Jaga Prinsip Netralitas, Hindari Distorsi Ekonomi

16 Juli 2021
OLEH: Dara Haspramudilla
Jaga Prinsip Netralitas, Hindari Distorsi Ekonomi
 

Belakangan ini, diskursus publik diwarnai oleh topik rencana kebijakan menyesuaikan sistem pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN). Mayoritas masyarakat tergiring pada opini bahwa pemerintah seolah tidak adil dan tidak berpihak kepada masyarakat kecil di masa pandemi ini. Padahal, salah satu tujuan dari langkah pemerintah menata PPN adalah menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat, terutama bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah.

Pajak pertambahan nilai (PPN) pada dasarnya dikenakan atas barang dan jasa tanpa memperhatikan kemampuan pembayar pajaknya. Sebagai pajak atas konsumsi, skema PPN tidak melihat siapa yang mengonsumsi barang dan jasa tersebut dan kemampuan mereka membayar. Jadi, masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah sama-sama membayar pajak dengan nominal yang sama atas konsumsi barang dan jasa yang sama.

“Sekarang pertanyaan saya begini, andaikata tidak dikenakan apakah mencerminkan keadilan? Ternyata tidak juga. Prinsipnya begini, pajak itu seharusnya dikenakan pada ke orang-orang yang mempunyai penghasilan tinggi atau kelompok orang kaya. Namun, jika barang dan jasa ini tidak dikenakan maka mereka jadinya tidak bayar pajak, kan begitu. Jadi, dikenakan atau tidak dikenakan atas sembako ini, masing-masing mempunyai isu ketidakadilan. Saya berpandangan, lebih baik tetap dikenakan, tetapi nanti hasil pajak yang dipungut didistribusikan kembali kepada mereka yang terkena dampak pengenaan PPN ini,” ujar Darussalam, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center.

Kedua, PPN adalah jenis pajak yang ditujukan kepada konsumen akhir, tetapi pengusaha diminta untuk memungut pajaknya. Dengan demikian PPN bersifat pajak tidak langsung. Untuk itu, para pengusaha ini harus memiliki mekanisme pajak keluar pajak masukan (PKPM). Artinya, pengusahanya hanya membayar selisih antara pajak keluaran dan pajak masukan. Inilah yang disebut netralitas PPN.

“Nah, jika ada satu jenis barang atau jasa yang dikecualikan dari PPN pada rantai produksi atau distribusi, maka ini akan merusak mekanisme PPN. Saat ada pajak masukan itu penyerahannya tidak dikenakan PPN artinya pajak masukan tidak dapat dikreditkan. Kemudian, ada dua pilihan yang akan diambil pengusaha yakni mengurangi marjin labanya atau dibebankan pada harga pokok penjualan. Pilihan kedua menjadi opsi yang paling sering diambil sehingga otomatis harga naik. Makanya untuk netralitas tersebut harus seminimal mungkin barang-barang jangan dikecualikan dari objek PPN,” terang Darussalam

Kebijakan penataan sistem PPN ini juga merupakan bagian dari upaya dalam menyehatkan APBN.

Menata sistem pemungutan PPN

Kebijakan penyesuaian sistem pemungutan PPN dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, hadirnya distorsi ekonomi karena adanya tax insiden sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor. Kedua, kurangnya rasa keadilan atas objek pajak yang sama yang saat ini dikonsumsi oleh golongan penghasilan yang berbeda, namun sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN.

Darussalam menilai bahwa langkah pemerintah yang akan mengusulkan skema penataan PPN sudah tepat dan sesuai dengan konsep dasar PPN.

“Sejak PPN diperkenalkan untuk menggantikan pajak penjualan pada 1984, mekanisme PPN yang dibangun sudah disisipi banyak pengecualian sehingga tujuan PPN saat digulirkan pertama kali atau saat ini dibangun oleh para ahlinya itu sudah menyimpang. Saat ini, sepertinya pemerintah ingin membawa kembali dengan konsepnya sehingga berguna bagi penerimaan negara Indonesia,” jelas Darussalam.

Pemerintah sendiri berharap setidaknya ada empat dampak perubahan yang terjadi jika kebijakan ini nantinya diimplementasikan.

”Pertama, terkait dengan dampak ekonomi di mana kebijakan ini akan membawa kita pada satu mekanisme pemungutan pajak yang lebih efisien. Kemudian dari sisi fasilitas, fasilitas PPN tidak dipungut ini berakibat pada pajak masukan atas penyerahan BKP atau JKP strategis tidak bisa dikreditkan sehingga harga lebih murah dan eksportir tidak perlu melakukan restitusi. Lalu terkait dampak sosial di mana nantinya masyarakat dapat menjangkau layanan pemerintah lebih baik lagi dengan harga terjangkau. Terakhir, kita juga berharap kebijakan ini pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan pajak sehingga tax expenditure ataupun hal-hal yang selama ini menjadi biaya bisa berkurang,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Neilmaldrin Noor dalam media briefing terkait isu PPN (14/6).

 

Beri kompensasi untuk masyarakat menengah ke bawah

Kebijakan penataan sistem PPN ini juga merupakan bagian dari upaya dalam menyehatkan APBN. Selama ini, APBN sudah bekerja sangat keras untuk menjadi bantalan bagi masyarakat terdampak pandemi COVID-19. Harapannya, kebijakan ini akan meningkatkan kepatuhan pajak bagi masyarakat mampu dan kemudian pajaknya akan dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat menengah ke bawah.

“Di sinilah aspek keadilan dan gotong royong ditonjolkan. Pemerintah berupaya meningkatkan kepatuhan pajak terutama bagi masyarakat ataupun bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi pajak lebih besar dibandingkan yang lainnya. Dengan demikian, kita dapat memberikan kompensasi berupa subsidi untuk masyarakat menengah ke bawah, seperti yang sudah dirasakan sebelumnya seperti subsidi listrik dengan batasan daya tertentu dan juga penyediaan tabung gas 3kg,” papar Neil.

Hal senada juga disampaikan oleh Darussalam. Menurutnya kebijakan PPN lebih baik dikenakan dan nanti hasil pajak yang dipungut dapat didistribusikan kepada mereka yang terkena dampak dari pengenaan PPN ini.


“Sederhananya seperti ini, misalnya potensi PPN atas sembako secara keseluruhan katakan 1000 potensi pajaknya. Kontribusi yang tidak mampu kita kasih proporsi 30 persen, yakni Rp300. Sementara kontribusi masyarakat yang berpenghasilan tinggi atau mampu itu 70 persen, yakni Rp700. Nah, Rp700 ini bisa didistribusikan kembali ke masyarakat tidak mampu. Daripada kita tidak kenakan sama sekali, maka negara kehilangan potensi pajak sebesar Rp1.000,” terang Darussalam.

 Upaya merespon pandemi tanpa mendistorsi ekonomi

Menurut Darussalam, studi empiris di banyak negara dalam hal pengenaan pajak di masa pandemi ini selalu diingatkan agar tidak menimbulkan distorsi ekonomi. Pengenaan PPN ia nilai lebih tepat jika dibandingkan PPh karena sifatnya yang netral, skema yang sederhana, dan lebih mencerminkan ukuran ekonomi sebuah negara. Langkah pemerintah juga dinilai tepat karena sesuai dengan international best practice yang dilakukan di banyak negara berkembang yang ekonominya tidak berbeda jauh dengan Indonesia.

“Antara dua pilihan yakni PPh dan PPN, yang sifatnya lebih netral dan tidak mendistorsi ekonomi adalah pengenaan atas PPN. Sebab, PPh semakin mudah disalahgunakan dengan fenomena penghindaran pajak dan juga semakin sulit menarik pajak dari PPh. Sehingga yang lebih gampang, lebih sederhana, dan mencerminkan size ekonomi suatu negara adalah PPN. Sekarang banyak negara mulai beralih dari PPh ke PPN karena jenis skema pemajakannya sangat sederhana. Maka dari itu, jangan dirusak dengan mekanisme atau skema pengecualian-pengecualian tersebut,” tambahnya.

Senada dengan Darussalam, Neil menyampaikan bahwa beberapa negara menggunakan PPN sebagai salah satu instrumen untuk merespon pandemi COVID-19 ini agar penerimaan negara-negara yang bersangkutan optimal. Selain itu, dalam struktur penerimaan pajak Indonesia saat ini, penerimaan PPN cukup dominan yakni sekitar 42 persen dari total keseluruhan penerimaan.