Surat Utang Membangun Negeri

5 Oktober 2021
OLEH: Randy Wirayudha
Surat Utang Membangun Negeri
 

Obligasi jadi alternatif pembiayaan pembangunan lewat partisipasi masyarakat. Bahkan di saat pandemi, strategi ini menjadi sumber pembiayaan defisit untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.

Untuk kali ketiga di tahun 2021, pemerintah menggencarkan basis investor domestik dengan membidik kelompok milenial. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) membuka masa penawaran Saving Bond Ritel atau Surat Utang Negara (SBR/SUN) seri SBR010 periode 21 Juni-15 Juli 2021 dengan tagline “Pilihan Berharga untuk Tumbuh Bersama”.

DJPPR menjamin investasi ini aman dan minim risiko karena pemerintah tak pernah terlambat membayar pokok dan bunganya pada momen jatuh tempo, tetap untung, sekaligus mendorong peran kaum milenial dalam pembangunan negeri. Investasi obligasi ritel ini akan dipakai sebagai salah satu sumber pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Selain dengan menerbitkan obligasi ritel, DJPPR memfasilitasi pendanaan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia dari APBN yang bersumber dari obligasi lain. Misalnya, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara untuk proyek pembangunan jalur kereta api Trans-Sulawesi yang membentang dari Makassar sampai Parepare.

Pembiayaan APBN lewat cara-cara alternatif semacam itu merupakan salah satu tugas pokok DJPPR, salah satu institusi di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). DJPPR memiliki visi menjadi unit yang profesional dalam mendukung pembiayaan APBN dan Investasi Publik secara efisien sekaligus mengelola risiko dan menjaga kesinambungan fiskal.

DJPPR baru dibentuk pada 2014. Namun, penjualan obligasi negara untuk pembiayaan pembangunan sudah berjalan sejak republik baru lahir.

Kondisi masyarakat Indonesia zaman dahulu (sumber foto: Wikimedia Commons)

 

Dana Perjuangan

Dalam realisasi APBN, penerimaan negara selalu lebih kecil dibandingkan belanja negara. Hal ini menyebabkan terjadinya defisit pada APBN. Karena itu pemerintah mencari sumber pembiayaan lain yang bisa dimanfaatkan.

Pembiayaan APBN dengan menggunakan instrumen utang merupakan hal yang lazim dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam APBN, sumber pembiayaan melalui utang dapat diperoleh dari pinjaman luar negeri, pinjaman dalam negeri, maupun penerbitan surat utang.

Di awal kemerdekaan, anggaran negara masih terbatas. Sementara pemerintah harus menghadapi Belanda secara militer maupun diplomasi dan juga tetap menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Namun, penerimaan dari pemungutan pajak tidak mencukupi.

Urusan pembiayaan menjadi tanggungjawab Pejabatan Keuangan, salah satu unit di bawah Kementerian Keuangan yang menangani urusan anggaran negara, perbendaharaan dan kas negara, serta uang, bank dan kredit. Salah satu langkah untuk mencari sumber pembiayaan negara adalah dengan menggulirkan program Pindjaman Nasional 1946.

Melalui Undang-Undang (UU) No. 4/1946, Menteri Keuangan punya kuasa untuk menjual obligasi demi mengumpulkan dana sebesar f.1.000 juta. Pemerintah mengeluarkan tiga banderol obligasi, yakni lembar ƒ100 (uang Jepang), lembar ƒ500 (uang Jepang), dan lembar ƒ1.000 (uang Jepang).

Menurut Pantja Raja terbitan 15 Mei 1946, dana yang terkumpul akan digunakan untuk pembangunan, membantu perusahaan umumnya, membangun perumahan rakyat, dan membantu belanja negara berhubung jatuhnya harga uang Jepang.

Penjualan dibuka pada 15 Mei-15 Juni 1946 namun terus diperpanjang sampai target tercapai sebelum tutup tahun 1946. Agar makin menarik minat masyarakat, UU No. 4/1946 diperbaiki lewat UU No. 9/1946 tertanggal 5 Agustus 1946. Perkataan “bunga” diubah menjadi “hadiah”.

“Pada tahun pertama penerbitan terkumpul uang sebesar lima ratus juta rupiah,” catat buku Sejarah Pembiayaan Indonesia: Periode 1945-sekarang, yang diterbitkan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. “Hasil penerbitan surat utang ini, selain digunakan untuk membiayai sektor pertanian dan kerajinan rakyat, juga berhasil meredam inflasi.”

Keberhasilan penjualan obligasi negara tersebut mendorong pemerintah untuk mengeluarkan program serupa. Struktur organisasi Kementerian Keuangan kemudian dirombak. Dibentuklah Pejabatan Uang, Bank, dan Kredit yang sebelumnya berada di bawah Pejabatan Keuangan. Dengan adanya pejabatan baru tersebut, pemerintah menggulirkan program pinjaman negara dengan masa pendek.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 20/1947, yang kemudian disahkan menjadi UU No. 30/1947, pemerintah menawarkan promes negara. Targetnya terkumpul hingga Rp.100 juta. Sehelai promes negara (surat berharga) berharga R.1.000 (seribu rupiah) dan masa berlakunya enam bulan dari tanggal pengeluaran.

Dengan PP tersebut, penduduk diberi kesempatan untuk meminjamkan kepada pemerintah dalam jangka waktu enam bulan, baik berupa uang maupun barang yang berguna bagi pertahanan/kemiliteran di masa perang. Sebagai tanda utang akan diberikan surat promes yang dapat ditukar dengan uang mulai tanggal 28 Januari 1948.

Promes negara ialah surat-surat berharga (waarde papieren), yang dapat diperdagangkan dalam masyarakat. Jika memerlukan uang tunai, setiap pemegang promes negara dapat menjual atau menggadaikannya. Namun promes negara tak bisa dijual atau digadaikan kepada jawatan atau badan pemerintah, hanya kepada seorang atau badan partikelir. Pengurusan promes negara diserahkan kepada Bank Negara di Yogyakarta.

Program pinjaman jangka pendek kembali digulirkan tahun berikutnya. Melalui PP No. 25/1948, pemerintah bermaksud meminjam uang untuk sembilan bulan sebanyak Rp.100 juta dengan sewa modal 6%. Tiga bulan kemudian, 13 November 1948, melalui PP No. 66 diadakan perubahan; selain sewa modal 6% diberikan pula premie-risiko sebesar 12%.

Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan, “Bagaimana sulitnya untuk mencari alat-alat pembiayaan negara pada waktu itu,” tulis 20 Tahun Indonesia Merdeka, Volume 2.

 

Menteri Keuangan Sjafrudin Prawiranegara terkenal dengan istilah "Gunting Syafruddin"

Dana Pembangunan

Untuk efisiensi dan koordinasi yang lebih baik, perombakan struktur organisasi Kementerian Keuangan dilakukan pada 1948. Nomenklatur pejabatan diubah menjadi jawatan. Salah satu jawatan yang dibentuk adalah Thesauri Negara, gabungan Pejabatan Keuangan serta Pejabatan Urusan Utang, Kredit, dan Bank. Tugasnya melaksanakan fungsi anggaran dan perbendaharaan.

Salah satu pekerjaan besar Thesauri Negara adalah mengawal kebijakan sanering (pengguntingan uang) yang diambil Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat. Kebijakan ini diambil untuk mengatasi defisit anggaran yang tinggi.

“Kebijakan ekonomi sanering ini dikenal oleh rakyat dengan istilah Gunting Syafruddin karena secara harfiah memang dilakukan pemotongan uang menjadi dua bagian,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed) dalam Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa.

Dalam kebijakan ini, semua uang NICA dan uang kertas De Javasche Bank lainnya dengan nominal lebih dari Rp. 2,50 dipotong menjadi dua bagian. Bagian kiri ditukar dengan uang kertas baru De Javasche Bank. Bagian kanan ditukar dengan 3% Obligasi Republik Indonesia.

Selain itu, semua simpanan giro dan simpanan lainnya di bank di atas Rp.400 harus di tukar dengan 3% Obligasi Republik Indonesia yang akan dibayar kembali secara cicilan dalam jangka waktu 40 tahun. Semua bank wajib memindahkan setengah dari simpanan itu ke rekening “Pendaftaran Pinjaman Negara 3% 1950”. Obligasi yang dikeluarkan khusus untuk tujuan penukaran tersebut dinamakan “Pinjaman Darurat 1950” atau “Obligasi R.I. 1950”.

“Penerbitan tersebut dilakukan untuk mencapai konsolidasi utang negara yang berjangka pendek dan mengatur peredaran uang,” tulis buku Sejarah Pembiayaan Indonesia.

Pemerintah juga berupaya agar dana masyarakat dapat disalurkan ke sektor-sektor investasi yang produktif. Sebagai wadahnya, bursa efek dibuka secara resmi pada 3 Juni 1952. Namun, bursa efek kurang berkembang.

“Surat-surat berharga yang banyak diperdagangkan di bursa terutama adalah obligasi-obligasi pemerintah dan saham-saham dari perusahaan-perusahaan asing,” tulis 20 Tahun Indonesia Merdeka.

Pada pertengahan 1950-an, kondisi perekonomian belum membaik. Sebagian besar penerimaan negara berasal dari utang luar negeri, yang dipakai untuk menghadapi pemberontakan di daerah maupun proyek-proyek pembangunan. Untuk itu pemerintah menerbitkan sejumlah obligasi sebagai salah satu instrumen utang pemerintah, antara lain Obligasi Konsolidasi 1959 dan Obligasi Berhadiah 1959.

Penerbitan Obligasi Konsolidasi 1959 dilakukan terkait kebijakan moneter untuk mengganti uang rakyat yang dibekukan di bank-bank pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 26/1959. Obligasi ini diterbitkan dengan bunga 3,5% dan berjangka waktu 40 tahun dengan total outstanding sebesar Rp5 miliar.

Sedangkan Obligasi Berhadiah 1959 diterbitkan pada 17 Agustus 1959 senilai Rp 2 miliar dengan bunga 6% sesuai UU Darurat No. 3/1959 tentang Pengeluaran Pinjaman Obligasi Berhadiah Tahun 1959. Penerbitan obligasi ini dilakukan untuk pembiayaan pembangunan. Tingkat bunga yang cukup tinggi sebesar 6% ditetapkan untuk menarik minat masyarakat.

“Obligasi Berhadiah berjangka waktu 30 tahun ini kemudian banyak dibeli pemodal individu dalam negeri,” tulis 20 Tahun Indonesia Merdeka.

Untuk menangani pekerjaan yang kian menumpuk, susunan organisasi pengelola keuangan negara dirombak pada 1962. Thesauri Negara dihapus. Tugas dan wewenangnya dialihkan ke Departemen Urusan Anggaran Negara, yang memegang tugas perencanaan dan penyusunan anggaran negara. Selain itu dibentuk pula Departemen Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan yang bertugas melaksanakan perbendaharaan dan kas negara. Sebagian pegawai Thesauri Negara dipindahkan ke Departemen Urusan Anggaran Negara dan sebagian lagi ke Departemen Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan.

Pada 1964, untuk membiayai pembangunan nasional, pemerintah kembali menerbitkan obligasi yang dikenal dengan nama Obligasi Pembangunan 1964. Obligasi ini diterbitkan dengan bunga 6% dengan total outstanding sebesar Rp10 miliar.

Namun, obligasi-obligasi tersebut mengalami kegagalan. Pembayaran kewajiban kacau balau karena pemerintah tak punya uang. Harga obligasi juga turun sejak pemerintah melakukan devaluasi rupiah pada 1966.

“Periode ini merupakan masa suram dalam sejarah pengelolaan keuangan negara dan dalam jangka waktu yang cukup panjang pemerintah berhenti menerbitkan Surat Utang Negara,” ungkap Tarmiden Sitorus dalam Pasar Obligasi Indonesia: Teori dan Praktik.

 

Obligasi Kedaluwarsa

Pemerintahan Orde Baru mewarisi kewajiban pembayaran obligasi-obligasi yang diterbitkan tahun 1950, 1959, dan 1964 atau dikenal dengan istilah Obligasi Lama. Pada 1978, pemerintah berusaha mempercepat pelunasan terhadap sisa outstanding seluruh seri obligasi yang masih beredar di masyarakat. Yang ditugaskan untuk melaksanakan pelunasan adalah Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri (DJMDN).

Terbentuknya DJMDN tak bisa dilepaskan dari perubahan susunan organisasi Kementerian Keuangan secara besar-besaran pada 1966. Saat itu dibentuk beberapa direktorat baru pada Kementerian Keuangan. Salah satunya Direktorat Jenderal Keuangan. Pada 1975, Direktorat Jenderal Keuangan diubah menjadi menjadi Direktorat Jenderal Moneter (DJM) dengan tugas dan fungsi lebih luas.

Namun, pada 1979, nomenklatur DJM dihapuskan. Sebagai gantinya dibentuk Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri (DJMDN) dan Direktorat Jenderal Moneter Luar Negeri (DJMLN) –kelak, pada 1988 digabung lagi menjadi DJM.

Upaya menyelesaikan Obligasi Lama tidak berjalan mudah. Pelunasan dilaksanakan mulai 16 Maret 1979 di Kantor Kas Negara yang ditunjuk, yaitu sebanyak 23 kantor di seluruh Indonesia. Selanjutnya obligasi-obligasi tersebut dimusnahkan di PN Kertas Padalarang pada 1985.

Kendati Obligasi Lama sudah kedaluwarsa, rupanya masih ada pemegang/ahli waris pemegang obligasi yang mengupayakan permintaan pelunasan. Persoalan ini bahkan menjadi berlarut-larut. Pada 2001, Kementerian Keuangan memutuskan tuntutan atas klaim obligasi lama tetap tidak dapat dipenuhi karena sudah kedaluwarsa.

“Keputusan tersebut diperkuat dengan putusan pengadilan termasuk putusan atas permohonan kasasi dari pemegang obligasi lama yang memutuskan untuk menolak tuntutan agar pemerintah melunasi obligasi tersebut,” tulis buku Sejarah Pembiayaan Indonesia Periode 1945-Sekarang.

Setelah lama berhenti menerbitkan obligasi, pemerintah kembali melirik sumber alternatif pembiayaan pembangunan ini. Salah satunya dengan menerbitkan obligasi internasional. Pada 1980-an, pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam denominasi Yen di pasar perdana Jepang yang dikenal dengan nama Samurai Bonds.

Penerbitan Samurai Bonds terdiri dari tiga seri dengan nominal masing-masing sebesar JPY10.000.000.000, yakni Yen Bonds of 1981 – Series 1, Yen Bonds of 1982 – Series 2, dan Yen Bonds of 1983 – Series 3. Kelak, Samurai Bonds dilakukan pada tahun-tahun berikutnya.

Namun, selama Orde Baru, pemerintah lebih mengandalkan pembiayaan pembangunan melalui utang luar negeri. Utang luar negeri dengan nominal valuta uang asing sensitif terhadap gejolak nilai tukar. Terbukti, Indonesia harus mengalami krisis ekonomi dan moneter pada 1997.

Suasana di jalan raya Surabaya tempo dulu 

Sumber Utama

Salah satu dampak dari krisis adalah bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Untuk mengatasinya, pemerintah meluncurkan program rekapitalisasi perbankan bank umum lewat PP No. 84 tahun 1998.

“Pemerintah menganggap bahwa Bank Umum merupakan lembaga intermediasi yang memiliki peran penting dalam mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia sehingga memerlukan permodalan yang cukup,” tulis buku Sejarah Pembiayaan Indonesia Periode 1945-Sekarang.

Pada 1999, Kementerian Keuangan membentuk Tim Debt Management Unit (DMU) di bawah Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan. Tugasnya mengelola utang pemerintah dan obligasi negara yang diterbitkan demi penyehatan perbankan akibat krisis ekonomi dan moneter. Dua tahun kemudian, Tim DMU diubah menjadi Pusat Manajemen Obligasi Negara (PMON) di bawah Sekretariat Jenderal yang secara khusus mengelola Surat Utang Negara (SUN).

Penerbitan surat utang secara legal disahkan dalam Pasal Peralihan UU No. 24/2002 tentang Surat Utang Negara (SUN). Dalam perkembangannya, SUN menjadi instrumen utama sumber pembiayaan defisit APBN. Hal ini kali pertama dilakukan pada 2002 melalui metode bookbuilding. SUN yang diterbitkan berupa Obligasi Negara seri FR0021.

Pemerintah melakukan pengembangan metode penerbitan SUN. Pada 8 April 2003 pemerintah berhasil melakukan Lelang Surat Utang Negara untuk kali pertama dengan menerbitkan Obligasi Negara seri FR0022. Kemudian secara bertahap, pemerintah melaksanakan penerbitan SUN reguler di pasar perdana.

Dengan strategi pengelolaan utang yang baik, rasio utang pemerintah bisa diturunkan ke level aman pada 2007. Sejak itu pula pengelolaan keuangan negara tidak lagi berfokus pada isu utang.

Pemerintah juga mengembangkan surat berharga dengan menggunakan prinsip syariah. Sebagai implementasinya, dikeluarkan kebijakan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) melalui UU No. 19/2008. Tak lama setelah diundangkan, pemerintah menerbitkan SBSN/Sukuk Negara untuk kali pertama pada 26 Agustus 2008 melalui bookbuilding yakni seri Islamic Fixed Rate IFR001.

Selain dalam nominal rupiah, pemerintah menerbitkan SUN dalam valuta asing bagi investor luar negeri seperti Global Bonds dan Samurai Bonds. Penerbitan Samurai Bonds, misalnya, dilakukan pada Mei 2019 dengan enam seri: RIJPY0522, RIJPY0524, RIJPY0526, RIJPY0529, RIJPY0534, dan RIJPY0539. Penerbitan ini tercatat sebagai transaksi penerbitan Samurai Bonds melalui Public Offering terbesar yang dilakukan oleh negara di benua Asia.

Sejak 2004, Kementerian Keuangan berkali-kali merombak unit pengelola utang. Mulanya unit pengelolaan utang disatukan dalam Direktorat Jenderal Perbendaharaan. PMON menjadi Direktorat Pengelolaan SUN. Sedangkan Direktorat Dana Luar Negeri menjadi Direktorat Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri.

Dalam perkembangannya, agar lebih transparan dan akuntabel, pengelolaan utang dipusatkan dalam satu unit tersendiri. Melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 131/PMK.01/2006, terbentuklah Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU).

“Sesuai dengan PMK tersebut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang melakukan tugas perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pengelolaan utang,” tulis buku Sejarah Pembiayaan Indonesia Periode 1945-Sekarang.

Sebagai upaya meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber dalam negeri dan untuk mendukung industri strategis, pemerintah memperkenalkan satu alternatif pembiayaan melalui pinjaman, yaitu pinjaman dalam negeri. Dasar hukumnya adalah PP No. 54 Tahun 2008. Sumber pendanaan dari pinjaman  dalam negeri diperoleh melalui pembiayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN),  pemerintah daerah, dan perusahaan daerah.

Pada 2012, dilakukan penataan organisasi DJPU. Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, yang sebelumnya merupakan unit eselon II pada Badan Kebijakan Fiskal, diintegrasikan ke dalam DJPU. Hal ini dilakukan untuk mengintegrasikan pengelolaan risiko keuangan baik fiskal maupun utang. Namun, realisasi dari usulan penataan organisasi tersebut baru terlaksana dua tahun kemudian. Melalui Peraturan Menteri Keuangan 206/PMK.01/2014 disahkanlah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR).

DJPPR mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan di bidang pengelolaan pinjaman, hibah, surat berharga negara, dan risiko keuangan.

Salah satu peran penting yang dimainkan DJPPR adalah mendukung pembangunan infrastruktur. Untuk mengatasi keterbatasan APBN, pemerintah mengambil beberapa alternatif pendanaan. Salah satunya menggunakan skema kerjasama pembangunan yang melibatkan pihak swasta. Skema tersebut dikenal dengan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), yang kemudian disebut Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Terbitlah PP No. 38/2015. Beberapa lembaga berperan langsung dalam pelaksanaan KPBU, termasuk DJPPR dalam memberikan dukungan dan jaminan pemerintah.

Maka, dibentuklah Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur di bawah DJPPR. Unit tersebut mempunyai tugas dan fungsi mengintegrasikan dan mengelola fasilitas dan dukungan fiskal untuk penyediaan infrastruktur yang dijalankan dengan skema KPBU.

Saat ini, optimalisasi pembiayaan utang yang bersumber dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) lebih dipilih daripada pengadaan pinjaman luar negeri untuk pembiayaan defisit APBN. SBN terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Kinerja DJPPR dalam manajemen utang terbilang bagus. Pada Oktober 2019, DJPPR memperoleh penghargaan sebagai Asia Pasific Public Debt Management Office of the Year dari Global Markets, majalah internasional bidang ekonomi yang terkemuka. Penghargaan ini diterima pada gelaran pertemuan tahunan World Bank/IMF di Washington DC, AS.

Setahun kemudian, oleh Global Markets, Indonesia dinobatkan sebagai “Best Public Debt Office/Sovereign Debt Management Office in East Asia Pacific” atau peminjam berdaulat terbaik dalam merespons pandemi Covid-19 di Asia Pasifik Timur lewat manajemen utang di bawah DJPPR.

Sepanjang sejarahnya, DJPPR telah bertransformasi beberapa kali guna menyesuaikan jenis dan jumlah utang negara serta demi mendukung pembangunan dan pengelolaan pembiayaan yang prudent dan hati-hati.


Randy Wirayudha