Sinambung Pembenahan Pilar Penerimaan

15 Juli 2021
OLEH: CS. Purwowidhu
Sinambung Pembenahan Pilar Penerimaan
 

Penerimaan negara yang memadai diperlukan untuk menopang APBN yang sehat dan berkelanjutan. Pajak merupakan penopang utama penerimaan negara. Kontribusi pajak terhadap penerimaan negara sebesar 65 persen. Partisipasi warga negara untuk membayar pajak dari waktu ke waktu meningkat tercermin dari bertambahnya Wajib Pajak (WP) terdaftar, dari 2,59 juta orang di tahun 2002, sekarang sudah mendekati 50 juta WP. Itu hanya satu dari sekian banyak hasil pembenahan sistem perpajakan yang dilakukan berkelanjutan sejak tahun 1983 hingga saat ini.

Pembenahan sistem perpajakan dari sisi kebijakan maupun administrasi terus berlanjut. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR membahas revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Senin (28/6/2021) menyatakan reformasi perpajakan sudah makin mendesak untuk menciptakan sistem pajak yang adil, sehat, dan efisien. Sehat berarti efektif sebagai instrumen kebijakan, optimal sebagai sumber pendapatan, serta adaptif dengan perubahan struktur dan dinamika perekonomian. Adil berarti memberi kepastian perlakuan pemajakan, mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak, dan menciptakan keseimbangan beban pajak antarkelompok pendapatan dan antarsektor. Materi revisi UU KUP yang disampaikan pemerintah berusaha melengkapi berbagai langkah reformasi yang telah dilakukan sebelumnya.

 

Jejak langkah pembenahan

Pada era 1983 WP mulai diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajibannya atau disebut self-assessment. Pada masa itu berbagai sistem perpajakan rumit warisan Belanda pun diganti. Penerimaan pajak menjadi kontributor utama penerimaan negara, dari yang sebelumnya didominasi oleh penerimaan migas. Upaya pembenahan berlanjut. Pada periode 1991-2001 dilakukan amandemen terhadap beberapa undang-undang perpajakan yang berfokus pada penyederhanaan jenis pajak. Pada 2002-2008 reformasi perpajakan difokuskan untuk membenahi tata kelola organisasi, SDM, dan proses bisnis perpajakan. Ribuan standar operasional disusun dan modernisasi kantor layanan pajak dilakukan dengan membentuk KPP WP Besar, KPP Khusus, KPP Madya dan KPP Pratama.

Pada 2008-2016 reformasi pajak berfokus pada peningkatan peran pajak sebagai respons atas krisis keuangan global. Pajak bukan hanya menjalankan fungsi penerimaan tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi dan iklim investasi. Berbagai kebijakan insentif dan fasilitas perpajakan diterbitkan misalnya penurunan tarif untuk mendorong aktivitas dunia usaha dan penaikan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk mendukung daya beli masyarakat. Pengampunan pajak (tax amnesty) dan pertukaran data perpajakan untuk meningkatkan potensi dan kepatuhan pajak, serta dimulainya pembaruan sistem IT perpajakan juga dilakukan pada 2016-2017.

Pada 2020 hantaman keras pandemi COVID-19 mengakibatkan penerimaan perpajakan turun cukup dalam, berkurang -16,88 persen dari tahun 2019. Akibatnya rasio pajak pun turun menjadi 8,33 persen atau terendah dalam dua dekade terakhir. Penataan perpajakan pada 2020 difokuskan untuk mendorong perekonomian nasional melalui pemberian berbagai insentif perpajakan bagi sektor terdampak pandemi. Salah satunya penurunan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen pada tahun pajak 2020 dan 2021, dan menjadi 20 persen mulai tahun pajak 2022. Sedangkan untuk meningkatkan penerimaan, ditempuh langkah perluasan basis pemajakan antara lain dengan memberlakukan pengenaan PPN atas barang dan jasa digital dari luar negeri yang dijual kepada pelanggan domestik dan pengenaan bea materai untuk dokumen elektronik.  

 

Sistem perpajakan kita perlu adaptif dengan tren ekonomi global yang berubah sangat cepat akibat perubahan pola bisnis di era digital.

Pangkas policy gap

            Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar mengakui adanya perbaikan sistem perpajakan yang terus dilakukan pemerintah setiap tahunnya. Namun demikian, dia menilai implementasi sistem perpajakan di Indonesia masih belum optimal. Rasio pajak Indonesia masih terbilang rendah bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Dalam kurun 2018-2020 rasio pajak Indonesia stagnan di level 10-12 persen. Sedangkan Singapura 13-14 persen, Malaysia 12-15 persen, Philipina 17-18 persen, dan Thailand 17-17,5 persen.

Rendahnya rasio pajak ini menurut Fajry disebabkan 2 hal yaitu compliance gap dan policy gap. Namun ia menyayangkan, di Indonesia belum ada kajian empiris mengenai compliance gap. Sedangkan policy gap dapat dilihat melalui laporan belanja perpajakan, yang menunjukkan besarnya potensi penerimaan pajak yang tidak dipungut pemerintah karena regulasi. “Di tahun 2019, ada sebesar Rp257 triliun, besar banget, setara 1,62 persen dari PDB. Jadi besar banget belanja perpajakan kita, dan ini yang menyebabkan mengapa tax ratio kita tertekan,” bebernya. Sementara belanja perpajakan terbesar pada 2019 diberikan dalam bentuk PPN yang mencapai Rp166,9 triliun.

Di samping itu, Fajry juga melihat masih terdapat celah untuk melakukan penghindaran perpajakan. Dia mengungkapkan banyak pihak yang memecah entitas untuk menghindar menjadi pengusaha kena pajak (PKP) agar tidak memungut PPN atau agar objeknya tidak dikenakan PPN. Fajry mensinyalir ini terjadi karena ambang batas PKP Indonesia memang terlalu tinggi, bahkan di ASEAN merupakan salah satu tertinggi, kecuali Singapura. Itu juga yang menyebabkan rasio pajak kita rendah.

Fajry memandang rencana pemerintah menurunkan ambang batas PKP tepat. Di satu sisi penerimaan akan naik. Di sisi lain mereka dapat meningkatkan produktivitas usaha, kemudian menjadi perusahaan formal, selanjutnya akan mudah mencari pendanaan. Lalu akan mendorong level playing field dan persaingan yang sehat. Kemudian berujung pada tergenjotnya pertumbuhan ekonomi.

Di samping perlunya mengoptimalkan kinerja perpajakan, yang tidak kalah penting, menurut Fajry penataan sistem perpajakan harus dilanjutkan agar fungsi pajak dalam mendistribusi pendapatan untuk mengatasi ketimpangan dapat lebih maksimal.

 

Lanjutkan perbaikan

            Untuk membenahi sistem perpajakan, Fajry memaparkan, yang pertama harus dilakukan adalah perbaikan struktural atau institusional. Misalnya, membangun compliance risk management atau mengelola kepatuhan berdasarkan risiko, sebagaimana yang tengah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini. Dia juga menekankan pentingnya peningkatan kuantitas dan kualitas SDM DJP. “Kuantitas account representative (AR) per wajib pajak di Indonesia itu paling rendah dibandingkan banyak negara. Jadi satu AR pegang banyak WP, tentunya kan ini nggak akan efektif,” ujarnya.

Kedua, peningkatan kerja sama internasional. Sistem perpajakan kita perlu adaptif dengan tren ekonomi global yang berubah sangat cepat akibat perubahan pola bisnis di era digital. Kabar baiknya, OECD telah memutuskan konsensus global atas pajak digital. Konsensus pajak digital ini memungkinkan pemerintah menarik PPh perusahaan digital asing yang sudah mengambil manfaat ekonomi di Indonesia. Kebijakan ini akan berdampak positif bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya.

Dan terakhir, pembenahan sistem perpajakan dilakukan dengan perbaikan policy gap melalui revisi peraturan perpajakan sebagaimana pembahasan yang tengah dilakukan pemerintah dengan DPR. Fajry menilai konsep reformasi perpajakan yang saat ini diusung pemerintah sudah tepat. “Reformasi ini bukan semata soal peningkatan kinerja penerimaan. Melainkan bicara mengenai keadilan, kepastian hukum bagi wajib pajak, dan pendorong pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.     


CS. Purwowidhu