RAPBN 2023 Efisien Efektif Produktif

1 September 2022
OLEH: CS. Purwowidhu
RAPBN 2023 Efisien Efektif Produktif
 

Arsitektur APBN 2023 dirancang dengan semangat optimisme. Namun, tetap dengan kewaspadaan yang tinggi.

Ekonomi yang mampu tumbuh impresif hingga 5,44 persen pada triwulan II 2022 serta inflasi yang terjaga pada level moderat 4,94 persen per Juli 2022, menjadi landasan optimisme dalam merancang kebijakan fiskal untuk tahun mendatang.

Namun, optimisme tersebut harus dibarengi dengan kewaspadaan tinggi karena inflasi, kenaikan suku bunga, pengetatan likuiditas, dan pelemahan ekonomi serta tensi geopolitik masih menjadi ancaman ke depan. Bahkan mulai menerpa perekonomian Eropa, Amerika Serikat, dan RRT.

Pemerintah pun memastikan agar postur APBN 2023 tetap prima untuk mensejahterakan rakyat di tengah berbagai potensi guncangan ekonomi yang mungkin terjadi. Salah satunya dengan menajamkan belanja yang efektif dan efisien, serta mengoptimalkan penerimaan negara.

Adapun secara keseluruhan pemerintah merencanakan belanja negara sebesar Rp3.041,7 triliun dalam RAPBN 2023 yang meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.230 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp811,7 triliun.

Sedangkan, pendapatan negara pada tahun 2023 dirancang sebesar Rp2.443,6 triliun, terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.016,9 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp426,3 triliun.
 

Spending better

Belanja pemerintah pusat dalam RAPBN 2023 direncanakan sebesar Rp2.230 triliun, turun dari outlook belanja pemerintah pusat 2022 yang sebesar Rp2.370 triliun.

Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan belanja pemerintah di 2023 memang sudah semestinya turun. Hal ini sejalan dengan fungsi kebijakan fiskal yang kontra siklus.

Ketika mesin pertumbuhan ekonomi baik konsumsi, investasi, maupun ekspor impor terpukul akibat pandemi, maka belanja pemerintah meningkat untuk mendorong pertumbuhan. Sebaliknya, saat pemulihan ekonomi semakin menguat yang dicerminkan dari peningkatan konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor impor yang terus bertumbuh maka belanja pemerintah sudah seharusnya turun.

Jadi nggak ada keperluan untuk government spending untuk kebijakan fiskal ini ekspansif seperti saat pandemi. Kenapa harus demikian mekanismenya? Karena kalau government expenditure ini terus-terusan jor-joran, kita akan memiliki postur fiskal yang jebol. Postur fiskal yang nggak sustainable. Makanya, saat mesin ekonominya ini sudah mulai pulih, maka kita perlu ada efisiensi di postur fiskal kita,” beber Riefky.

Sementara Ekonom Indef Abra Talattov memandang postur penerimaan dan belanja negara di RAPBN 2023 menunjukkan sinyal positif konsistensi pemerintah untuk menurunkan defisit APBN di bawah 3 persen.

Terkait normalisasi defisit APBN di 2023, Riefky mengungkapkan konsolidasi fiskal perlu dilakukan dan momentum ini merupakan langkah yang tepat sebelum lebih jauh memasuki tahun politik. Selama kebutuhan untuk mensejahterakan serta melindungi masyarakat masih bisa dipenuhi dengan kapasitas fiskal yang tersedia maka konsolidasi tersebut menurut dia baik adanya.

“Kalau kita lihat dari postur RAPBN 2023, rasanya ini sudah dipenuhi. Jadi, di satu sisi kita bisa mendapatkan momentum penyehatan anggaran negara tadi. Di sisi kedua, kita tidak meluputkan kebutuhan-kebutuhan yang memang perlu dipenuhi oleh anggaran fiskal kita,” papar Riefky.

Secara alokasi anggaran, Riefky memandang prioritas pemerintah sudah berada dalam indikator-indikator yang tepat.

“Kita melihat anggaran pendidikan itu 600,8 triliun, anggaran kesehatan 169,8 triliun, perlinsos mencapai 479 triliun. Ini saya rasa fokusnya pemerintah sudah cukup tepat dalam menyasar isu-isu dasar. Tinggal nanti bagaimana dalam implementasinya,” ujar Riefky.

Riefky juga menekankan pentingnya APBN untuk kembali berperan kontra siklus atau sebagai shock absorber (pelindung) apabila guncangan ekonomi kembali terjadi di tahun mendatang akibat ketidakpastian dinamika global.  

“Jadi tentu dari postur fiskal kita harus terefleksikan ini jaring pengaman sosial, perlindungan sosial harus tetap ada. Sehingga kemudian kalau pertumbuhan ekonomi ini terganggu, kita memiliki buffer yang cukup untuk melindungi masyarakatnya, terutama masyarakat miskin dan rentan,” terang Riefky.

Perlinsos sebagai shock absorber

Pada RAPBN 2023 pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial (perlinsos) sebesar Rp479,1 triliun sebagai upaya meringankan beban pengeluaran keluarga miskin dan rentan serta kembali mengakselerasi penurunan tingkat kemiskinan dan ketimpangan.

Anggaran tersebut akan digunakan untuk melanjutkan Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN), Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah. Selain itu, dana tersebut juga akan dimanfaatkan untuk memperbaiki basis data penerima bantuan melalui pembangunan data Registrasi Sosial Ekonomi, perbaikan perlinsos, dan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.

Mencermati penurunan anggaran perlinsos 4,7 persen dari outlook 2022 yang sebesar Rp502,6 triliun, Abra mengatakan hal tersebut dimungkinkan oleh meredanya dampak Covid-19 terhadap kehidupan masyarakat. Sehingga anggaran perlinsos kembali pada jalur sebelum pandemi.

Di samping itu, penurunan anggaran perlinsos juga menggambarkan pemerintah tengah berupaya menajamkan target ataupun sasaran penerima manfaat. Ini senada dengan keterangan pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengatakan pemerintah akan meningkatkan ketepatan sasaran dalam pelaksanaan program perlinsos melalui perbaikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Anggaran perlindungan sosial menurut Abra pada akhirnya akan menjadi salah satu pos belanja prioritas pemerintah mengingat risiko inflasi yang diprediksi masih tetap tinggi, baik inflasi pangan maupun energi.

Lebih dari itu, pemerintah saat ini sedang mengusung rencana reformasi kebijakan subsidi energi untuk memperbaiki ketepatan sasaran subsidi yang antara lain berimplikasi pada opsi penyesuaian harga BBM bersubsidi.

Karena itu, dampak jangka pendek dan menengah terhadap inflasi dan daya beli masyarakat perlu dikompensasi dengan penebalan bantalan sosial, salah satunya melalui anggaran perlinsos.

“Kita harapkan anggaran perlindungan sosial ini bisa lebih spesifik juga salah satunya untuk menangkal atau mengantisipasi risiko terjadinya inflasi yang tinggi di tahun depan, khususnya karena adanya penyesuaian harga-harga yang diatur pemerintah, baik itu energi maupun nonenergi,” ungkap Abra.

Secara umum, Abra melihat dalam beberapa tahun terakhir manfaat anggaran perlinsos baik melalui penambahan jumlah penerima manfaat maupun perluasan program, signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Adapun baru-baru ini pemerintah memberikan tambahan bantuan sosial sebesar Rp24,17 triliun bertujuan untuk menopang daya beli masyarakat di tengah gelombang kenaikan harga kebutuhan pokok.

Bantuan sosial tersebut akan dibagikan dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) kepada 20,65 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) sebesar Rp 150 ribu selama 4 bulan; bantuan subsidi upah (BSU) sebesar Rp 600 ribu untuk 1 bulan bagi 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan; dan bantuan sosial yang diberikan oleh Pemerintah Daerah dengan menggunakan 2% Dana Transfer Umum (DTU) yang berasal dari APBN baik DAU maupun DBH. Bantuan dilakukan berbentuk program perlinsos, penciptaan lapangan kerja dan pemberian subsidi sektor transportasi, serta bansos tambahan.

Seiring makin terkendalinya pandemi Covid-19, penguatan imunitas masyarakat, dan kondisi pandemi yang berangsur menuju endemi, pemerintah tidak lagi memberikan alokasi khusus untuk penanganan pandemi Covid-19 dalam anggaran kesehatan pada RAPBN 2023.   (Foto : Shutterstock)

Untuk kesehatan yang inklusif

Selama 2,5 tahun Indonesia berjibaku dengan pandemi Covid-19. Masifnya program vaksinasi dan intervensi lainnya yang digencarkan pemerintah, didukung kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan terbukti mampu mengendalikan laju penyebaran virus. Bahkan, Indonesia diapresiasi sebagai salah satu negara terbaik di dunia dalam penanganan pandemi berdasarkan rilis John Hopkins University CSSE Covid-19 pada 2021.

Seiring makin terkendalinya pandemi Covid-19, penguatan imunitas masyarakat, dan kondisi pandemi yang berangsur menuju endemi, pemerintah tidak lagi memberikan alokasi khusus untuk penanganan pandemi Covid-19 dalam anggaran kesehatan pada RAPBN 2023.

Namun, anggaran kesehatan yang reguler akan naik dari Rp133 triliun di tahun 2022 menjadi Rp168,4 triliun yang ditujukan untuk memperkuat sistem kesehatan di Indonesia.

Secara keseluruhan, Pemerintah menyiapkan anggaran kesehatan 2023 sebesar Rp169,8 triliun atau 5,6 persen dari belanja negara.

Anggaran tersebut akan diarahkan untuk mendorong normalisasi kegiatan termasuk dalam pelayanan kesehatan reguler. Selain itu, anggaran kesehatan juga akan dimanfaatkan untuk mereformasi sistem kesehatan, mempercepat penurunan prevalensi stunting, serta menjaga kesinambungan program JKN.

Abra maupun Riefky sependapat dengan rencana pemerintah tersebut. Menurut Abra anggaran kesehatan untuk pandemi Covid-19 memang sudah bisa dipangkas. Pemerintah sudah seharusnya kembali fokus menghadapi berbagai tantangan di sektor kesehatan di antaranya pemerataan pembangunan infrastruktur kesehatan dan keberlanjutan JKN khususnya bagi masyarakat tidak mampu.

Jangan sampai terjadi ketimpangan infrastruktur kesehatan karena ini akan sangat terkait dengan target pemerintah untuk membangun sumber daya manusia yang produktif dan unggul, kaitannya juga dengan bonus demografi yang masih kita alami saat ini,” jelas Abra.

Di samping itu, penurunan angka prevalensi stunting juga menjadi tantangan tersendiri. Angka prevalensi stunting yang sudah menurun dari semula 30,8 persen pada tahun 2018 menjadi 24,4 persen pada 2021, ditargetkan turun lebih besar lagi di 2023 menjadi 17,5 persen. Abra menilai pemerintah perlu benar-benar fokus mengejar target yang tidak kecil tersebut.

Senada, Riefky menjelaskan meningkatnya anggaran kesehatan reguler menggambarkan fokus pemerintah untuk membangun resiliensi kesehatan secara lebih luas lagi. Pembangunan fasilitas kesehatan yang memadai khususnya di luar Jawa Bali perlu lebih ditingkatkan. Kesehatan yang inklusif menurutnya menjadi syarat tercapainya produktivitas dalam jangka panjang.

“Nah ini penting, kalau ini tidak bisa dilakukan, kita akan menghadapi produktivitas yang terus menurun atau paling tidak yang terus terjadi kesenjangan,” terang Riefky.

Bangun generasi unggul

Pada RAPBN 2023, anggaran terbesar dialokasikan untuk pendidikan yakni sebesar Rp608,3 triliun yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar berdaya saing dan mampu beradaptasi pasca pandemi.

Untuk itu, beberapa program akan difokuskan seperti peningkatan akses dan pemerataan kualitas pendidikan, peningkatan kualitas sarana prasarana penunjang kegiatan pendidikan terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), penguatan kualitas layanan PAUD, dan penguatan link and match dengan pasar kerja.

Menurut Abra, belanja pendidikan sebagai mandatory spending perlu dibarengi dengan kualitas pendidikan yang memadai karena PR di sektor Pendidikan masih cukup menantang.

Beberapa indikator menunjukkan kualitas SDM Indonesia masih banyak tertinggal dibanding negara peers. Indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang sebesar 0,54 di tahun 2020 misalnya masih berada di bawah rata-rata IPM ASEAN. Keterampilan dalam matematika, sains, dan membaca yang ditunjukkan melalui skor PISA juga relatif tertinggal, yaitu baru mencapai angka 400 di tahun 2018. Selain itu, rata-rata Pendidikan yang ditempuh penduduk Indonesia hanya sampai setara kelas 2 SMP.

“Walaupun dari tahun ke tahun sudah mulai meningkat, tetapi masih butuh effort lagi untuk mendorong SDM kita lebih unggul sehingga bukan hanya kita bisa bersaing di dalam negeri, tetapi juga di level global,” ujar Abra.

Di samping kualitas SDM, pembangunan infrastruktur pendidikan juga perlu ditingkatkan, bukan hanya dari sisi kualitas dan kuantitas, tetapi juga dari aspek pemerataan pembangunan antardaerah.

“Ini juga menjadi mandat konstitusi terkait dengan tujuan kenapa anggaran pendidikan dikunci sebesar 20% terhadap APBN atau APBD,” ungkap Abra.

Jaga stabilitas, dorong penerimaan

Untuk menjalankan berbagai program belanja, maka penerimaan negara tahun 2023 ditargetkan sebesar Rp2.443,6 triliun. Terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.016,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp426,3 triliun. Peningkatan penerimaan negara dilakukan dalam bentuk optimalisasi penerimaan pajak maupun reformasi pengelolaan PNBP.

Abra melihat target penerimaan yang cukup konservatif tersebut didorong oleh alokasi belanja yang memang disetel efisien. Serta mengantisipasi risiko dinamika global yang masih tinggi di tahun mendatang.

Ketidakpastian ekonomi global di tahun depan menurut Abra membawa peluang sekaligus risiko bagi penerimaan negara. Dinamika geopolitik global saat ini meluas bukan hanya dari konflik Rusia-Ukraina, tapi juga tensi antara Taiwan dan Tiongkok. Konstelasi baru tersebut berpotensi menekan produksi dan mengganggu rantai pasok. Sehingga akan tetap menyebabkan harga-harga komoditas dunia tetap tinggi. Kondisi tersebut berpeluang membawa berkah windfall profit bagi Indonesia, sekaligus risiko dari sisi inflasi.

Abra berpendapat masih berlanjutnya potensi windfall profit dari commodity boom ini akan mendorong tercapainya target penerimaan dari sisi PNBP khususnya sektor sumber daya alam. Sementara, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 5,3 persen pada 2023 diharapkan akan mampu mendorong penerimaan perpajakan. Untuk itu, diperlukan bukan hanya stabilitas ekonomi, tapi juga stabilitas sosial dan politik.

“Penerimaan perpajakan juga seharusnya masih on the right track, penerimaan PPh, PPN, dan sumber-sumber perpajakan lain itu kita harapkan masih akan positif selama lagi-lagi pemerintah mampu melakukan upaya stabilisasi inflasi,” ungkap Abra.

Sementara itu, Riefky mengemukakan pentingnya pengelolaan penerimaan dan belanja negara secara proporsional. Sehingga apabila windfall profit di tahun mendatang tidak sekencang tahun ini akibat harga-harga komoditas yang mulai ternormalisasi, maka konsekuensinya belanja harus dikurangi.

Kendati demikian, apabila terjadi tekanan perekonomian yang membutuhkan penambahan jaring pengaman sosial, maka sisi penerimaan negara harus lebih dioptimalkan.

Riefky memandang konsumsi rumah tangga dan investasi yang terus bertumbuh positif merupakan momentum yang dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penerimaan negara.

Ini sebetulnya adalah momentum yang tepat untuk pemerintah misalnya mengoptimumkan penerimaan dari sisi PPh, PPN yang juga sudah diatur dalam UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan),” papar Riefky.

Senada dengan Abra, Riefky mengatakan pemerintah bersama otoritas dan pemangku kepentingan terkait perlu terus mengkoordinasikan bauran kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat serta mengendalikan inflasi secara berkesinambungan. Momentum pertumbuhan ekonomi yang terus terjaga akan mendorong tercapainya target penerimaan dan memuluskan normalisasi defisit.

Harapannya adalah kalau inflasi managable, daya beli masyarakat bisa terus terjaga di sisa tahun ini dan tahun depan. Tapi, memang ini perlu kombinasi kebijakan yang betul-betul terus di-maintain sampai tahun depan. Dan juga hal lain yang perlu dijaga oleh pemerintah adalah investasi. Kita tahu, kalau konsumsi ini dijaga dari inflasi, investasi juga perlu dijaga dari bisnis climate yang baik, dari sisi governance, dan sebagainya. Kita perlu terus menarik investasi yang masuk,” pungkas Riefky.


CS. Purwowidhu