Siap Jadi Pusat Halal Dunia, Ini Strategi Indonesia

Laporan Utama
1 Februari 2022
OLEH: Dara Haspramudilla
Siap Jadi Pusat Halal Dunia, Ini Strategi Indonesia

 

Indonesia sebagai pusat produsen halal terkemuka di dunia. Sebuah visi besar yang ingin diwujudkan pemerintah. Sebagai negara yang memiliki populasi terbesar keempat di dunia yakni 267 juta penduduk dan dengan mayoritas penduduk adalah muslim, Indonesia berpotensi kuat untuk mencapai visi tersebut.

 

Pemerintah pun terus mendorong pengembangan industri halal di Indonesia secara berkelanjutan. Salah satu komitmen yang dilakukan sebagai langkah nyata untuk mencapai visi tersebut adalah melalui akselerasi implementasi sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Peluncuran Program Sehati (Sertifikasi Halal Gratis) dan pemberian fasilitasi halal UMK melalui beberapa Kementerian dan Lembaga menjadi strategi untuk mempercepat implementasi tersebut. Dengan demikian, diharapkan UMK makanan dan minuman yang memiliki nomor induk berusaha (NIB), 80 persennya juga memiliki sertifikasi halal.

 

“Jadi yang diafirmasi pemerintah adalah Usaha Mikro Kecil (UMK) bukan UMKM yang ada (di) menengah dan besar. Mereka akan mendapat fasilitasi pengurusan proses sertifikasi halal oleh pemerintah melalui alokasi anggaran yang disiapkan baik oleh kementerian, lembaga, pemda maupun BUMN dan swasta,” terang Aqil Irham, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

 

Hingga 2021, sudah ada 17.863 sertifikat dari 263.190 produk. Angka ini tentu masih jauh dari ideal jika melihat target sebesar 10 juta sertifikasi halal. Untuk itu, BPJP melakukan penyesuaian biaya sertifikasi halal reguler yang sebelumnya sebesar Rp3-4 juta menjadi hanya Rp650 ribu. Selain itu, dalam ketentuan tarif sertifikasi halal juga diatur tarif Rp 0 bagi UMK melalui mekanisme self-declare atau deklarasi secara mandiri.

 

“Jadi, Rp 0 itu bukan berarti proses sertifikasi halal tidak membutuhkan biaya. Ada biaya layanan permohonan sertifikasi halal pelaku usaha sebesar Rp300 ribu, tetapi kemudian biaya ini ditanggung oleh pemerintah. Ini juga akan disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Pelaku UMK ini komposisinya 90 persen dari pengusaha di seluruh Indonesia. Tentunya tidak mungkin ditanggung semua oleh pemerintah. Maka, pemerintah mengajak berbagai pihak membantu memfasilitasi sertifikasi halal untuk UMK,” jelasnya.

Infografis Tinjauan Pasar Halal Indonesia

Pentingnya sertifikasi halal bagi konsumen

Sertifikasi halal penting dalam memberikan kepastian dan rasa aman bagi konsumen. Untuk mengetahui sebuah produk itu halal atau tidak bukan sekadar melihat produk akhirnya semata. Konsumen juga ingin mengetahui bagaimana prinsip halal diterapkan dalam proses menghasilkan produk tersebut mulai dari penyediaan bahan, pemrosesan, pengemasan, hingga penyajian.

 

Menurut Sapta Nirwandar, Ketua Indonesia Halal Lifestyel Center (IHLC) sertifikasi halal diperlukan sebab persoalan halal toyyiban menjadi satu kesatuan proses. Halal biasanya sifatnya normatif atau lawful, sementara toyyiban memastikan bahwa produk memiliki kualitas. Halal adalah proses dan bukan sekedar end product. Sebagai contoh, konsumen ingin mengetahui proses halal supply chain dari suatu produk mulai dari peternakannya hingga produk yang dijual di toko.

“Semisal ayam, saat di peternakan bagaimana makanan yang diberikan, apa dikasih makan atau vitamin yang tidak sejalan dengan syariat? Lalu bagaimana cara potongnya? Begitu juga jika diolah lagi menjadi produk campuran seperti perkedel, apa saja campurannya? Nah, itu yang disebut dengan sertifikasi halal, harus terlihat prosesnya. Maka, dengan logo halal tersebut konsumen pun merasa terproteksi,” jelas Sapta.

 

Hal senada juga diungkap oleh Aqil, menurutnya sertifikasi halal memberikan jaminan dan perlindungan kepada konsumen.

“Konsumen memiliki hak untuk mengkonsumsi, memakai, menggunakan, memanfaatkan produk-produk maupun jasa-jasa layanan yang dijamin kehalalannya. Sertifikasi halal memberikan jaminan dan perlindungan untuk itu,” tambahnya.

 

Akselerasi sertifikasi halal beri manfaat bagi pelaku usaha

Selain konsumen, percepatan implementasi sertifikasi halal tentu saja berdampak positif bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Tidak hanya kemudahan mengurus sertifikasi, tetapi juga memberikan potensi tambahan pendapatan bagi pelaku usaha.

 

“Proses sertifikasi yang dulu masih sering dikeluhkan durasinya yang cukup lama. Begitu juga dengan statifikasi industri kecil, besar dan seterusnya. Nah, dengan aturan yang sekarang ini jadi semakin tertib dan transparan,” tuturnya.

 

Sapta juga mengungkapkan pengalamannya berdiskusi dengan pelaku usaha terkait manfaat sertifikasi halal tersebut.

“Saya pernah makan di restoran sebuah hotel dan melihat pengumuman bahwa di sana makanan dan minumannya 100 persen halal. Saat saya tanyakan alasannya, chef di restoran tersebut menjawab bahwa lebih banyak konsumen yang menanyakan makanan halal daripada non halal. Ini berarti memperlihatkan bahwa dari perspektif bisnis, sertifikasi halal juga akan memberikan tambahan pendapatan atau extended profit,” tambahnya.

 

Menurut Aqil, dari sisi pelaku usaha animo untuk mengurus sertifikasi halal cukup baik. Namun, pelaku usaha masih perlu terus diedukasi bahwa sertifikasi ini bukan administrasi semata, tetapi juga menjadi sebuah standar yang berlaku baik nasional maupun global. Tentu saja, ini akan membawa dampak bagi perdagangan dan perekonomian sebuah negara.

Konsumen ingin mengetahui proses halal supply chain dari suatu produk mulai dari peternakannya hingga produk yang dijual di toko. Foto Shutterstock

Dorong UMKM tembus pasar global

Ragam upaya yang dilakukan untuk memudahkan pelaku usaha memperoleh sertifikasi produk halal berkaitan erat dengan visi Indonesia sebagai pusat produsen halal. Semakin banyak produk UMKM yang masuk ke rantai nilai produk halal global, maka semakin besar potensi mencapai visi tersebut. Sebab, syarat utama agar UMKM dapat menembus pasar halal global adalah sertifikasi halal.

“Kenapa perlu mengglobal atau berkualitas? Sederhana aja, halal itu sifatnya tidak monopolistik. Kalau kita tidak berkualitas, mau jadi pilihan ke berapa? Contohnya Thailand itu eksportir produk industri halal khususnya makanan, padahal jumlah penduduk muslimnya sedikit. Korea juga termasuk eksportir kosmetik halal. Mengapa banyak negara yang penduduk muslimnya sedikit malah giat menjadi eksportir produk halal? Karena konsumennya besar banget, 1,8 miliar,” ungkap Sapta.

 

Hal senada juga disampaikan Aqil. Menurutnya, justru negara-negara yang penduduk muslimnya tergolong minoritas sangat antusias mendaftarkan produk-produk mereka untuk diaudit kehalalan produknya. Sebut saja Amerika, Amerika Latin, sebagian besar Eropa, Thailand dan juga China.

 

“Produk-produk halal menjadi prioritas mereka supaya diakui standarnya secara global sehingga penjualan mereka dari ekspor meningkat. Oleh karena itu, kita mendorong produsen-produsen halal di Indonesia bisa bangkit dan tumbuh. Jangan sampai kita kebanjiran barang-barang impor halal dari luar negeri karena produk dalam negeri belum kompetitif. Makanya saya katakan bahwa sertifikasi halal itu jangan dianggap administratif saja. Kita berharap pelaku usaha menyadari bahwa sertifikat halal kini menjadi sebuah reputasi bagi perusahaannya,” tambah Aqil.

 

Kodifikasi data industri produk halal

Tidak hanya akselereasi sertifikasi halal, strategi dan langkah nyata lain yang diambil pemerintah dalam rangka pengembangan industri produk halal adalah kodifikasi data industri produk halal. Pada 30 November 2021, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) melakukan penandatanganan tiga perjanjian kerja sama dan nota kesepahaman antara KNEKS dengan beberapa pihak terkait, yaitu penandatanganan perjanjian KNEKS dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Lembaga National Single Window (LNSW), dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) terkait kodifikasi data produk halal dan integrasinya pada data perdagangan dan ekonomi.

 

Menurut Aqil, langkah ini sangat penting agar data produk halal dengan transaksi perdagangan ekspor dan impor serta data industri terintegrasi dengan baik. Selama ini, ekspor Indonesia yang nilainya sangat besar tidak tercatat yang berakibat posisi Indonesia kalah dari Malaysia.

“Ekspor kita itu nilainya jauh lebih besar dari nilai ekspornya Malaysia. Namun ironisnya, Malaysia menduduki posisi pertama (sementara) Indonesia posisinya nomor empat. Kenapa? Ternyata ekspor kita tidak tercatat, tidak ada datanya yang terekam sehingga kalah dari Malaysia. Inilah pentingnya integrasi sistem informasi pencatatan produk-produk halal untuk ekspor sehingga bisa terekam, baik volumenya maupun nilai transaksinya sehingga kita dengan data itu mudah-mudahan bisa memperbaiki skor kita. Mudah-mudahan 2022 kita bisa naik peringkat, bisa mengalahkan Malaysia dalam hal produk makanan-minuman halal,” terang Aqil.

 

Selain itu, kodifikasi ini juga penting dalam hal pelacakan kandungan bahan baku produk. Tidak hanya merupakan bentuk transparansi produsen terhadap konsumen, tetapi juga menjadi cara untuk melindungi produsen dari kerugian.

“Pernah kan dulu ada coklat di Malaysia yang rugi besar karena begitu ditelusuri ada kandungan yang tidak halal. Setelah diumumkan, down market sizenya. Makanya, perlu ada kodifikasi yang terintegrasi. Selain itu, perlu ada mutual recognition dan agreement antara eksportir dan importir sehingga ada kodifikasi dan standarisasi antara para pemasok, terutama untuk ekspor,” pungkasnya.