Prospek Cerah Perekonomian Indonesia 2023

2 Mei 2023
OLEH: CS. Purwowidhu
Prospek Cerah Perekonomian Indonesia 2023
 

Proyeksi lembaga-lembaga keuangan dunia bahwa perekonomian global akan menghadapi tantangan berat di tahun 2023 mulai terbukti. Saat ini, negara-negara maju masih harus berjibaku dengan kenaikan suku bunga akibat inflasi yang melemahkan perekonomian mereka. 

Di tengah pelemahan ekonomi global tersebut, Indonesia tetap resilien. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada triwulan 1 2023 tumbuh sebesar 5,03%, melampaui sebagian besar perkiraan analis pasar dan berada di atas pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang berada pada level 4,5% pada triwulan yang sama.

PMI Manufaktur global melemah

Aktivitas manufaktur global kembali terkontraksi di penghujung triwulan I 2023. Purchasing manager’s index (PMI) manufaktur di hampir 60% negara G-20 dan ASEAN-6 masih melemah. Bahkan Vietnam yang selama ini cukup resilien pun telah mengalami hantaman perlemahan dari PMI manufaktur sebagai imbas perlemahan negara-negara tujuan ekspor Vietnam.

Sementara 27,3% negara lainnya termasuk Thailand, Rusia, dan Tiongkok berada di zona ekspansi namun melambat.

Di tengah perlambatan PMI global tersebut, Indonesia bersama India dan Turki menjadi sebagian kecil (13,6%) negara yang PMI manufakturnya ekspansif dan terus melesat.

Jadi kita bayangkan, Indonesia yang ekspansif dan masih akseleratif itu sangat kecil, hanya sedikit negara yang masih dalam kondisi yang sangat baik,” tutur Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara daring pada Konferensi Pers APBN Kita Edisi Bulan April 2023.

Harga komoditas global menurun

Kondisi perekonomian dunia juga masih dipengaruhi oleh volatilitas dan gejolak harga komoditas. Meskipun secara umum tren penurunan terjadi, dibandingkan tahun 2022 terutama pada pertengahan tahun, yang sempat mengalami boom komoditas.

Harga gas alam dan batu bara terkoreksi tajam yaitu menurun sebesar 48,5% dan 52,8%.  Sebaliknya, harga minyak mentah menunjukkan kenaikan sebagai dampak dari diterapkannya kebijakan pemangkasan produksi minyak oleh organisasi pengekspor minyak bumi (OPEC).

Sementara, harga komoditas pangan juga menunjukkan penurunan, kecuali CPO yang sedikit mengalami penguatan. Kedelai masih berada di level yang cukup tinggi. Sedangkan jagung dan gandum sedikit menurun.

Sri Mulyani menyampaikan volatilitas harga komoditas masih menjadi faktor penting yang mempengaruhi laju inflasi serta kebijakan moneter dan kinerja ekonomi semua negara.

Jadi dalam hal ini semua negara dihadapkan pada guncangan dan gejolak harga komoditas yang masih berlangsung meskipun trennya mengalami penurunan. Namun, banyak yang dalam hal ini tidak memiliki cukup space untuk menjaga dari kontinuitas volatilitas dari harga komoditas,” ujar Sri Mulyani.

Infografis : Tubagus P.

Higher for longer

Harga komoditas mempengaruhi tingkat inflasi. Berbagai negara kemudian merespons kenaikan inflasi tersebut melalui kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga untuk mengendalikan permintaan agregat.

Tingkat inflasi di Eropa dan Jepang misalnya mengalami kenaikan dan masih relatif jauh di atas suku bunga acuan. Sementara, inflasi Amerika Serikat walaupun menurun namun secara historis juga masih berada pada level yang lebih tinggi, saat ini di level 5%.

Inilah yang kemudian menurut Sri Mulyani memukul perekonomian negara-negara tersebut, sehingga mengalami perlemahan yang cukup tajam pada tahun ini.

Risiko global lainnya yang masih cukup dominan antara lain tekanan di sektor keuangan, potensi krisis utang di berbagai negara, eskalasi perang di Ukraina, serta adanya fragmentasi geoekonomi.

Alhasil, pemulihan ekonomi global tersendat. International Monetary Fund (IMF) pun menurunkan ekspektasinya terhadap pertumbuhan ekonomi global tahun ini pada World Economic Outlook (WEO) April 2023, yaitu sebesar 2,8% (yoy). Meski tahun ini perekonomian global melambat, namun IMF memprakirakan pertumbuhan global akan membaik di tahun 2024 yaitu sebesar 3,0% (yoy).

Sementara itu, IMF memprediksi inflasi global masih tinggi di 2023 yaitu di level 7,0%. Sedangkan negara berkembang diproyeksi mengalami inflasi sebesar 8,6% dan negara maju 4,7%. Inflasi diprediksi baru akan mulai menurun tahun depan. Namun, secara historis masih berada pada level yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun, bahkan sebelum terjadinya pandemi.

Sri Mulyani menjelaskan hal tersebut menggambarkan inflasi masih akan berlangsung pada level yang tinggi dalam jangka yang cukup panjang atau kemudian disertai dengan suku bunga tinggi dan agak panjang, “higher for longer”.

Higher for longer untuk inflasi dan suku bunga. Yang kemudian menyebabkan weaker dari perekonomian -ekonominya melemah-,” ungkap Sri Mulyani.

Sri Mulyani menerangkan perlambatan kondisi perekonomian di negara maju tentu akan memberikan dampak bagi negara-negara berkembang yang sangat mengandalkan ekspor. Kebijakan reopening Tiongkok belum mampu mendorong pemulihan ekonomi. Sehingga sumber pertumbuhan ekonomi dunia masih sangat lemah tahun ini. Begitu pula dengan volume perdagangan antarnegara yang akan mengalami penurunan.

Di samping itu, dengan adanya kenaikan inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan pengetatan likuiditas, telah menimbulkan dampak kepada sektor keuangan perbankan. Sri Mulyani mengatakan berdasarkan hasil pertemuan Spring Meeting IMF-World Bank 2023 di Washington DC, Amerika Serikat pada 10-16 April 2023, krisis perbankan yang terjadi di Eropa dan Amerika masih harus diwaspadai.

Infografis : Tubagus P.

Indonesia masih penuh asa

Kendati outlook global melambat, Indonesia diprediksi termasuk salah satu negara yang masih mampu tumbuh kuat di tahun 2023. IMF memproyeksi Indonesia tumbuh di angka 5,0% (yoy) pada tahun 2023. Outlook pertumbuhan ekonomi domestik yang relatif stabil, didorong oleh peningkatan permintaan domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun investasi.

“Indonesia termasuk negara yang masih bisa menjaga pertumbuhan ekonominya di atas 5%. Sedikit negara yang masih bisa bertahan. Dan ini tentu menjadi salah satu yang kita jaga di dalam momentum,” ucap Sri Mulyani.

Prospek perekonomian domestik baik dari sisi produksi maupun konsumsi masih cukup kuat. Hal ini ditunjukkan oleh PMI Manufaktur Indonesia yang berada pada level ekspansif 19 bulan berturut-turut dengan capaian di Maret 2023 sebesar 51,9. Sejak awal 2023, PMI Manufaktur Indonesia meneruskan penguatan, antara lain didukung ekspektasi permintaan menjelang lebaran.

Di samping itu, penguatan dari sisi produksi juga ditunjukkan oleh pertumbuhan konsumsi listrik bisnis yang tinggi dan listrik industri yang relatif stabil meski sedikit terkontraksi.

Aktivitas konsumsi masyarakat juga menunjukkan tren positif. Penjualan mobil dan motor jauh di atas rata-rata tahun 2019. Penjualan mobil secara wholesale tahunan tumbuh sebesar 2,6%. Begitupun penjualan motor yang bahkan mencatatkan pertumbuhan cukup tinggi yaitu sebesar 40,5%.

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sangat kuat di angka 123,3. Hal ini tidak lepas dari dukungan pengendalian inflasi yang mumpuni dan perlindungan terhadap daya beli masyarakat. Indeks penjualan ritel juga mencatat kenaikan tajam, yaitu sebesar 4,8% (yoy), dikarenakan momen Ramadhan dan menjelang Lebaran.

Sementara, di tengah kondisi global di mana berbagai negara sedang berjibaku dengan inflasi yang cukup tinggi, bahkan Argentina mencapai 104,3% dan Turki mencapai 50,5%, Indonesia patut bersyukur karena tingkat inflasi domestik per Maret 2023 menunjukkan penurunan, baik dari sisi inflasi volatile food maupun inflasi inti.

Pengendalian inflasi pangan terus diperkuat untuk menjaga stabilitas harga terutama di masa Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). Inflasi yang terkendali menjadi hal positif dan membantu meningkatkan daya beli masyarakat.

Pemerintah optimis tren positif tersebut akan tetap terjaga dengan baik sehingga dapat memberikan kontribusi bagi momentum pemulihan serta menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap tinggi.

Dari sektor eksternal, kinerja neraca perdagangan juga mencatatkan surplus secara berturut-turut, memasuki bulan yang ke-35. Neraca perdagangan Maret 2023 surplus sebesar USD2,91 miliar, dengan ekspor USD23,62 miliar dan impor USD20,52 miliar. Meski demikian, akibat pelemahan ekonomi global, ekspor dan impor juga turut melemah, masing-masing menurun sebesar 11,3% (yoy) dan 6,2% (yoy).

Ini tren yang harus kita waspadai karena sektor eksternal sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global,” papar Sri Mulyani.

Di sisi lain, sektor pariwisata perlahan menunjukkan pemulihan. Terlihat dari jumlah kunjungan wisman yang mengalami peningkatan sebesar 567,3% (yoy).

Tak hanya itu, di tengah ketidakpastian global, persepsi terhadap kinerja Indonesia di pasar keuangan juga tetap membaik. Nilai tukar Rupiah tetap melanjutkan tren apresiasi sejak awal tahun 2023 (menguat 5,6% ytd), sedangkan indeks USD kembali menunjukkan adanya tekanan. Tren positif pasar saham dan surat berharga negara (SBN) juga tetap terjaga, dengan arus masuk (inflow) yang semakin kuat dan likuiditas yang cukup memadai. Yield Indonesia pun berada pada posisi relatif moderat.

Sri Mulyani memaparkan pada saat suku bunga di Amerika sudah pada level di atas 5%, yield (imbal hasil) SBN 10 tahun cenderung mulai menurun kembali, baik untuk denominasi Dollar AS yaitu di level 4,57% maupun untuk Rupiah di 6,61%. Ia berpesan agar tren tersebut terus dijaga.

Sri Mulyani juga mengatakan prestasi yang sangat baik tersebut menggambarkan kinerja pasar SBN yang baik, yang ditopang oleh kinerja APBN dan perekonomian yang membaik.

“Tidak mungkin orang percaya kepada surat berharga Apabila mereka tidak percaya pada APBN yang dianggap baik dan kuat, dan juga prospek perekonomian Indonesia yang positif. Ini adalah hal yang menjadi salah satu yang harus kita jaga terus. Prospek dan stabilitas, baik dalam perekonomian maupun APBN Kita, karena akan sangat mempengaruhi keseluruhan kinerja perekonomian,” pungkasnya.


CS. Purwowidhu