima disabilitas, walaupun harus saya bilang di Indonesia masih susah, tapi kalau mau insyaAllah bisa”, tegas Imel.

Apapun kondisinya, manusia itu sama saja menurut Imel. Baginya, poin penting adalah tentang bagaimana cara kita memandang diri sendiri dan kemanfaatannya untuk sesama. Imel mengajak kita untuk menjadi manusia seutuhnya yang lebih berfokus pada apa yang bisa kita lakukan, dan membuat dampak dan manfaat bagi sekitar. Penyandang disabilitas juga memiliki porsinya sendiri dalam melakukan kegiatan yang mereka mampu yang juga punya manfaat untuk masyarakat sekitar.

Imel selalu mengingatkan generasi muda untuk terus berusaha dan mencoba. “Karena yang akan berhasil adalah orang yang mau mencoba, yang nggak takut gagal, yang nggak takut kalah. Coba aja”, pesan Imel.

“Saya selalu menganggap disabilitas saya adalah kelebihan. Nggak banyak orang mendapatkan rezeki seperti saya. (Yang) awalnya melihat menjadi tidak melihat. Menurut saya itu rezeki. Dan itu bukan kesedihan, hanya jalan hidup saja. Kalau secara melihat pakai mata, ya saya redup. Tapi sekarang saya bisa melihat dengan lebih jelas. Siapa sih orang-orang di sekitar saya yang worthed, yang perlu untuk saya perhatikan. Now I can say that I have no regret for being blind. And I’m proud of myself, proud of what I’m doing now”, pungkas Imel bangga.