2024 Saatnya Percepat Transformasi Ekonomi

26 Mei 2023
OLEH: Reni Saptati D.I.
2024 Saatnya Percepat Transformasi Ekonomi
 

Dunia pernah mengalami penurunan tingkat ekonomi secara dramatis pada tahun 1929 yang terus berlanjut hingga satu dekade. Peristiwa tersebut dikenal dengan Great Depression. Dampaknya tidak main-main, Great Depression menghancurkan ekonomi negara-negara di dunia.

Pada era sekarang, muncul pandemi Covid-19 yang menyebabkan kontraksi ekonomi global sebesar 2,8 persen pada 2020. Angka tersebut menjadi resesi terburuk sejak Great Deprresion. Pelan-pelan, ekonomi global bergerak naik. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan berada di level 2,8 persen pada 2023 dan naik menjadi 3 persen pada 2024.

Perekonomian Indonesia pun mengalami dampak signifikan karena penerapan berbagai langkah penanganan pandemi, antara lain pembatasan sosial dan pembatasan mobilitas. Namun, pemerintah Indonesia meluncurkan berbagai program stimulus fiskal, kebijakan moneter, serta perlindungan sosial. Di tengah-tengah guncangan perekonomian global, pemerintah bersama DPR dan masyarakat berhasil menjaga kinerja ekonomi tetap solid dan konsisten melaksanakan agenda reformasi struktural.

“Perekonomian Indonesia juga mampu pulih lebih cepat dan kuat pada tahun 2021, tumbuh 3,7 persen, dan berlanjut dengan pemulihan yang kuat pada tahun 2022, tumbuh 5,3 persen. Dengan pencapaian ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang dapat pulih dari tekanan pandemi Covid-19 dengan cepat dibandingkan mayoritas negara lainnya di dunia. PDB riil Indonesia tahun 2022 telah mencapai 7,0 persen di atas level periode prapandemi,” jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Pidato Pengantar dan Keterangan Pemerintah atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun 2024 di hadapan rapat paripurna DPR pada Jumat, 19 Mei 2023.

Dokumen KEM-PPKF Tahun 2024 merupakan bagian dari proses penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN terakhir di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo selama dua periode pemerintahan dari 2014 hinga 2024. Setiap tahun, pemerintah menyusun KEM-PPKF sebagai kerangka kerja untuk menganalisis dan merumuskan kebijakan fiskal dengan mempertimbangkan berbagai variabel ekonomi makro yang relevan.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, dengan mempertimbangkan berbagai risiko dan potensi keberlanjutan ekspansi ekonomi nasional tahun depan, pemerintah telah mengusulkan kisaran indikator ekonomi makro yang akan digunakan sebagai asumsi dasar penyusunan RAPBN Tahun Anggaran 2024.

“Pertumbuhan ekonomi 5,3 persen hingga 5,7 persen, inflasi 1,5 persen hingga 3,5 persen, nilai tukar Rupiah Rp14.700 hingga Rp15.300 per USD, tingkat suku bunga SBN 10 tahun 6,49 persen hingga 6,91 persen, harga minyak mentah Indonesia USD75 hingga USD85 per barel, lifting minyak bumi 597 ribu hingga 652 ribu barel per hari dan lifting gas 999 ribu hingga 1,054 juta barel setara minyak per hari,” terang Menkeu secara mendetail.

Penyusunan KEM-PPKF memiliki manfaat penting dalam pengelolaan kebijakan fiskal dan perekonomian Indonesia. Dengan penyampaian KEM-PPKF Tahun 2024 oleh pemerintah kepada DPR, berbagai kalangan dapat mengidentifikasi berbagai tantangan, peluang, maupun risiko yang akan dihadapi oleh perekonomian Indonesia pada tahun depan. Selain itu, dokumen tersebut juga membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang tepat dan mengelola stabilitas ekonomi.

(Infografis: Tubagus P.)

Mempercepat transformasi ekonomi

Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan arsitektur kebijakan fiskal tahun 2024 diarahkan untuk mempercepat transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Untuk mendukung arah kebijakan fiskal tersebut, pemerintah akan mengoptimalisasi tiga fungsi APBN, yakni alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

“Fungsi alokasi terkait erat dengan peran APBN untuk mendukung pencapaian sasaran-sasaran jangka menengah dan panjang pembangunan nasional, khususnya akselerasi pertumbuhan agar Indonesia mampu mewujudkan Visi Indonesia Maju 2045. Oleh karena itu, fungsi alokasi dalam APBN 2024 akan diarahkan untuk mendukung transformasi ekonomi melalui percepatan reformasi struktural, yang meliputi; peningkatan kualitas SDM, percepatan pembangunan infrastruktur, serta perbaikan kelembagaan dan regulasi,” ujar Menkeu panjang lebar.

Ia melanjutkan, fungsi stabilisasi terkait erat dengan peran APBN sebagai shock absorber terhadap gejolak yang terjadi, termasuk pengendalian inflasi, sehingga dapat memberikan fundamental yang kuat untuk peningkatan resiliensi serta akselerasi pertumbuhan ekonomi. Kemudian, Menkeu menjelaskan fungsi distribusi diarahkan untuk mendukung berbagai program afirmasi dalam rangka penurunan tingkat kemiskinan, penghapusan kemiskinan ekstrem, dan penurunan stunting.

Upaya mempercepat transformasi ekonomi yang inklusif penting bagi Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan, mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam perekonomian inklusif, semua lapisan masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut membantu mengurangi kemiskinan serta menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Selain itu, langkah transformasi ekonomi perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pemerintah menyadari bahwa transformasi ekonomi yang berkelanjutan dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

“Perubahan iklim adalah ancaman nyata bagi kesehatan, keselamatan, serta aktivitas ekonomi. Cuaca ekstrem hingga bencana alam yang sering terjadi, terkait erat dengan perubahan iklim. Kerugian yang ditimbulkan begitu besar, baik korban jiwa, hilangnya aset serta menurunnya aktivitas produksi, khususnya di sektor pertanian,” tutur Menkeu Sri Mulyani Indrawati.

Menkeu juga menyatakan bahwa persoalan iklim menjadi salah satu dari empat tantangan besar yang sedang dan akan dihadapi perekonomian global ke depan. Tantangan pertama adalah ketegangan geopolitik yang telah menjadi tantangan paling berat saat ini. Tantangan kedua yaitu cepatnya perkembangan teknologi digital, yang di satu sisi membawa manfaat bagi kehidupa manusia, tetapi di sisi lain menghadirkan tantangan berupa penghematan tenaga kerja manusia, persoalan privasi, dan keamanan siber.

Tantangan ketiga yaitu perubahan iklim serta respons kebijakan yang mengikutinya. Menurut Menkeu, respons kebijakan mitigasi dan adaptasi oleh negara-negara maju terhadap perubahan iklim juga akan menimbulkan persoalan bagi banyak negara berkembang. Penerapan kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) di AS dan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) di Uni Eropa berpotensi menjadi hambatan nontarif bagi arus perdagangan internasional dan investasi dari dan ke AS, termasuk semakin ketatnya ketersediaan pendanaan investasi bagi negara berkembang.

“(Tantangan) keempat, Covid-19 telah menjadi bukti bahwa munculnya sebuah pandemi tidak bisa terelakkan. Meskipun kini pandemi Covid-19 sudah berakhir, namun kewaspadaan dan kesiap-siagaan perlu kita bangun dari sekarang mengingat dampak yang ditimbulkannya sangat besar. Selain itu, kita juga masih berjuang mengatasi dampak jangka panjang Covid-19, dalam bentuk scarring effect yang diperkirakan akan menahan kinerja pertumbuhan ekonomi di banyak negara,” ungkap Menkeu Sri Mulyani Indrawati.

Kebijakan fiskal tetap ekspansif, terarah, dan terukur

Dokumen KEM-PPKF Tahun 2024 memuat perkiraan pendapatan negara yang akan diterima. Dengan kinerja pertumbuhan ekonomi yang semakin kuat, diperkirakan pendapatan negara akan meningkat.

“Pendapatan negara diperkirakan mencapai antara 11,81 persen hingga 12,38 persen dari PDB, sementara belanja negara mencapai rentang antara 13,97 persen hingga 15,01 persen dari PDB. Keseimbangan primer terus diupayakan bergerak menuju positif, pada kisaran defisit 0,43 persen hingga surplus 0,003 persen dari PDB,” Menkeu menyampaikan.

Selain itu, untuk mendukung kebijakan fiskal tetap ekspansif, terarah, dan terukur dalam rangka percepatan transformasi ekonomi pada 2024, pemerintah merencanakan defisit berkisar 2,16 persen hingga 2,64 persen dari PDB. Sementara itu, rasio utang diupayakan dalam batas manageable di kisaran 38,07 persen hingga 38,97 persen dari PDB.

(Infografis: Tubagus P.)

“Mengapa kita menargetkan defisit yang lebih rendah? Tujuannya untuk memastikan APBN digunakan sekuat-kuatnya untuk masyarakat. Hal itu dibuktikan selama pandemi ini. Di tahun 2021 saja, di kala masih banyak negara menghadapi resesi, PDB Indonesia sudah keluar dan bahkan lebih tinggi daripada masa prapandemi,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu. Menurutnya, capaian tersebut dipengaruhi oleh penggunaan instrumen fiskal yang sangat kuat.

Febrio menuturkan APBN telah digunakan secara sangat efektif dan efisien selama empat tahun terakhir. Bahkan saat sedang menghadapi pandemi, APBN memperkenalkan kebijakan counter cyclical yang sangat kuat. Defisit anggaran tahun 2020 tercatat 6,14 persen, tahun 2021 tercatat 4,57 persen, tahun 2022 tercatat 2,38 persen atau terjadi konsolidasi fiskal yang satu tahun lebih awal.

Counter cyclical dalam APBN adalah pendekatan kebijakan fiskal yang bertujuan untuk menstabilkan perekonomian melalui tindakan-tindakan yang berlawanan dengan siklus ekonomi. Pada saat ekonomi melambat, pemerintah meningkatkan pengeluaran atau mengurangi pajak untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, pada saat ekonomi sedang mengalami booming, kebijakan counter cyclical dapat menerapkan pengurangan pengeluaran pemerintah atau peningkatan pajak untuk mengurangi tekanan inflasi.

Menurut Febrio, pemerintah menggunakan APBN seefisien mungkin dan seefektif mungkin di tengah kondisi kepastian yang sangat tinggi. Hal tersebut memberikan kepercayaan yang tinggi dari pasar. Bahkan, selama tahun 2023 tingkat suku bunga di Indonesia tidak mengalami kenaikan, justru mengalami penurunan. Febrio menyakini hal tersebut membuktikan resiliensi Indonesia dan pengelolaan APBN yang sangat kredibel.

“Di Amerika, rasio utang sudah 120 persen dari PDBnya. Di Indonesia, rasio utang tahun lalu 39 persen dari PDB. Dengan tata kelola APBN yang kredibel yang kita siapkan, harapannya angka itu akan terus menurun hingga 38 persen pada tahun depan. Nah, hal itu yang akan terus kita tawarkan dari sisi fiskal, yaitu bagaimana APBN digunakan seefisien mungkin dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita harapkan belanja juga tepat sasaran, khususnya untuk membantu masyarakat yang miskin dan rentan,” pungkas Febrio.


Reni Saptati D.I.