APBN Surplus! Semakin Prima Sebagai Shock Absorber

1 Mei 2022
OLEH: Dara Haspramudilla
APBN Surplus! Semakin Prima Sebagai Shock Absorber
 

Di tengah upaya pemerintah dalam mendorong proses pemulihan ekonomi yang berkelanjutan, terdapat berbagai tantangan yang muncul terutama dari sisi eksternal. Kondisi ekonomi global saat ini menghadapi tekanan baru yang kompleks akibat konflik antara Rusia dan Ukraina yang terus mengalami eskalasi. Hal ini pun berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dunia yang mengalami perlambatan yang diproyeksikan oleh beberapa lembaga dunia.

“Kondisi ekonomi global menghadapi tekanan dari terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina dengan tensi geopolitik yang meningkat. Ini menimbulkan tekanan risiko terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Dalam pertemuan musim semi ini, IMF merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 4,4 persen menjadi 3,6 persen,” ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers APBN KiTa pada Rabu, 20 April 2022.

Dalam paparannya pada acara CORE Quarterly Review 2022, Moh. Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia mengatakan bahwa sebelum adanya konflik Rusia dan Ukraina pertumbuhan ekonomi dunia sudah diproyeksikan melambat 1 persen dibanding tahun 2021. Perlambatan pertumbuhan ekonomi akan lebih signifikan lagi setelah terjadinya konflik.

“Jadi akhir tahun lalu sudah diproyeksi pertumbuhan ekonomi akan lebih lambat dibanding 2021. Sebelum konflik, ekonomi diproyeksi melambat 1 persen dari 5,9 ke 4,9. Proyeksi OECD setelah konflik bisa mengoreksi pertumbuhan ekonomi dunia lebih dari 1 persen,” papar Faisal.

Momentum pemulihan ekonomi global mengalami tekanan yang berat akibat eskalasi konflik Rusia dan Ukraina. Tidak hanya itu, dampak negatif seperti kenaikan harga-harga komoditas juga tak terelakkan. Tekanan geopolitik ini pun turut membuat proyeksi inflasi dikoreksi.

“Proyeksi inflasi di negara maju naik dari 3,9 ke 5,7 dan negara negara berkembang inflasinya juga melonjak dari 5,9 ke 8,7. Jadi ini tadi yang dalam pertemuan kita dengan berbagai negara-negara emerging dengan IMF disampaikan yang seharusnya naik malah turun yaitu pertumbuhan ekonomi yang seharusnya diharapkan naik malah mengalami tekanan menurun dan yang seharusnya turun malah naik, yaitu inflasi yang diharapkan menurun malah justru meningkat,”

Hal senada juga diungkap Piter Abdullah Redjalam, Direktur Riset CORE Indonesia dalam CORE Quarterly Review 2022. Menurutnya, saat ini kondisi inflasi global sudah merangkak naik. Secara rata-rata tingkat inflasi di negara-negara G20 peningkatannya cukup drasti dan yang terbesar terjadi pada negara-negara maju.

“Penyebab kenaikan inflasi di negara-negara maju ini pertama disebabkan oleh kenaikan demand yang tidak diikuti dengan ketersediaan pasokan sebab pandemi memicu global supply chain disruption. Di Amerika Serikat inflasi sudah mencapai 7 persen dan merupakan yang tertinggi selama 40 tahun terakhir. Demikian juga di Jerman tingkat inflasinya sangat tinggi dan tertinggi selama 30 tahun terakhir. Di Turki bahkan mencapai di atas 60 persen, sudah hyperinflation. Jika kita bandingkan dari sisi inflasi, Indonesia relatif baik-baik saja meski sudah merangkak naik dibandingkan tahun 2021,” tutur Piter.

 

Penerimaan negara tumbuh signifikan

Dalam paparannya, Menkeu menyampaikan kinerja penerimaan negara yang kuat yang mencapai Rp501 triliun atau tumbuh 32 persen. Kinerja ini ditopang oleh penerimaan pajak sebesar Rp322,5 triliun (naik 41,4 persen), kepabeanan dan cukai sebesar Rp79,3 triliun (naik 27,3 persen), dan PNBP sebesar Rp99,1 triliun (naik 11,8 persen). Tumbuhnya penerimaan ini tidak hanya karena windfall dari kenaikan harga komoditas, tetapi juga adanya pemulihan ekonomi yang solid dan merata.

“Mengapa sekarang bisa tumbuh 41,4 persen? Pertama, karena low base effect. Kedua, pemulihan ekonomi yang memang berjalan. Ketiga, kita melihat komparasinya dalam hal ini terdapat pergeseran  penerimaan dari pajak kita seperti untuk impor dan juga dari program pengungkapan sukarela (PPS) yang selama ini memberikan kontribusi bagi penerimaan pajak kita,” terang Menkeu.

Menurut Akhmad Akbar Susanto, Ekonom CORE Indonesia, saat ini posisi penerimaan negara cenderung meningkat sementara posisi belanja relatif stabil. Kinerja penerimaan yang baik ini ditopang oleh penerimaan pajak. Selain itu, menguatnya aktivitas ekonomi masyarakat juga turut berkontribusi pada penerimaan negara.

“Pada dua bulan pertama di tahun 2022, Januari dan Februari, APBN mengalami surplus anggaran. Kondisi ini lebih baik dibandingkan periode yang sama dalam beberapa tahun terakhir sejak 2018. Kinerja penerimaan pajak meningkat salah satunya disebabkan oleh windfall profit karena naiknya harga-harga komoditas. Di luar harga komoditas, kita juga mengalami peningkatan dari perdagangan internasional meski tidak terlalu menonjol. Selain itu, peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi juga sangat membantu penerimaan negara. Meskipun ada Omicron, tetapi aktivitas ekonomi sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Jadi, ketika ekonomi mulai bergerak, penerimaan negara pun meningkat,” ucap Akhmad.

Belanja negara bentuk implementasi APBN sebagai shock absorber

Menkeu juga memaparkan realisasi anggaran dari sisi belanja negara. Hingga Maret 2022 capaian belanja adalah sebesar Rp490,6 triliun atau 18,1 persen dari total pagu belanja. Untuk belanja kementerian dan lembaga mencapai Rp150 triliun atau 15,9 persen dari APBN, untuk belanja nonkementerian dan lembaga mencapai 164,2 triliun atau 16,4 persen. Realisasi belanja yang menurun terutama di sisi belanja kesehatan menggambarkan bahwa Covid-19 sudah mulai mereda. Meski demikian, anggaran untuk penanganan Covid-19 masih tetap dialokasikan.

“Belanja barang untuk PC-PEN dalam hal ini terutama ditujukan untuk bantuan tunai untuk 491,1 ribu pedagang kaki lima, warung dan nelayan senilai Rp300 miliar. Selain itu, alokasi belanja sebesar Rp500 miliar diberikan untuk membayar biaya perawatan 7,1 ribu pasien Covid-19,” jelas Menkeu

Dari sisi belanja perlindungan sosial, selama tiga tahun berturut-turut memang mengalami kenaikan. Hal ini merupakan bentuk dari peran APBN sebagai shock absorber atau bantalan dalam melindungi ekonomi masyarakat.

“Belanja perlindungan sosial mencapai Rp81 triliun. Jika kita lihat ketika Indonesia dihantam pandemi yang mengancam masyarakat baik dari sisi kesehatan maupun kesejahteraan, APBN langsung memberikan bantalan sosial. Inilah yang disebut shock absorber atau meredam guncangan baik yang berasal dari dampak pandemi maupun kenaikan harga-harga komoditas dunia,” ujar Menkeu.

 

Dorong akselerasi belanja daerah

Menurut Akhmad kinerja penerimaan yang prima masih belum diimbangi dengan alokasi belanja yang optimal, terutama dari sisi belanja daerah. Padahal, terjadi peningkatan dari sisi penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Namun demikian, lambatnya penggunaan dana transfer tersebut oleh pemda menjadi masalah klasik yang kerap berulang di setiap tahun.

“Pada dua bulan pertama ini, realisasi belanja dikatakan bagus seperti penerimaan tidak, tetapi dikatakan jelek juga tidak. Kita lihat bahwa pemerintah masih mengalokasikan belanja untuk berbagai program pemulihan ekonomi seperti bantuan sosial. Penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah sebetulnya sudah terjadi peningkatan yang baik, meskipun ada tantangan di mana uang yang ditransfer tidak segera digunakan oleh pemerintah daerah. Ini menjadi masalah yang terjadi berulang di setiap tahun. Tentu saja ini mengakibatkan simpanan pemda meningkat karena tidak dibelanjakan,” jelas Akhmad.

Hal senada juga disampaikan Menkeu yang menilai realisasi belanja APBD tahun 2022 tetap harus diperbaiki sebab belanja daerah justru mengalami penurunan hingga 11,8 persen. Pada Maret 2022 realisasi belanja APBD mencapai Rp93,45 triliun atau baru 8,47 persen dari pagu sebesar Rp1.103,9 triliun. Realisasi ini mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun lalu di mana belanja APBD mencapai Rp105,94 triliun atau sebesar 9,34 persen dari pagu sebesar Rp1.134,64 triliun.

“Nah artinya, daerah-daerah memang masih perlu untuk mengakselerasi. Namun, kita prediksi pada April realisasi belanja pusat dan daerah akan melonjak cukup signifikan. Kalau di pusat karena ada bansos dan THR, di daerah nanti mungkin akan direalisir dalam bentuk pembayaran tambahan penghasilan pegawai. Harapannya itu bisa dilakukan sebelum THR sehingga akan menambah kegiatan masyarakat daerah terutama dari para ASN daerah,” tutur Menkeu.

Menkeu menambahkan pemda sebetulnya memiliki potensi besar dalam ikut mendorong pemulihan ekonomi melalui penggunaan APBD. Pemda diharapkan mampu mengeksekusi belanja sehingga akselerasi dari pemulihan ekonomi bisa terjaga pada kuartal kedua dan ketiga tahun 2022 nanti.

 

Kondisi Indonesia dan Sri Lanka tidak sama

Terkait pembiayaan, Menkeu menyatakan bahwa pembiayaan utang Indonesia ini turun signifikan dari Rp336,9 triliun menjadi hanya Rp149,6 triliun. Penurunan sebesar 55,6 persen juga mencerminkan tren perbaikan dan penguatan APBN yang harus terus dijaga.

“Tahun ini kita sudah mulai mengembalikan kestabilan ekonomi kita dan menyehatkan APBN, dan ini terlihat trennya sangat nyata pembiayaan utang kita drop 55,6 persen dari 336,9 triliun menjadi hanya 149,6 triliun. SBN kita yang kita terbitkan 103,6 triliun tahun ini tahun lalu mencapai 337, jadi turunnya lebih dalam lagi 60,4 persen. Demikian juga dengan pinjaman neto kita. Jadi artinya pada saat kondisi pasar surat berharga dan pasar uang cenderung menghadapi tekanan karena tadi inflasi geopolitik dan capital outflow kita sudah menciptakan ketahanan APBN kita dengan kondisi kas yang cukup. Pasar keuangan kita tidak harus kemudian dipaksa untuk harus melakukan pembiayaan untuk APBN ini strategi yang sangat pas.”

Kondisi pembiayaan saat ini juga menjawab persepsi negatif yang menyamakan kondisi Sri Lanka saat ini dengan Indonesia.

“Banyak yang sering kemudian menanyakan kondisi seperti suatu negara Sri Lanka dibandingkan dengan Indonesia ya. Dalam hal ini kita melihat kondisi APBN Indonesia jauh lebih sangat berbeda dengan situasi yang dihadapi negara seperti Sri Lanka,” tambah Menkeu.

Hal senada juga diungkap Akhmad yang menilai bahwa kondisi Indonesia tidak seburuk Sri Lanka. Meski sebagian indikator agak mirip, tetapi persoalan Sri Lanka sudah jauh lebih rumit dan persoalannya sudah menumpuk sejak lama.

“Pada kasus Sri Lanka ini saya masih yakin kita situasinya tidak seburuk Sri Lanka. Saya optimis Indonesia bisa lebih baik daripada Sri Lanka. Sri Lanka itu sudah menumpuk utang yang banyak kemudian diikuti dengan beberapa kesalahan kebijakan yang diambil di sana lalu diikuti dengan beberapa kasus kerusuhan dan terakhir diikuti dengan pandemi Covid-19. Jadi komplit tumpukan persoalannya,” pungkas Akhmad.