APBN Siap Jaga Daya Beli Masyarakat

15 Juli 2022
OLEH: Reni Saptati D.I.
APBN Siap Jaga Daya Beli Masyarakat
 

Tahun 2022 telah melewati semester pertama. Dunia mulai pulih dari pandemi Covid-19. Sejak awal tahun, tren pemulihan ekonomi baik di level domestik maupun global sudah tampak. Pada triwulan I 2022, ekonomi Indonesia tumbuh 5,01 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Namun, pada saat bersamaan ternyata dunia kembali dihadapkan dengan tantangan berat. Konflik geopolitik Rusia dan Ukraina terus memanas. Rantai pasok produksi terganggu akibat pandemi. Tak terhindarkan, harga komoditas dan inflasi terkerek naik.

Kenaikan harga komoditas ini bak dua sisi mata uang. Analis Kebijakan Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Syarif Mulyadi menjelaskan peningkatan harga komoditas memberikan pengaruh pada peningkatan penerimaan negara, tetapi di sisi lain menekan harga energi dan pangan.

“Memang, pada satu sisi kondisi saat ini memberikan “berkah” pada kinerja penerimaan yang cukup baik. Namun, di sisi lain, ternyata ada risiko bahkan sudah merupakan kebutuhan untuk memitigasi dampak-dampak lainnya,” tutur Syarif.

Pandangan serupa disampaikan ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet yang menyebutkan Indonesia mendapatkan “berkah” dari kenaikan harga komoditas yang terjadi di sepanjang semester pertama tahun ini.

“Kalau kita melihat dari beberapa pos penerimaan negara, khususnya yang berkaitan dengan komoditas seperti misalnya PPh Migas, kemudian juga pajak pertambangan, PNBP, terutama yang SDA dan non-SDA itu pertumbuhannya cukup signifikan,” ungkap Yusuf.

Syarif menegaskan dalam upaya mitigasi lonjakan harga komoditas, APBN harus mampu berperan untuk mengurangi dampak penurunan daya beli. Pemerintah terus mencermati berbagai risiko yang muncul dari dampak lonjakan harga komoditas seperti minyak mentah, batu bara, dan crude palm oil (CPO) terhadap pelaksanaan APBN. Kebijakan APBN diarahkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, daya beli, dan kesehatan masyarakat.

“Nah, di sinilah kenapa kita harus menyeimbangkan peran pemerintah, dalam hal ini APBN sebagai shock absorber. Jadi, pemerintah harus bisa mengurangi ataupun menahan penurunan daya beli tersebut untuk menjaga konsumsi tetap berjalan sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat,” tegas Syarif.

Kinerja pendapatan positif

Pada semester pertama tahun 2022, pendapatan negara terealisasi sebesar 58,1 persen atau mencapai Rp1.317,2 triliun dari target yang ditetapkan dalam Perpres 98 Tahun 2022. Selain lantaran peningkatan harga komoditas, raihan baik tersebut didukung oleh kinerja baik sektor perpajakan dan PNBP seiring pemulihan ekonomi domestik yang menguat, serta membaiknya kinerja ekspor dan impor.

Kenaikan harga komoditas yang cukup tinggi telah mempengaruhi kinerja perusahaan. Profit perusahaan ikut merangkak naik sehingga otomatis terjadi peningkatan dari basis penerimaan perpajakan. Syarif memberikan contoh harga batu bara yang kini berada di kisaran 400 dolar, padahal pada tahun-tahun sebelumnya berada di kisaran 70-80 dolar.

“Aktivitas perekonomian cukup baik. Kemudian dari sisi kebijakan, di perpajakan ada kebijakan PPS (Program Pengungkapan Sukarela) sebagai salah satu aspek yang mendukung capaian penerimaan perpajakan,” tambah Syarif.

Secara total, penerimaan pajak dan penerimaan kepabeanan dan cukai berhasil meraup Rp1.049 triliun atau 58,8 persen dari target yang ditetapkan. Angka tersebut tumbuh 54,4 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.

“Perpajakan mencapai Rp882 triliun atau di atas 59 persen dari target di Perpres, tumbuh cukup baik 58,3 persen. Kepabeanan juga mencapai Rp166,8 triliun atau 55,8 persen dari target di Perpres atau tumbuh 36,5 persen. Penerimaan perpajakan menunjukkan kinerja yang sangat baik,” jelas Syarif lebih detail.

Sementara itu, kinerja yang baik pada capaian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga terjadi. Sampai dengan semester I tahun 2022, realisasi PNBP sudah mencapai 59,5 persen atau sekitar Rp286 triliun. Hal tersebut dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas, terutama harga minyak bumi, mineral, dan batu bara yang mendorong penerimaan PNBP Sumber Daya Alam (SDA).

Realisasi PNBP dari SDA ini bahkan tumbuh 91,8 persen bila dibanding periode yang sama tahun 2021. Penyebabnya yakni peningkatan penerimaan dari sektor migas yang mencapai 86,8 persen dan dari sektor nonmigas sebesar 101,8 persen.

Mulai menggeliatnya aktivitas masyarakat juga memberikan efek positif terhadap kinerja PNBP non-SDA. Kinerja PNBP layanan kementerian/lembaga di beberapa kementerian, antara lain Kemenkominfo, Polri, Kemenhub, Kemenkumham, Kementerian ATR/BPN, dan Kemnaker menunjukkan kenaikan kinerja lantaran adanya peningkatan aktivitas masyarakat.

“Tentu ada faktor lain dari sisi administratif. Penguatan dan peningkatan pengawasan, kepatuhan, dan administratif mempunyai kontribusi terhadap peningkatan penerimaan ini,” tegas Syarif.

Namun demikian, realisasi penerimaan Badan Layanan Umum (BLU) mengalami penurunan yang utamanya dari dampak kebijakan pelarangan ekspor sementara produk CPO dan turunannya. Pendapatan BLU meraih Rp45,8 triliun atau sebesar 43,3 persen dari target.

“Semua komponen tumbuh sangat baik, kecuali di BLU. Jadi dari sisi penerimaan, kinerjanya perpajakan maupun PNBP baik, dilihat dari sisi pertumbuhannya juga terus tumbuh, dan capaiannya sudah rata-rata di atas 50 persen,” Syarif menyimpulkan.

Kebijakan APBN diarahkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, daya beli, dan kesehatan masyarakat dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal (Sumber Foto: Istock)

Outlook APBN 2022

Yusuf Rendy Manilet memproyeksikan dinamika kondisi perekonomian masih tidak menentu. Ia menyebutkan sejumlah faktor global yang berpotensi memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Kondisi pertama dari geopolitik, konflik antara Rusia dan Ukraina yang saat ini belum terlihat apakah akan berakhir, ditambah potensi krisis pangan yang kemudian akan terjadi, juga ditambah dengan potensi resesi yang bisa dialami oleh Amerika Serikat dan beberapa negara lain,” Yusuf menjelaskan.

Syarif Mulyadi pun memperkirakan peningkatan harga komoditas masih tetap berlanjut pada tahun 2022 ini. Hal itu tak lepas dari kondisi global saat ini yang masih dibayangi dinamika konflik Rusia dan Ukraina. Di sisi lain, diperkirakan kinerja baik pendapatan negara pun masih akan terus berlanjut hingga akhir tahun.

“Memang betul harga komoditas ini fluktuatif, tapi dengan prediksi bahwa sampai dengan akhir 2022 ini masih tinggi, kita berharap masih memberikan kontribusi yang signifikan juga sehingga tercapai apa yang ditargetkan di dalam outlook pendapatan di 2022,” ujar Syarif.

Outlook pendapatan negara tahun 2022 diperkirakan mencapai Rp2.436,9 triliun atau meningkat Rp170,7 triliun dibandingkan target Perpres 98 Tahun 2022. Beberapa faktor yang akan menyokong tercapainya target tersebut antara lain prospek perekonomian yang baik, dampak implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dan harga komoditas yang masih tinggi.

“Hal-hal lain yang dijalankan memang sudah memberikan dampak. Dari sisi kebijakan baru ada implementasi pajak karbon dalam rangka pelaksanaan UU HPP. Perubahan-perubahan kebijakan di PNBP juga harapannya masih memberikan faktor positif untuk pencapaian target, bukan hanya terkait harga komoditas, tapi beberapa kebijakan tarif yang di-adjust juga memberikan kontribusi,” Syarif menerangkan.

Penerimaan perpajakan baik dari sektor pajak maupun kepabeanan dan cukai pada akhir tahun ini diperkirakan tumbuh positif mencapai Rp1.924,9 triliun. Angka tersebut lebih tinggi Rp140,9 triliun dibanding target di dalam Perpres 98 Tahun 2022 dan tumbuh 24,4 persen dibanding tahun 2021.

Sementara itu, prognosis PNPB pada semester II tahun 2022 diperkirakan sebesar Rp229,9 triliun. Dengan demikian, pada akhir tahun ini PNBP diperkirakan akan mencapai Rp510,9 triliun atau mencapai 106,1 dari target.

“Kita berharap sampai akhir 2022 kita bisa surplus untuk menabung dan bisa menjalankan tiga fungsi. Pertama, mendukung pemulihan ekonomi. Kedua, menjaga daya beli masyarakat dengan memberikan subsidi, bansos, dan lain sebagainya. Ketiga, fiskal tetap sehat sehingga pengelolaan fiskal kita harus prudent,” tutur Syarif.

Kebijakan APBN diarahkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, daya beli, dan kesehatan masyarakat dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal. Untuk itu, pelaksanaan APBN pada semester II tahun 2022 diarahkan untuk tetap fleksibel dalam meredam risiko perkembangan pandemi maupun perekonomian global.


Reni Saptati D.I.