Perjuangan Nisa Sri Wahyuni Gagal 7 Kali Hingga Berhasil Raih Beasiswa LPDP

15 Agustus 2022
OLEH: Irfan Bayu
Perjuangan Nisa Sri Wahyuni Gagal 7 Kali Hingga Berhasil Raih Beasiswa LPDP
 

Nisa Sri Wahyuni merupakan salah satu anak bangsa yang berhasil menyelesaikan studi S2-nya di Imperial College London, Inggris. Siapa sangka jalan yang dilaluinya tidak semulus yang orang pikirkan. Total tujuh kali dia harus menemui kegagalan, sebelum akhirnya dia berhasil menjadi salah satu penerima beasiswa atau awardee LPDP.

Percobaan ke delapan di LPDP menjadi titik terangnya yang menghantarkan perempuan berhijab ini menuju Imperial College London. (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Berjuang Mencari Peluang

Lahir di keluarga sederhana tidak membatasi perempuan yang dipanggil akrab Nisa untuk bermimpi menjadi dokter. Kata-kata Soekarno, "Gantungkan cita-citamu setinggi langit maka jika kau terjatuh, kau akan jatuh di antara bintang-bintang”, sangat cocok dengan kehidupan pendidikan Nisa.

Meski akhirnya tidak sesuai dengan mimpinya untuk menjadi dokter karena keterbatasan biaya, Nisa berhasil masuk jurusan kesehatan masyarakat di Perguruan Tinggi melalui jalur Bidikmisi. Universitas Indonesia menjadi persinggahan Nisa dalam mencapai mimpinya. Tak tanggung-tanggung, dia berhasil menyelesaikan pendidikannya hanya dalam waktu 3,5 tahun saja, waktu yang cukup singkat untuk jurusan tersebut. Jalur Bidikmisi yang ia ambil cukup meringankan beban kedua orang tuanya. Nisa yang memang sedari awal mengincar beasiswa untuk kuliahnya berlanjut sampai dia lulus dan mencari tempat singgah selanjutnya untuk belajar. Yang ia tuju pertama adalah LPDP. "Setelah lulus S1-pun akhirnya exposure yang paling banyak di diri aku itu adalah beasiswa LPDP", jelas Nisa.  

Perjalanannya untuk bisa menjadi awardee LPDP tidak mudah. Pertama kali ia mencoba di tahun 2017, ia harus dihadapkan dengan kegagalan karena nilai IELTS-nya yang tidak memenuhi syarat. Tak patah arang, dia kembali mencoba berbagai beasiswa lainnya, namun hasilnya masih belum beruntung. Total tujuh beasiswa telah dicobanya dengan hasil yang sama. "Tapi memang aku tipikal yang kalau sudah berusaha, (akan) terus sampai bener-bener limit gitu. Jadinya aku tidak menyesali apa yang sudah aku perjuangkan selama dari lulus 2017 itu. Dan Alhamdulillah dikasih di akhir 2018", terang Nisa.

Percobaan ke delapan di LPDP menjadi titik terangnya yang menghantarkan perempuan berhijab ini menuju Imperial College London. Namun, hal itu juga tak semulus kedengarannya. IELTS menjadi protagonis yang hampir menggagalkan rencananya. Ikhtiarnya yang sampai menuju Yogyakarta dan Surabaya untuk meningkatkan kemampuan IELTS-nya, dan 5 kali pengujian, hingga ia berhasil memperoleh nilai 6,5 pun belum mampu meluluskannya. Ini karena kampus yang ia tuju mematok angka 7 sebagai standar skor IELTS.

"Akhirnya di minggu pertama bulan September, Aku melihat ternyata di peraturan Imperial itu ada tulisan: Jika ada kontribusi yang signifikan di bidang yang kita geluti (maka bisa untuk menambah nilai)", jelas Nisa. Dia kemudian teringat tentang kegiatannya berkecimpung dalam organisasi kesehatan untuk membantu para pasien kanker selama setahun setelah dia lulus kuliah. "Programnya itu sifatnya membantu pasien kanker yang kesulitan untuk bisa menyelesaikan treatment cancer-nya", jelasnya.  Kegiatan yang dia bangun dari nol sampai akhirnya berjalan itu akhirnya membawa Nisa melengkapi persyaratan menjadi salah satu mahasiswa Imperial College London meski ia sempat berada di momen “iya atau tidak” untuk bisa lulus dan berangkat. 

"Atas izin Allah aku bisa tahu ada peraturan itu, dan atas izin Allah juga karena aku sudah bekerja. Dan atas izin Allah juga aku nekat (mengikuti) tes yang kelima ke Surabaya. Karena kalau dipikir-pikir sebenarnya it is impossible. Seandainya aku berhenti di bulan Juli waktu itu, aku mungkin nggak akan berangkat (ke London)", ungkapnya.

Itulah yang ia rasakan saat ini ketika bekerja  sebagai salah satu konsultan bagi World Health Organization (WHO). Dia mendalami  keilmuannya tentang imunisasi, vaksinasi, dan surveilans. (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Epidemiologi, Pandemi dan Toleransi

Bidang epidemiologi menjadi pelabuhan Nisa selanjutnya. Ketika ditanya mengapa harus epidemiologi dia mengakui bahwa dia memang sudah jatuh cinta dengan keilmuannya ketika masih menjadi mahasiswa baru (di S-1). "Epidemiologi itu adalah detektif kesehatan di populasi atau komunitas", tambahnya. Itulah yang ia rasakan saat ini ketika bekerja  sebagai salah satu konsultan bagi World Health Organization (WHO). Dia mendalami  keilmuannya tentang imunisasi, vaksinasi, dan surveilans.

Perjuangannya menempuh pendidikan di Inggris berlanjut di kampusnya. Kendala bahasa dari para dosen yang berasal dari berbagai negara dan memiliki aksen yang berbeda-beda menjadi salah satu faktor yang membuatnya menangis di bulan-bulan pertama di London. Beruntung ada sahabat yang berhasil membantu melewatinya. Selain itu, sistem pendidikan di kampusnya juga mengharuskan Nisa untuk lebih bekerja keras dibanding saat ia menempuh pendidikan pada jenjang sebelumnya.

Namun, toleransi antar satu dan lainnya menjadi penawar yang mujarab bagi Nisa melewati berbagai kendala di London. "Hal-hal yang sifatnya culture ‘nggak ada yang syok banget sih karena menurutku semua orang di sana super welcome dan nggak ada yang judge", jelas perempuan 27 tahun tersebut. Selain itu, menurut Nisa, bukan hanya ilmu pendidikan yang dia dapat. Nisa mengaku ia juga memperoleh ilmu dalam bersikap, seperti yang ditunjukan oleh para dosen yang mengajarkan bagaimana menjadi pengajar yang baik.

Keluarga merupakan tiang penopang utama bagi Nisa dalam menjalani hari-harinya. (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Jaga Amanah di Setiap Langkah

Keluarga merupakan tiang penopang utama bagi Nisa dalam menjalani hari-harinya. "Orang tuaku is the biggest inspiration", kata Nisa dengan bangga. Ibunya yang merupakan pembantu rumah tangga, dan ayahnya yang penjaga sekolah sekaligus security, merupakan contoh nyata yang membentuk karakternya menjadi seorang pekerja keras. Ketika ada kesulitan yang menghampiri, Nisa selalu berpikir bahwa apa yang terjadi padanya mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada orang tuanya. Itu yang menjadikan sumber semangat baginya. Dengan kondisi ekonomi yang ada, Nisa tak pernah ingin menambah beban orang tuanya. Mulai dari berjualan, mengikuti berbagai kompetisi (untuk mendapatkan hadiah), hingga menggunakan Bidikmisi dan beasiswa dalam pendidikannya, ia lakukan untuk membantu meringankan finansial keluarganya.

Dalam mengejar impian beasiswa S2-nya, Nisa menggunakan uang tabungannya selama dia bekerja untuk mengikuti tes IELTS. Ia merasa cukup dengan sarapan yang dihidangkan ibunya atau waktu yang telah disediakan ayahnya untuk mengantarnya dalam mengikuti setiap tes dan ujian. Baginya, ia harus memberikan yang terbaik yang bisa dilakukan sebagai bentuk amanah seorang anak.

Perempuan yang kini berdomisili di Banten ini juga memberi pesan kepada anak muda untuk selalu mengupayakan yang terbaik dan jangan terlalu menggebu-gebu untuk bisa mendapatkan apa yang diharapkan dengan cepat. Nisa juga berprinsip untuk jangan ragu mengambil semua kesempatan yang ada dan menjaga amanah yang diberikan. "Jadi tiga itu: trust the time, do your best, take opportunity as much as you can tanpa harus takut gagal dan jaga amanah", tutupnya.