Wadah Berbagi Perempuan Berkisah

14 Mei 2021
OLEH: Dimach Putra
Wadah Berbagi Perempuan Berkisah
 

Maret dan April bisa dikatakan menjadi bulannya para perempuan di Indonesia. Tanggal 8 Maret biasa diperingati sebagai International Women’s Day sedangkan 21 April dikenal sebagai Hari Kartini. Namun, semangat pergerakan perempuan sepatutnya tidak hanya dirayakan di momen tertentu saja. Banyak individu, komunitas, dan institusi lainnya memperjuangkannya menjadi isu yang relevan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu komunitas ini adalah Perempuan Berkisah.

Alimah Fauzan, founder dan konselor bagi Perempuan Berkisah, membentuk komunitas yang memiliki visi menjadi media pemberdayan perempuan dan ruang aman berbagi pengetahuan dan pembelajaran berbasis pendekatan feminis. Simak obrolan kami berikut ini.

 

Bagaimana proses terbentuknya Perempuan Berkisah?

Perempuan Berkisah secara resmi didirikan tahun 2019, namun semangatnya sudah muncul sejak tahun 2008 yang digerakkan dengan menyediakan media bagi perempuan untuk berbagi pengetahuan, pembelajaran dan kisah inspiratifnya. Awalnya kegiatan ini diwadahi melalui situs perempuanberkisah.com pada tahun 2015 yang berubah menjadi perempuanberkisah.id sejak tahun 2019.

Saat menjadi jurnalis (NGO) di Fahmina Institute (sekarang Yayasan Fahmina) di tahun 2008, saya terbiasa menghadapi para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perdagangan manusia, pekerja migran korban kekerasan seksual, dan persoalan kelompok marginal lainnya. Mulai tahun 2015, saya bekerja sebagai gender specialist di Institute for Education Development, Social and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta. Saat itu saya masih bergelut dengan isu perempuan, namun fokusnya pada isu gender dan pembangunan di sejumlah desa di Indonesia.

Awal bekerja sosial di bidang pemberdayaan, saya sempat merasa kesulitan mencari kisah pembelajaran para perempuan di lapangan. Kemudian, saya mulai membuat media saya sendiri yaitu perempuanberkisah.com yang kini berubah menjadi perempuanberkisah.id. Media yang menyuguhkan opini perempuan memang banyak. Akan tetapi, yang konsisten menggali pembelajaran di lapangan berdasarkan sudut pandang para perempuan itu sendiri ternyata belum banyak yang sesuai dengan kebutuhan saya. Misalnya, tentang bagaimana mereka melakukan pemberdayaan, menghadapi tantangan di setiap daerah dengan beragam persoalan, dan strategi keluar dari masalah tersebut.

 

Bagaimana Perempuan Berkisah menanggapi stigma miring yang sering melekat dalam gerakan feminisme?

Istilah dan wacana feminisme sampai saat ini kerap menjadi momok masyarakat. Masih ada pandangan bahwa feminisme lahir dari barat, padahal nilai dan prinsip feminisme ini sangat Indonesia. Sejumlah individu perempuan maupun lelaki serta mereka yang ada di gerakan telah menerapkan prinsip dan nilai feminisme, tanpa harus menyebut diri sebagai feminis. Istilahnya pun bisa kita ganti dengan sebutan yang lebih lokal atau lainnya. Silakan saja gunakan senyamannya.

Di tengah penolakan terhadap istilah ini, perlahan masyarakat terutama anak muda di Indonesia pun mulai mengenal apa itu feminisme dan mencari bentuknya sendiri. Wacana feminisme di kalangan menengah (khususnya aktivis dan akademisi) bukan hanya memengaruhi mereka untuk berpikir kritis terhadap beragam isu terutama isu-isu spesifik perempuan. Lebih dari itu, mereka juga melakukan aksi yang bahkan memengaruhi beragam kebijakan publik di Indonesia. Misalnya, bagaimana munculnya RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual dengan begitu tangguh dan konsisten diperjuangkan agar masuk Prolegnas Prioritas 2021.

Saya merasakan bagaimana ruh, prinsip, dan nilai feminisme akan semakin masif dan mulai diterima masyarakat Indonesia dengan beragam pendekatan. Contohnya perjuangan kaum islam moderat melawan tafsir teks islami yang misoginis, perlawanan kekerasan berbasis gender oleh golongan muda, dan perjuangan hak para petani perempuan Kendeng. Siapapun kita, ketika kita secara sadar mampu memahami bahwa ada ketidakadilan di sekitar kita dan bergerak untuk mengatasinya, maka kita adalah seorang feminis.

 

Bagaimana Perempuan Berkisah mengedukasi masyarakat tentang feminisme dan miskonsepsi yang masih sering melekat?

Kami mencoba membumikan nilai dan prinsip feminisme dalam keseharian kita. Mengedukasi bukan hanya membuat konten media yang diharapkan dapat mengubah sudut pandang masyarakat. Lebih dari itu, kami melakukan pendampingan korban kekerasan berbasis gender dan pengorganisasian komunitas perempuan berkisah di beragam daerah. Para perempuan tersebut sebagai subjek yang merancang dan melaksanakan program dan kegiatan mereka sendiri disesuaikan dengan konteks, kebutuhan, dan kondisi sumber daya mereka. Setiap daerah berbeda dalam proses advokasi, kampanye dan pemberdayaan yang dilakukan. Dalam bergerak, kami juga melakukannya secara kolaboratif. Misalnya, dalam mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS), kami bergerak bersama banyak pihak (KOMPAKS, KUPI, pemerintah, lembaga pendidikan dan lain-lain).

Setiap organisasi memiliki isu dan tantangannya sendiri. Misalnya di dunia kerja, isu pelecehan seksual di ruang kerja kerap terjadi. Kami masuk dalam mengedukasi para karyawan. Di kampus, tren isu kekerasan seksual tak bisa ditutup-tutupi dan korbannya cukup banyak. Kami melakukan diskusi publik dan kampanye untuk mengedukasi, melakukan pencegahan, dan penguatan mental korban. Kami juga turut menjadi bagian dalam pendampingan korban kekerasan yang terjadi selama pandemi. Upaya yang kami lakukan itu adalah bagian dari perlawanan kami atas segala bentuk kekerasan, diskriminasi, penindasan dan ketidakadilan lainnya. Semua itu adalah bagian dari perjuangan feminisme.

 

Apa pesan Anda bagi sesama perempuan Indonesia?

Kita perlu saling bergandeng tangan melawan patriarki yang begitu besar. Mari saling mendukung, menguatkan, mengapresiasi dan berkolaborasi di bidang apapun. Baik kaum perempuan maupun laki-laki sudah mulai menyadari bahwa ada ketidakadilan dan ketertindasan di dunia ini. Kesadaran ini saja sudah merupakan pencapaian, apalagi jika mereka berani menyuarakannya dan mau bergerak melawan ketidakadilan sesuai kapasitasnya.

Setiap orang memiliki alasan atas pilihan sadarnya mengapa mengambil cara tersebut. Kalau sulit mengapresiasinya, setidaknya jangan membandingkan. Biarkan mereka berproses dengan caranya sendiri. Kebiasaan membanding-bandingkan satu perempuan dengan perempuan lainnya, satu feminis dengan feminis lainnya, satu komunitas dengan komunitas lainnya, tidak ada bedanya dengan para patriarkat yang selalu merasa kebakaran jenggot kalau kita maju dan berkembang.

 


Dimach Putra