Tarif PPN 11 Persen Dorong Asas Keadilan dan Kesinambungan Penerimaan

16 April 2022
OLEH: Dara Haspramudilla
Tarif PPN 11 Persen Dorong Asas Keadilan dan Kesinambungan Penerimaan
 

Kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen menjadi topik perbincangan yang bergulir hangat. Tak ayal, pro dan kontra pun bermunculan. Namun, sebelum kita membahas soal kenaikan PPN, ada baiknya kita perlu mengetahui mengenai konsep dasar PPN.

Menurut Darussalam, Ketua Umum Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia, PPN pada hakikatnya adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa yang bersifat umum yang dikenakan pada konsumen akhir baik sebagai pembeli barang maupun penerima manfaat jasa yang paling akhir. PPN juga disebut pajak tidak langsung sebab yang memungut adalah pengusaha kena pajak.

Pada hakikatnya, netralitas adalah prinsip utama yang melekat dalam pemungutan PPN. Di samping melakukan penjualan, pengusaha juga melakukan pembelian barang-barang produksi dan dikenakan PPN yang dinamakan pajak masukan.

“Jika barang dan jasa itu kemudian tidak dikenakan PPN, maka pajak masukannya tidak dapat dikreditkan. Nah, ketika tidak bisa dikreditkan nantinya pajak masukan tersebut akan menjadi bagian dari harga jual. Inilah kemudian yang akan merusak sistem PPN. Hak mengkreditkan itu disebut sebagai netralitas yang bertujuan agar pengusaha tidak dikenakan PPN,” terang Darussalam.

Salah satu alasan pemerintah mengeluarkan kelompok barang yang tadinya dikecualikan sebagai objek pajak karena jika tetap dikecualikan maka insentif PPN menjadi salah sasaran.

“Sebagai contoh beras, jika beras dikecualikan artinya tidak ada PPN atas beras tersebut. Sementara, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah kalau beli beras itu di pasar tradisional yang memang tidak ada mekanisme PPN. Jadi, siapa yang menikmati insentif PPN selama ini? Tentu saja kelompok masyarakat mampu yang berbelanja di supermarket yang ada mekanisme PPN. Maka, jika insentif PPN tetap diberikan atau barang-barang tersebut tidak dikenakan PPN, tentu saja salah sasaran,” beber pengamat perpajakan ini. 

Bukan faktor utama inflasi

Menurut Ketua APINDO Hariyadi B. Sukamdani, kenaikan PPN sebesar 1 persen masih bisa diterima. Dampak penyesuaian PPN terhadap inflasi juga tidak terlalu signifikan. Hanya saja, tanpa terduga di saat yang bersamaan juga terjadi eskalasi ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina.

“Isunya sebenarnya tidak hanya semata-mata PPN, memang harga dasarnya naik, itu yang bikin orang mengeluh. Jika tidak dalam posisi kena musibah perang Ukraina, kenaikan PPN 1 persen sebenarnya masih bisa diterima. Situasi ini sudah tidak murni karena semata-mata naiknya tarif PPN sebab basis harganya sudah naik semua. Bahkan kebutuhan pokok yang tidak kena PPN pun sekarang harganya naik,” terangnya.

Hal senada juga disampaikan Darussalam. Menurutnya, banyak faktor yang bisa mempengaruhi inflasi sehingga tidak bisa langsung dinilai bahwa inflasi hanya disebabkan oleh penyesuaian tarif PPN ini. Terlebih lagi, saat ini situasi global seperti konflik Rusia dan Ukraina juga memberikan dampak negatif yang signifikan.

“Saya yakin PPN bukan merupakan faktor dominan dalam menentukan inflasi yang terjadi saat ini. Apalagi banyak faktor yang mempengaruhi dan harus dilihat secara proporsional faktor yang paling dominan dalam menentukan inflasi itu sendiri. Untuk saat ini saya kira gangguan supply chain akibat perang Rusia dan Ukraina juga turut mempengaruhi sebab banyak negara lain juga mengalami seperti yang dialami Indonesia,” terang Darussalam.

Kebijakan penuh pertimbangan

Penyesuaian tarif PPN ini bukanlah kebijakan kebut semalam. Diskusi panjang antara pemerintah dengan berbagai elemen diantaranya DPR, pengusaha, pelaku usaha sektor riil telah dilakukan. Pada akhirnya, pilihan kebijakan menaikkan tarif sebesar 12 persen yang dilakukan bertahap di tahun ini sebesar 11 persen pun menjadi pilihan yang dianggap mengakomodir berbagai kepentingan.

“Jadi, mengenai tarif PPN ini kan suatu diskusi yang panjang. Dulu itu kan direncanakan mau diterapkan PPN multitarif, tetapi kalau diterapkan malah tambah repot. Intinya, kita mencari titik tengah agar kepentingan pemerintah dan kepentingan pengusaha atau sektor riil bisa terakomodir. Akhirnya kesepakatannya adalah dengan menaikkan PPN, di DPR juga sepakat untuk itu, dan APINDO sampai hari ini konsisten mendukung,” tutur Hamdani.

Berbicara soal momentum dikeluarkannya kebijakan penyesuaian tarif PPN, Darussalam berpendapat bahwa saat ini adalah momen yang tepat. Hal ini juga terkait dengan konsolidasi fiskal yang secara bertahap harus diturunkan defisitnya hingga 3 persen terhadap PDB di tahun 2023. Terlebih lagi, tahun 2023 merupakan tahun politik yang justru akan lebih berat jika kebijakan PPN dikeluarkan pada tahun depan.

“Menurut saya dari sisi ekonomi, momentumnya sekarang. Saya khawatir jika tidak dinaikkan, kita tidak punya momentum lagi. Sementara, kita harus menjaga kesinambungan penerimaan negara. Jika ini tidak dilakukan, dikhawatirkan penerimaan pajak kita tidak kuat untuk membangun negara ini padahal kontribusinya terbesar bagi penerimaan negara,” jelasnya.

Insentif PPN dan pemberian BLT

Namun demikian, pemerintah pun tidak menutup mata dengan kondisi dan situasi saat ini. Kebijakan penyesuaian tarif PPN juga dibarengi dengan pemberian fasilitas pembebasan untuk sebagian barang yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan demikian, masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah tidak perlu khawatir.

“Jadi masyarakat sebetulnya tidak perlu kuatir. Dari sisi perlakuan, itu sebenarnya secara substansi sama atas barang-barang dikecualikan itu tidak dalam konteks dikenakan, tetapi dipindahkan saja ke kelompok barang yang diberikan insentif atau diberikan pembebasan seperti itu,” ujar Darussalam yang juga Pemimpin Umum DDTC News.

Menanggapi kebijakan pemerintah memberikan BLT untuk meredam dampak penyesuaian PPN menurut Hariyadi kebijakan tersebut adalah kebijakan populis. Ia berpendapat bahwa substansi paling mendasar dari permasalahan yang terjadi belakangan ini adalah produktivitas bangsa Indonesia. Menurutnya, permasalahan ini salah satunya disebabkan karena persoalan penyerapan tenaga kerja dan upah tenaga kerja.

“Kalau upahnya ketinggian, penyerapan tenaga kerjanya kan repot. Jadi kalau bicara PPN, menurut saya sih bukan di situ (masalahnya), tapi bagaimana membuat bangsa ini mandiri, memberikan pekerjaan yang secara optimal untuk rakyatnya,” jelasnya.

Jaga supply demand dan alokasi agar tepat manfaat

Hariyadi berpendapat jika ke depan tekanan geopolitik antara Rusia dan Ukraina mereda maka harga-harga barang juga akan turun. Menurutnya, permasalahan utama saat ini adalah supply dan demand yang terganggu akibat konflik Rusia dan Ukraina. Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah melakukan substitusi impor, terutama pangan.

“Hal yang paling rawan adalah kalau masyarakat lapar, itu bahaya. Kita bicara supply demand. Kalau barang impor, kalau barangnya tidak ada, bagaimana? Sudah mahal, barangnya tidak ada. Kita sebetulnya ada keuntungan juga yaitu di mana kita posisinya swasembada. Nah, itu harus dijaga,” tambahnya.

Sementara itu, Darussalam berharap pajak yang telah dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dapat dialokasikan dengan tepat sasaran dan tidak disalahgunakan. Dengan demikian, masyarakat pun tidak akan keberatan sebab manfaat pajak akan nyata dirasakan.

 “Artinya, semua lembaga negara pengguna APBN seperti kementerian dan lembaga negara harus memastikan bahwa uang yang di-collect oleh Kemenkeu atau DJP itu tepat sasaran. Alokasi dana harus sesuai dan bermanfaat bagi masyarakat umum. Jika ini dilakukan, saya yakin masyarakat akan rela untuk membayar pajak. Jadi, harapan saya berada di para pengguna uang pajak itu, lembaga pemerintahan dan kementerian,” pungkasnya.

 


Artikel Lain
TELUSURI